Press "Enter" to skip to content

Pop Culture Politik Kekuasaan Semakin Banal


Kolom Opini

ilustrasi by pinterst

Di era modern, politik semakin kehilangan esensinya sebagai arena perjuangan gagasan. Ia menjelma menjadi industri hiburan, di mana pemimpin lebih berperan sebagai selebritas ketimbang negarawan. Kekuasaan bukan lagi tentang visi dan kompetensi, melainkan tentang bagaimana seorang figur politik mampu membentuk citra yang menarik bagi publik. Politik, yang sejatinya adalah medan perdebatan dan pembangunan kebijakan, kini lebih menyerupai panggung sandiwara yang penuh gimmick dan drama demi menarik perhatian massa.

Banalitas dalam politik kekuasaan bukan hanya muncul sebagai efek samping dari era digital, tetapi juga akibat dari strategi sadar yang dimainkan oleh elite penguasa. Sebagaimana yang dikatakan oleh Neil Postman dalam Amusing Ourselves to Death (1985), “When a population becomes distracted by trivia, when cultural life is redefined as a perpetual round of entertainments, when serious public conversation becomes a form of baby talk, when, in short, a people become an audience and their public business a vaudeville act, then a nation finds itself at risk.” Kutipan ini menjadi cerminan nyata bagaimana politik hari ini lebih sering dikemas sebagai hiburan ketimbang sebagai forum deliberasi yang serius.

Fenomena ini semakin kentara ketika pemimpin politik berlomba-lomba memanfaatkan media sosial sebagai alat utama komunikasi mereka. Twitter, TikTok, Instagram, dan YouTube tidak lagi sekadar media untuk menyampaikan gagasan, tetapi menjadi panggung utama pencitraan. Video-video singkat yang menampilkan aksi populis, ucapan retoris yang mudah diingat, serta potongan konten yang viral kini menjadi lebih penting dibandingkan argumen berbobot atau kebijakan yang matang.

Kita bisa melihat bagaimana para politisi berlomba-lomba untuk menjadi viral, sering kali dengan cara yang absurd. Dari joget di TikTok, meramaikan tren meme, hingga berbicara dengan gaya kekinian demi menarik simpati generasi muda. Kampanye politik kini tak ubahnya strategi pemasaran produk, di mana seorang kandidat dijual layaknya barang dagangan dengan tagline bombastis yang belum tentu mencerminkan kapasitas sebenarnya. Dalam konteks ini, kita teringat pada peringatan Guy Debord dalam The Society of the Spectacle (1967): “The spectacle is not a collection of images; it is a social relation between people that is mediated by images.”

Dalam politik yang sudah terhegemoni oleh pop culture, perdebatan substansial menjadi langka. Masyarakat lebih tertarik pada aksi dan kontroversi dibandingkan dengan diskusi yang menuntut pemikiran kritis. Misalnya, ketika ada krisis ekonomi atau sosial, respons publik sering kali lebih banyak diarahkan pada siapa yang memiliki pernyataan paling tajam, paling berani, atau paling kontroversial di media sosial—bukan pada siapa yang menawarkan solusi konkret.

Media massa dan media sosial pun memainkan peran penting dalam mempercepat proses banalitas ini. Algoritma digital lebih menyukai sensasi ketimbang kedalaman. Seorang pemimpin yang berbicara dengan logika panjang dan argumentasi kuat akan kalah viral dibandingkan dengan pemimpin yang mampu menyampaikan pesan singkat dalam format yang menghibur. Akibatnya, kebijakan yang rumit dan memerlukan diskusi panjang menjadi kurang menarik, sementara retorika kosong yang menggugah emosi lebih mudah diterima publik.

Fenomena ini juga memunculkan masalah serius dalam demokrasi. Ketika politik sudah terjerumus ke dalam ranah hiburan, maka pemilih tidak lagi menentukan pilihannya berdasarkan rasionalitas, melainkan berdasarkan daya tarik figur. Akibatnya, seseorang bisa terpilih bukan karena kemampuannya dalam memimpin, tetapi karena ia mampu membangun narasi yang menyenangkan bagi massa. Ini mengingatkan kita pada kritik keras yang pernah disampaikan oleh Noam Chomsky dalam Manufacturing Consent (1988): “The smart way to keep people passive and obedient is to strictly limit the spectrum of acceptable opinion, but allow very lively debate within that spectrum.” Dengan kata lain, masyarakat diberikan ilusi partisipasi, tetapi dalam batasan yang sudah dikendalikan oleh narasi yang diciptakan oleh elite politik dan media.

Efek dari banalitas politik ini sangatlah berbahaya. Pertama, ia menciptakan generasi pemilih yang semakin jauh dari pemahaman substansial mengenai kebijakan dan pemerintahan. Kedua, ia membuka ruang bagi munculnya pemimpin populis yang mengandalkan popularitas semata tanpa memiliki visi yang jelas. Ketiga, ia mengikis esensi demokrasi sebagai sistem yang berlandaskan pada deliberasi dan tanggung jawab, mengubahnya menjadi sekadar ajang kompetisi popularitas.

Kita bisa melihat bahwa politik kekuasaan yang semakin banal bukan hanya sekadar fenomena sementara, melainkan telah menjadi bagian dari strategi kekuasaan yang lebih besar. Ketika politik menjadi hiburan, maka rakyat akan teralihkan dari persoalan nyata yang seharusnya menjadi fokus utama. Seperti yang pernah dikatakan oleh Aldous Huxley dalam Brave New World Revisited (1958), “A really efficient totalitarian state would be one in which the all-powerful executive of political bosses and their army of managers control a population of slaves who do not have to be coerced, because they love their servitude.”

Jika kita tidak menyadari bagaimana politik telah direduksi menjadi sekadar produk pop culture, maka kita akan semakin jauh dari cita-cita demokrasi yang sejati. Kita perlu kembali ke esensi politik sebagai wadah gagasan, bukan sekadar panggung bagi selebritas baru yang mencari popularitas demi kekuasaan. Sebab, jika dibiarkan, banalitas ini hanya akan membawa kita pada masa depan di mana keputusan politik ditentukan bukan oleh kebijaksanaan, melainkan oleh algoritma media sosial dan tren sesaat.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *