Press "Enter" to skip to content

“Imperium Munafik: G7 dan Tragedi yang Mereka Ciptakan di Timur Tengah”

ilustrasi Brigade Al-Qassam Hamas, Palestina dan Ayatollah Ali Khamenei, Iran

“Imperium Munafik: G7 dan Tragedi yang Mereka Ciptakan di Timur Tengah”

Selama puluhan tahun, negara-negara yang tergabung dalam G7 memosisikan diri sebagai garda terdepan dalam menegakkan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan hukum internasional. Mereka tampil sebagai wajah “dunia bebas,” membungkus setiap intervensi militer, sanksi ekonomi, dan dominasi geopolitik dengan jargon tentang kebebasan dan keadilan. Namun semakin kita menatap ke jantung penderitaan dunia saat ini—khususnya di Gaza dan Iran—semakin telanjang pula kontradiksi yang menyusun wajah moral palsu Barat. G7 bukanlah pelindung kemanusiaan. Mereka adalah arsitek dari penderitaan itu sendiri.

Standar Ganda sebagai Fondasi Moral Barat

Konflik Palestina dan Iran bukan sekadar benturan geopolitik, bukan sekadar ketegangan regional. Keduanya adalah cermin global yang memantulkan kegagalan moral Barat dalam bentuk paling brutal. Ketika dunia menyaksikan pembantaian terhadap rakyat Gaza dan penghukuman ekonomi terhadap rakyat Iran, suara paling lantang yang membela pelaku kekerasan dan menjustifikasi penghancuran itu datang dari Washington, London, Paris, dan Berlin.

Standar ganda bukanlah kecelakaan dalam politik luar negeri Barat. Ia adalah perangkat sistemik yang memungkinkan negara-negara imperialis mengklaim kemanusiaan sambil menginjaknya. Ketika Rusia menginvasi Ukraina, mereka menuntut dunia mengecam. Tapi ketika Israel menghancurkan Gaza, mereka menyuplai bom. Ketika Iran dihukum karena keluar dari tatanan dolar, tidak ada satu pun mekanisme internasional yang membela hak rakyatnya atas obat dan makanan.

Gaza: Kuburan Kolektif yang Diabaikan oleh Demokrasi Barat

Sejak Oktober 2023, lebih dari 38.000 warga Palestina dibunuh di Gaza—sebagian besar dari mereka perempuan dan anak-anak. Ini bukan “konflik” seperti yang kerap diberitakan media Barat. Ini adalah pembantaian sistematis yang dilakukan oleh negara yang secara eksplisit dibekingi oleh kekuatan G7. Ketika Majelis Umum PBB mendesak gencatan senjata kemanusiaan, AS dan sekutunya menolak atau memilih abstain. Jerman dengan gamblang menyatakan bahwa Israel “berhak membela diri,” bahkan saat gambar-gambar bayi yang hancur oleh rudal tersiar di seluruh dunia.

Sikap ini tidak sekadar memalukan—ia kriminal. Amnesty International dan Human Rights Watch secara konsisten melaporkan indikasi kuat kejahatan perang yang dilakukan Israel. Tapi tak satu pun dari negara-negara G7 menggerakkan sistem hukum internasional yang mereka puja saat mengadili negara-negara Dunia Ketiga. Ketika ICJ menerima gugatan dari Afrika Selatan atas dugaan genosida oleh Israel, media dan politisi AS justru menyerang legitimasi pengadilan itu. Dalam sistem dunia ini, hukum adalah milik pemenang; korban hanya akan ditanyai diam, atau dibungkam dengan ledakan.

Iran: Negara yang Dihukum karena Mandiri

Iran bukan diserang karena melanggar hukum internasional. Ia dihukum karena menolak tunduk pada desain global Barat. Iran tidak memiliki pangkalan militer AS. Ia tidak bergantung pada IMF. Ia tidak menjilat Israel untuk “keamanan diplomatik.” Dalam sistem dunia yang didesain oleh G7, sikap seperti ini adalah dosa besar. Maka, sejak 2018, sanksi maksimum dijatuhkan, tidak kepada rezim, tetapi kepada rakyat. WHO melaporkan krisis obat-obatan, bahkan untuk penderita leukemia dan hemofilia. Bayangkan anak-anak yang perlahan-lahan sekarat karena akses terhadap kemoterapi dihancurkan bukan oleh perang, tapi oleh embargo “legal” dari negara-negara yang mengaku paling beradab.

Bank-bank yang hendak menyalurkan dana kemanusiaan kepada Iran pun diancam oleh Treasury Department AS. Tidak ada yang lolos dari penindasan sistemik ini. Zahra Ershadi, Duta Besar Iran untuk PBB, menyebut sanksi ini sebagai “terorisme ekonomi yang dijalankan oleh negara-negara munafik atas nama hukum.” Frasa ini bukan hiperbola; ini adalah diagnosis yang tepat atas struktur kekuasaan global hari ini.

Perlawanan dari Selatan Global dan Masyarakat Sipil

Namun Barat bukan satu-satunya pemilik suara hari ini. Dari kampus-kampus di New York hingga jalanan di Johannesburg, dari deklarasi BRICS hingga rapat darurat Uni Afrika, perlawanan terhadap tatanan dunia G7 semakin keras digaungkan. Mahasiswa di lebih dari 200 universitas, termasuk Columbia, SOAS, dan Sorbonne, tidak lagi takut menyebut pemerintah mereka sebagai “komplotan genosida.” Mereka duduk di tanah, diusir polisi, tapi tetap berdiri secara moral.

Fatou Bensouda, mantan Jaksa Mahkamah Pidana Internasional, menyatakan dengan tajam bahwa jika hukum internasional benar-benar adil, maka pemimpin Israel dan pendukung militernya di negara-negara G7 “harus diselidiki, sama seperti pemimpin negara lain.” Ini bukan opini pinggiran. Ini adalah gugatan moral dari dalam sistem hukum global itu sendiri.

Di panggung diplomatik, BRICS memperkuat tekanan terhadap dominasi dolar dan mengusung alternatif multipolar. Dalam KTT BRICS 2024, Presiden Lula da Silva berkata, “Tidak ada moral dalam membela Israel yang menjajah dan menghukum Iran karena tidak ikut dalam permainan geopolitik Barat.” Ini bukan hanya retorika politik—ini adalah harapan akan dunia yang tidak ditentukan oleh senjata dan pasar semata.

Bisnis Kematian: Senjata sebagai Bahasa Diplomasi G7

Sementara itu, negara-negara G7 terus menjadi eksportir kematian terbesar. SIPRI mencatat bahwa 73% senjata yang digunakan Israel berasal dari AS. Inggris mengeluarkan lebih dari 250 lisensi ekspor senjata ke Israel dalam dua tahun terakhir. Prancis menjual radar dan drone ke UEA dan Arab Saudi, yang mendukung blokade Gaza dan isolasi Iran. Dalam tatanan ini, senjata bukan hanya alat perang, tapi komoditas ekspor yang didandani sebagai “dukungan diplomatik.”

G7 bukan pelindung perdamaian. Mereka adalah distributor mesin kematian. Mereka bukan pembela hukum, tapi sponsor kekerasan dengan lisensi multinasional. Mereka bukan penjaga hak asasi, tapi investor dalam tragedi yang mereka lipatgandakan keuntungannya.

Apa Arti Membela Palestina dan Iran Hari Ini?

Membela Palestina dan Iran hari ini bukan tentang menyetujui seluruh kebijakan politiknya. Ini tentang memilih sisi dalam pertarungan antara imperialisme dan perlawanan, antara tatanan global yang dibangun dari darah dan sistem alternatif yang dituduh barbar hanya karena tidak tunduk.

Ketika anak-anak Palestina disebut “kolateral,” ketika rakyat Iran mati karena embargo obat, dan ketika negara-negara kaya justru menjual lebih banyak rudal atas nama “perdamaian,” maka satu-satunya tindakan bermoral yang tersisa adalah pembangkangan. Kita harus berani melawan narasi arus utama yang memutarbalikkan realitas menjadi produk propaganda.

Penutup: Menolak Dunia yang Dimiliki oleh Munafik

Dunia yang adil tidak akan lahir dari meja konferensi Davos atau dari pertemuan G7 yang dilindungi tentara. Dunia yang adil lahir dari keberanian menolak. Menolak kebohongan yang dibungkus kemanusiaan. Menolak perang yang dibungkus stabilitas. Menolak imperialisme yang dibungkus demokrasi.

Jika hari ini Anda membela Palestina, Anda sedang melawan imperium. Jika Anda membela hak rakyat Iran atas obat, Anda sedang menantang struktur ketidakadilan global. Dan jika Anda menolak tunduk pada narasi G7, maka Anda sedang membuka jalan bagi dunia yang lebih adil, lebih setara, dan lebih jujur.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *