Press "Enter" to skip to content

“Dari Ledakan Emosi ke Strategi Emansipasi: Sebuah Telaah Chaos”


“Dari Ledakan Emosi ke Strategi Emansipasi: Sebuah Telaah Chaos”

Dalam sejarah politik yang ditandai oleh krisis legitimasi, chaos sering tampil sebagai gejala kebangkitan sekaligus kejatuhan. Ia bisa menjadi dentuman awal revolusi, atau justru membenamkan aspirasi dalam lumpur euforia tak berstruktur. Namun sejauh mana kita telah memahami hakikat chaos itu sendiri? Apakah ia sekadar luapan spontan, atau justru manifestasi dari kemunduran kesadaran? Di sinilah kita perlu mengajukan satu hipotesis yang tampak ganjil namun faktual: bahwa chaos memiliki irisan psikologis dan operasional dengan sifat kekanak-kanakan manusia.

Bayangkan sekelompok anak kecil yang dilepaskan dalam satu ruang tanpa aturan. Mereka tidak akan membuat sistem, tidak akan membagi peran, tidak akan menyusun tujuan kolektif. Mereka akan saling berteriak, mendorong, berebut pusat perhatian. Kekacauan itu bukan sekadar akibat dari ketidaktahuan akan hukum, melainkan ekspresi dari hasrat untuk mendominasi tanpa tanggung jawab. Mereka bebas, karena mereka belum mengenal beban etik dan konsekuensi hukum.

Namun kekhawatiran muncul ketika model perilaku ini direplikasi secara tidak sadar oleh massa dewasa dalam kondisi chaos. Dalam situasi demonstrasi besar, kerusuhan, atau ledakan sosial lainnya, individu-individu dewasa cenderung mengalami regresi psikologis. Mereka tidak lagi berpikir sebagai subjek hukum, melainkan sebagai bagian dari gerombolan yang tidak bisa dituntut secara individual. Di tengah kepulan gas air mata atau dentuman semangat orasi, batas antara kesadaran rasional dan impuls emosi menjadi kabur. Seperti anak-anak, massa dewasa larut dalam histeria kolektif dan kehilangan prinsip pembeda antara perjuangan dan pelampiasan.

Manusia Dewasa dan Subjektivitas yang Rapuh dalam Situasi Chaos

Dalam struktur sosial normal, individu diposisikan sebagai subjek hukum—makhluk rasional yang dianggap mampu membedakan baik dan buruk, yang memikul tanggung jawab atas setiap tindakan. Tapi chaos membuyarkan posisi itu. Ia menciptakan celah antara tindakan dan pertanggungjawaban. Di situlah manusia bisa menjadi bebas tanpa etik, bertindak tanpa refleksi.

Dalam Discipline and Punish, Michel Foucault menunjukkan bagaimana kekuasaan modern bekerja dengan mendisiplinkan tubuh dan menginternalisasi norma. Chaos melumpuhkan kerja kekuasaan ini. Ia memutus sistem panoptik dan menciptakan situasi “bebas hukum”. Namun justru di titik ini, chaos tidak menjadi ruang pembebasan, tetapi menjadi ruang kekosongan—void—yang siap diisi oleh aktor yang paling manipulatif.

Hannah Arendt menjelaskan dalam teorinya tentang banalitas kejahatan bahwa pelaku kekerasan sistemik seringkali bukan monster, tapi manusia biasa yang berhenti berpikir. Chaos menyediakan medan subur untuk banality of evil, di mana kejahatan tidak dilakukan dengan kesadaran jahat, tapi justru dengan kepatuhan terhadap “arus” massa, perintah tak langsung, atau imajinasi bahwa “semua orang juga melakukannya”. Dalam konteks massa aksi, tindakan perusakan, pembakaran, dan kekerasan bisa dilakukan tanpa rasa bersalah karena individu merasa terlarut dalam entitas amorf: massa. Ia kehilangan kapasitas moral individual, dan itulah awal dari potensi kejahatan banal dalam gerakan sosial.

Psikologi Gerombolan: Regresi dan Kontaminasi Emosional

Dalam karya klasiknya, The Crowd: A Study of the Popular Mind, Gustave Le Bon menyebut bahwa massa menurunkan kapasitas intelektual individu dan menggantinya dengan sugestibilitas. Freud menambahkan bahwa massa adalah ruang regresi: manusia dewasa berubah menjadi bayi yang mencari figur ayah—seorang pemimpin kharismatik—atau larut dalam hasrat primitif. Dalam massa, individu tidak hanya mengikuti yang lain, tapi juga melepaskan superego yang biasanya menahan impuls agresif dan antisosial.

Fenomena ini sering terlihat dalam aksi massa yang kehilangan struktur. Tanpa pembagian peran dan tujuan strategis, massa hanya menjadi mesin emosional yang mudah dikendalikan oleh agitator paling lantang atau kekuatan eksternal. Chaos yang tidak terorganisir bukanlah perlawanan, tetapi pelarian; bukan revolusi, tetapi bentuk primitivisme kolektif yang dibungkus dalam simbol-simbol idealisme.

Organisasi sebagai Bentuk Perlawanan terhadap Kekanak-Kanakan

Melawan chaos bukan berarti memadamkan semangat, tetapi membentuknya. Sebab kemarahan tanpa arah adalah bentuk kekanak-kanakan tertinggi. Aksi massa harus punya arsitektur: siapa yang mengatur logistik, siapa penjaga narasi, siapa negosiator dengan institusi, siapa pelindung dari infiltrasi provokatif. Seperti tentara yang tidak bisa bergerak tanpa komando, massa aksi juga harus dituntun oleh kesadaran, bukan hanya semangat.

Organisasi bukanlah penjara bagi emosi, melainkan saluran bagi rasionalitas kolektif. Gerakan yang struktural dan strategis mampu mengubah potensi destruktif dari chaos menjadi kekuatan taktis yang bisa mengguncang sistem. Sebaliknya, gerakan yang hanya bertumpu pada massa cair akan mudah dipukul mundur, dipecah belah, dan pada akhirnya ditelan oleh propaganda konter yang menyebut mereka sebagai “anarkis”, “perusuh”, atau “kriminal”.

Menuju Aksi yang Dewasa: Kesadaran Hukum sebagai Modal Moral

Satu hal yang perlu disadari oleh massa aksi adalah bahwa mereka tetap berada dalam dunia hukum. Maka mereka tidak boleh bertindak dengan asumsi bahwa kekacauan memberikan kebebasan penuh. Justru keberanian tertinggi adalah bertindak dalam batas hukum, atau melampaui hukum dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab etis—bukan karena terbawa suasana.

Dalam konteks ini, hukum bukan hanya alat negara, tetapi juga medan diskursif yang bisa ditantang. Tetapi tantangan terhadap hukum harus dilakukan dengan pertimbangan strategis dan moral, bukan dengan pelampiasan brutal. Karena sesungguhnya, perjuangan sejati adalah perjuangan untuk meraih legitimasi, bukan hanya perhatian.

Penutup: Mendidik Massa, Menstrukturkan Gerakan

Chaos bisa menjadi awal dari perubahan, tetapi hanya jika ia diubah dari amukan menjadi strategi, dari regresi menjadi progresi. Massa aksi perlu memahami bahwa kekuatan mereka tidak terletak pada jumlah, tetapi pada kedewasaan politik dan moral mereka. Maka, mendidik massa bukanlah upaya elitisme, tetapi bentuk cinta paling radikal terhadap perubahan.

Gerakan yang ingin mengguncang dunia harus lebih dewasa daripada dunia yang hendak digugatnya.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *