Press "Enter" to skip to content

“Membongkar Dosa Barat: Dari Apartheid, Genosida, hingga Fitnah atas Islam”


“Membongkar Dosa Barat: Dari Apartheid, Genosida, hingga Fitnah atas Islam”

Ironi adalah wajah paling tragis dari peradaban modern. Di satu sisi, dunia Barat berdiri di podium-podium tinggi menyuarakan “kemanusiaan”, “demokrasi”, dan “kebebasan”, namun di sisi lain, mereka menyimpan bilah pedang tajam yang terus menusuk tubuh dunia non-Barat dengan kolonialisme baru, narasi manipulatif, dan kekerasan terstruktur. White supremacy (supremasi kulit putih) dan kebijakan apartheid bukanlah sekadar anomali sejarah; keduanya adalah pilar kekuasaan Barat yang menindas selama berabad-abad. Di tengah suara nyaring media Barat yang menggambarkan Islam dan Timur sebagai ancaman, kita lupa siapa sebenarnya pelaku kekerasan sistemik terbesar dalam sejarah modern.

Supremasi kulit putih, dengan dalih superioritas biologis dan moral, telah menjadi basis justifikasi berbagai ekspansi kekuasaan kolonial. Dari perbudakan trans-Atlantik yang mencabik-cabik tubuh dan jiwa jutaan orang Afrika, hingga kebijakan apartheid di Afrika Selatan yang menciptakan sistem segregasi rasial brutal selama hampir setengah abad, Barat telah menjadikan ras sebagai alat dominasi. Rezim apartheid secara resmi berlangsung dari tahun 1948 hingga 1994. Selama periode ini, lebih dari 3,5 juta orang kulit hitam Afrika Selatan secara paksa dipindahkan dari rumah mereka melalui Undang-Undang Tanah dan sistem pemukiman terpisah. Kekerasan negara menjadi alat utama dalam mempertahankan dominasi minoritas kulit putih—tercatat bahwa dari tahun 1960 hingga 1994, setidaknya 21.000 orang tewas dalam kekerasan politik terkait apartheid, termasuk dalam pembantaian seperti Sharpeville Massacre tahun 1960 di mana 69 warga sipil dibunuh polisi saat berdemo damai.

papan wilaya kusus orang kulit putih

Namun sejarah penindasan tidak berhenti di sana. Setelah Perang Dunia II dan berakhirnya kolonialisme formal, dunia Barat—terutama Amerika Serikat—memerlukan musuh baru demi mempertahankan hegemoni globalnya. Perang Dingin melahirkan oposisi antara kapitalisme dan komunisme, antara “dunia bebas” dan “tirani totaliter.” Tapi ketika Uni Soviet runtuh pada awal 1990-an, Barat, khususnya Amerika, membutuhkan simbol baru dari “kejahatan global.” Maka dimulailah fabrikasi narasi tentang Islam sebagai simbol kekerasan, terorisme, dan kemunduran. Samuel Huntington mengabadikan proyek ini dalam tulisannya The Clash of Civilizations yang menggambarkan Timur, khususnya Islam, sebagai musuh utama Barat di era pasca-Perang Dingin.

Narasi ini adalah rekayasa strategis: Barat membangun musuh, menciptakan ketakutan, dan menjustifikasi intervensi militer dengan alasan yang sangat longgar dan seringkali terbukti palsu. Invasi ke Irak tahun 2003 adalah contoh paling vulgar dari narasi manipulatif ini. Pemerintah AS di bawah George W. Bush mengklaim bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal (WMD) dan berkolaborasi dengan Al-Qaeda—dua tuduhan yang terbukti keliru oleh tim investigasi internasional, termasuk Iraq Survey Group. Namun tetap saja, invasi dilakukan, menjatuhkan pemerintahan Saddam Hussein, dan membuka pintu bagi kekacauan yang luas. Menurut studi yang dimuat dalam jurnal medis The Lancet, diperkirakan sekitar 655.000 warga sipil Irak tewas secara langsung dan tidak langsung sebagai akibat dari invasi dan kekacauan pasca perang antara 2003 hingga 2006. Laporan lain dari Brown University’s Costs of War Project menyebutkan bahwa total korban tewas akibat konflik Irak sejak 2003 telah melebihi 1 juta jiwa, termasuk korban sipil, militer, dan kontraktor.

Lebih dari itu, invasi Irak membentuk preseden global: Barat bisa mengintervensi negara manapun dengan dalih apa pun—sebuah legalisasi kekerasan imperial berbaju “demokratisasi.” Kekacauan di Timur Tengah bukan hasil dari konflik etnis atau sektarian semata, melainkan produk dari intervensi geopolitik Barat yang ingin mempertahankan kendali atas minyak, pengaruh politik, dan peta strategis global.

Namun yang lebih berbahaya dari invasi militer adalah invasi ideologis. Barat mencitrakan diri sebagai pusat moralitas, demokrasi, dan kemajuan. Mereka mengekspor “nilai-nilai universal”—yang pada kenyataannya adalah nilai-nilai partikular Barat—ke seluruh penjuru dunia, tanpa mempertimbangkan sejarah, budaya, dan kearifan lokal bangsa lain. Narasi tentang kebebasan, HAM, dan demokrasi digunakan sebagai alat pemutih dosa masa lalu mereka. Mereka tidak pernah benar-benar meminta maaf atas kolonialisme, perbudakan, dan genosida penduduk asli seperti yang terjadi pada suku Indian di Amerika, suku Aborigin di Australia, atau suku Herero di Namibia. Justru sebaliknya, mereka menciptakan institusi-institusi global yang mereka kuasai dan menjadikannya alat pelanggengan kekuasaan.

Kini, dunia berada dalam jebakan retorika kosong. Barat menawarkan modernitas tetapi menuntut subordinasi. Mereka mencela pelanggaran HAM di negara-negara Timur, namun menutup mata terhadap kejahatan yang dilakukan Israel terhadap rakyat Palestina—sebuah bentuk apartheid modern yang didukung penuh oleh kekuatan Barat. Mereka berbicara tentang demokrasi, tetapi hanya jika hasil demokrasi sesuai dengan kepentingan geopolitik mereka. Jika tidak, maka kudeta, sanksi ekonomi, atau intervensi militer menjadi pilihan.

Sudah saatnya kita membuka mata terhadap kenyataan ini. Bahwa narasi negatif tentang Timur dan Islam bukan sekadar kesalahpahaman, melainkan proyek ideologis yang mendalam dan sistematis. Kita harus menolak ideologi cuci tangan Barat yang membungkus kolonialisme dengan wangi kebebasan. Kita harus membaca ulang sejarah dunia dari sudut pandang yang selama ini ditekan dan disingkirkan: sejarah budak, sejarah bangsa terjajah, sejarah minoritas yang dilenyapkan. Sejarah harus menjadi ruang kebenaran, bukan ruang propaganda.

Sebagaimana ular berbisa yang menyelinap diam-diam dan menyuntikkan racun mematikan, Barat telah menyebarkan narasi yang menghancurkan identitas, kedaulatan, dan harga diri bangsa-bangsa non-Barat. Kita harus membangun benteng kesadaran, membaca sejarah secara kritis, dan merumuskan ulang perlawanan ideologis terhadap segala bentuk dominasi. Pengetahuan adalah senjata, dan narasi adalah medan tempur. Saatnya kita menulis sejarah kita sendiri—dari Selatan, dari Timur, dari pinggiran dunia—dan menantang pusat kekuasaan yang selama ini berdiri di atas darah dan penderitaan umat manusia.


Referensi data kuantitatif yang digunakan:

  • The Lancet, Mortality after the 2003 invasion of Iraq: a cross-sectional cluster sample survey, 2006.
  • Brown University, Costs of War Project, https://watson.brown.edu/costsofwar/
  • South African Truth and Reconciliation Commission Report, 1998.
  • Human Rights Watch, Unequal Protection Under the Law: The Case of Apartheid South Africa, 1990s archive.
  • United Nations Centre Against Apartheid, 1980s database.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *