Opini

Negara Tanpa Mata: Ketika Tunanetra Dikeroyok Demi Ketertiban Semu
Waktu itu, di trotoar sempit yang menghadap deretan toko-toko di kota—dengan panas matahari yang menyengat kulit—seorang pria gempal, berpakaian lusuh dan memegang tongkat putih, tergolek pasrah di lantai. Sekelilingnya, beberapa aparat Satpol PP berdiri tegak. Tapi bukan tegak untuk melindungi. Bukan pula berdiri demi memberi hormat pada kemanusiaan. Mereka berdiri sebagai simbol kekuasaan—tajam, dingin, dan memaksa.
Adegan ini bukan skenario fiksi. Ia nyata. Terekam oleh kamera ponsel warga. Viral di media sosial. Dan menjadi tamparan keras bagi nurani siapa pun yang masih memelihara empati di negara ini.
Ironi Negara yang Menutup Mata, Tapi Melotot pada Rakyat Kecil
Mari bayangkan sejenak: seorang tunanetra yang seharusnya mendapat perlindungan negara karena keterbatasan fisik, justru harus berjuang bukan hanya melawan nasib, tapi juga aparat negara. Ia mengamen bukan karena ingin melanggar hukum. Ia mengamen karena negara tidak menyediakan ruang hidup yang layak baginya. Tidak ada jaring pengaman sosial. Tidak ada pekerjaan yang layak untuk seorang yang tidak dapat melihat, tidak punya koneksi, dan hidup di jalanan.
Alih-alih hadir sebagai pengayom, negara justru hadir sebagai pemukul. Yang hadir bukan uluran tangan, melainkan tangan yang mengayun keras. Satpol PP, yang katanya penegak ketertiban umum, berubah jadi simbol kekejaman struktural yang membusuk dari dalam.
Kekerasan yang Diinstitusikan: Dari Arogansi hingga Kekerasan Struktural
Kita hidup dalam sistem yang secara sadar membiarkan ketimpangan mengakar. Ketika aparat menangkap seorang tunanetra dengan cara yang kasar, menjatuhkannya ke trotoar, mengepungnya layaknya kriminal kelas berat—maka itu bukan sekadar insiden. Itu cerminan ideologi.
Aparat tidak bekerja dalam kevakuman. Mereka dibentuk, diberi mandat, dan digerakkan oleh struktur yang jauh lebih besar—struktur negara. Kekerasan semacam ini lahir dari sistem yang menanamkan kecurigaan terhadap rakyat miskin, dari aparat yang dilatih untuk “mengamankan” bukan melindungi, dari kebijakan yang lebih peduli pada estetika kota daripada martabat manusia.
“Ketertiban” yang Menyakitkan dan Palsu
Kita sering mendengar alasan klasik dari para pejabat: “Penertiban ini demi ketertiban umum.” Tapi mari kita bertanya lebih jauh—ketertiban seperti apa yang mereka maksud? Apakah kota yang steril dari pengamen, pedagang kaki lima, dan gelandangan—adalah kota yang benar-benar tertib?
Ketertiban tanpa keadilan adalah kekacauan yang dilumuri cat putih. Dan kota yang mendorong rakyat miskinnya ke pinggiran demi pemandangan yang ‘indah’ bagi investor atau wisatawan, adalah kota yang penuh luka. Luka yang disembunyikan, tapi berdarah terus setiap harinya.
Negara Hanya Tajam ke Bawah
Jika aparat bisa menyeret tunanetra dengan begitu ganas, mengapa mereka bungkam ketika pejabat korup merampok uang rakyat? Mengapa tak ada arogansi yang sama ketika yang melanggar adalah mereka yang bersafari, bermobil mewah, dan berdasi?
Jawabannya sederhana: karena sistem ini tidak buta hukum. Ia melek pada hierarki. Ia tahu siapa yang boleh ditindas dan siapa yang tidak boleh disentuh.
Dan inilah wajah buruk dari sistem penegakan hukum kita: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Ini bukan cuma soal moral aparat di lapangan, tapi kegagalan total negara dalam menghayati makna konstitusi dan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Kemanusiaan yang Tertinggal di Pinggir Jalan
Apa yang terjadi pada pengamen tunanetra itu bukan hanya penghinaan terhadap satu individu. Itu adalah penghinaan terhadap kemanusiaan kita bersama. Penghinaan terhadap ide bahwa setiap warga negara punya hak yang sama untuk dihormati dan dilindungi. Dan lebih dari itu—ia adalah cermin retak dari kebusukan sistemik yang merembes hingga ke sendi-sendi kekuasaan.
Bagaimana bisa negara yang mendaku sebagai “beradab dan adil” tega membiarkan aparatnya berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat yang paling lemah? Bagaimana bisa slogan “kemanusiaan yang adil dan beradab” hanya menjadi dekorasi upacara, sementara di jalan-jalan kota, yang terjadi justru kekerasan terhadap kaum miskin?
Bangkitnya Kesadaran Sosial: Di Mana Kita Berdiri?
Video itu telah tersebar. Ribuan mata telah menonton. Tapi apakah itu cukup?
Jika kita diam, kita menjadi bagian dari sistem yang sama. Maka suara perlawanan harus dinyalakan. Opini-opini seperti ini harus terus digemakan. Agar kita tak menjadi masyarakat yang hanya bersimpati sebentar, lalu lupa.
Kita butuh gerakan sosial. Kita butuh menuntut kebijakan yang manusiawi. Kita butuh memastikan bahwa aparat negara dilatih bukan hanya secara fisik, tapi juga secara etika dan nurani.
Kesimpulan: Melihat dengan Hati, Bukan Kekuasaan
Mereka bilang, tunanetra tak bisa melihat. Tapi hari itu, siapa sebenarnya yang buta?
Negara ini tak kekurangan hukum. Yang kurang adalah keberpihakan. Yang hilang adalah kemanusiaan. Dan selama rakyat kecil terus diperlakukan seperti hama kota, maka sejatinya negara ini tidak sedang menegakkan ketertiban—melainkan sedang menghancurkan martabat rakyatnya sendiri.
Saatnya membuka mata. Bukan mata kepala, tapi mata hati. Karena negara yang adil bukan negara yang mengeroyok pengamen tunanetra. Negara yang adil adalah negara yang mengulurkan tangan, bukan mengangkat tongkat.
Dan sampai itu terjadi, kita hanya akan terus menyaksikan ironi: negara yang mengaku menjunjung keadilan sosial, tapi malah menjadi monster bagi warganya yang paling lemah.
Be First to Comment