Apakah Islam memiliki nilai-nilai sosialisme? Artikel ini mengulas keterkaitan tradisi Islam seperti zakat, kurban, dan keadilan sosial dengan prinsip sosialisme, lengkap dengan pandangan tokoh-tokoh Islam progresif. Baca ulasan mendalamnya di sini.

Kedekatan Islam dan Sosialisme: Nilai Keadilan Sosial dalam Tradisi Islam
Dalam arus sejarah ideologi dunia, sosialisme sering kali dikonotasikan sebagai suatu paham yang lahir dari rahim pergolakan kelas pekerja terhadap struktur kapitalisme yang menindas. Namun, sebelum Karl Marx atau Engels menulis manifesto-manifestonya, dunia telah lebih dulu mengenal berbagai bentuk sistem sosial berbasis kesetaraan dan distribusi kekayaan yang adil. Salah satu tradisi spiritual yang sejak awal menaruh perhatian besar pada keadilan sosial adalah Islam. Di luar ritual ibadah dan transendensi spiritualnya, Islam menyimpan fondasi-fondasi sosial yang memiliki kedekatan kuat dengan nilai-nilai sosialisme. Zakat, sedekah, wakaf, larangan penimbunan kekayaan, distribusi kurban, dan peringatan keras terhadap akumulasi harta secara berlebihan, semuanya menunjukkan arah yang jelas: Islam adalah agama yang memihak kepada keadilan sosial.
Islam: Agama dan Sistem Sosial
Islam bukan sekadar agama dalam pengertian sempit, melainkan juga suatu sistem kehidupan (nizham al-hayah) yang mencakup aspek spiritual, moral, politik, dan ekonomi. Dalam kerangka ini, Islam hadir untuk menata hubungan manusia tidak hanya dengan Tuhan (hablumminallah), tetapi juga dengan sesamanya (hablumminannas). Titik tekan Islam pada aspek sosial inilah yang membuka jalan untuk membandingkan dan mengaitkannya dengan sosialisme.
Sosialisme sendiri, dalam pengertian dasarnya, adalah sistem sosial dan ekonomi yang berusaha menciptakan keadilan dalam distribusi kekayaan, penghapusan eksploitasi manusia atas manusia, dan penegakan solidaritas sosial. Di sinilah kita menemukan kesesuaian antara prinsip dasar sosialisme dengan nilai-nilai yang telah lama hidup dalam tradisi Islam.
Zakat dan Redistribusi Kekayaan
Salah satu pilar Islam yang paling relevan dengan prinsip sosialisme adalah zakat. Zakat bukanlah sedekah sukarela, melainkan kewajiban yang mengikat bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat kepemilikan harta. Dalam QS. At-Taubah: 60, Al-Qur’an menyebutkan bahwa zakat harus didistribusikan kepada delapan golongan yang membutuhkan, termasuk fakir, miskin, amil, mu’allaf, budak, orang yang berhutang, sabilillah, dan ibnu sabil. Zakat mengandung prinsip distribusi kekayaan yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan sosial. Ia menjadi instrumen ekonomi dan spiritual sekaligus, yang tidak hanya menghapus kecemburuan sosial, tetapi juga menumbuhkan solidaritas dan tanggung jawab kolektif.
Berbeda dengan sistem perpajakan modern yang dikendalikan negara, zakat bersifat spiritual dan moral. Namun dampaknya sangat sosialistik: orang kaya tidak boleh menimbun hartanya, sementara orang miskin memiliki hak atas kekayaan itu. Ini sangat sesuai dengan prinsip sosialisme yang menyatakan bahwa alat dan hasil produksi harus digunakan untuk kepentingan bersama.
Dalam pandangan Sayyid Qutb, seorang pemikir Muslim radikal dari Mesir, zakat bukan hanya instrumen sosial, tetapi juga strategi untuk menciptakan masyarakat yang bebas dari penindasan ekonomi. Ia menulis dalam Fi Zilal al-Qur’an:
“Zakat tidak diberikan sebagai karunia dari yang kaya kepada yang miskin. Ia adalah hak orang miskin dalam harta orang kaya…”
Kurban: Solidaritas Tahunan yang Memerdekakan
Setiap tahun dalam Idul Adha, umat Islam dari berbagai penjuru dunia melakukan penyembelihan hewan kurban. Dagingnya dibagikan kepada kaum fakir, miskin, dan mereka yang membutuhkan tanpa memandang kelas sosial. Dalam praktik ini, kita menemukan bentuk solidaritas massal yang menyerupai konsep distribusi kolektif dalam sosialisme. Kurban bukan sekadar ritual ibadah, melainkan bentuk penegasan nilai-nilai kebersamaan dan penghapusan monopoli konsumsi oleh kelas tertentu.
Praktik ini juga menyiratkan bahwa Islam tidak mengenal eksklusivitas dalam menikmati hasil kekayaan. Dalam masyarakat kapitalistik, konsumsi daging kerap menjadi simbol kelas. Namun dalam tradisi kurban Islam, daging—yang dalam konteks historis merupakan simbol kemakmuran—dibagikan secara egaliter, memperkuat ikatan sosial dan menghapus garis pemisah antara kelas kaya dan miskin.
Pandangan Para Tokoh Islam: Keadilan Sosial sebagai Inti Ajaran
Beberapa tokoh Islam terkemuka secara eksplisit menyoroti kesamaan nilai antara Islam dan sosialisme dalam konteks keadilan sosial:
- Ali Syariati, seorang intelektual revolusioner asal Iran, menyatakan bahwa Islam adalah agama revolusi sosial. Dalam bukunya On the Sociology of Islam, ia menegaskan bahwa Islam bertujuan untuk menghapus struktur masyarakat yang timpang dan menindas. Menurut Syariati: “Islam adalah pemberontakan suci atas penindasan, ketimpangan, dan penghisapan.”
- Hasan al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin, juga menekankan pentingnya solidaritas ekonomi dan keadilan sosial. Dalam berbagai pidatonya, ia mendorong penerapan ekonomi Islam yang berpihak kepada masyarakat tertindas dan menghapuskan riba sebagai bentuk eksploitasi.
- Muhammad Abduh, reformis asal Mesir, percaya bahwa Islam adalah agama yang membebaskan akal sekaligus menjunjung tinggi keadilan sosial. Ia mendorong peran negara dalam menjamin distribusi kekayaan agar masyarakat tidak hidup dalam ketimpangan.
- KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan, dua tokoh besar Indonesia, sejak awal menekankan pentingnya solidaritas sosial, bantuan pada kaum dhuafa, serta tanggung jawab sosial umat Islam terhadap kemiskinan. Tradisi gotong royong, zakat, infak, dan sedekah merupakan bagian dari gerakan sosial mereka.
Kapitalisme dan Penegasan Nilai Islam
Dalam dunia modern yang didominasi oleh sistem kapitalisme, nilai-nilai Islam yang menekankan distribusi kekayaan secara adil menjadi kontra narasi penting. Kapitalisme menempatkan kepemilikan pribadi dan akumulasi modal sebagai kebajikan, sementara Islam justru memperingatkan keras terhadap orang-orang yang menimbun kekayaan dan melupakan kaum miskin. Dalam QS. At-Taubah: 34, disebutkan:
“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat azab yang pedih.”
Ayat ini merupakan bentuk kritik eksplisit terhadap kapitalisme dalam bentuk klasik maupun modern. Ketika kekayaan berputar di antara segelintir orang, Islam menegaskan bahwa masyarakat tersebut tengah menuju kehancuran spiritual dan sosial.
Islam Tidak Identik dengan Sosialisme Negara
Meski memiliki kedekatan nilai, Islam tidak serta-merta bisa disamakan dengan sosialisme dalam pengertian ideologis-materialistik ala Marx. Sosialisme dalam Islam bukanlah hasil pergulatan kelas, melainkan bagian dari wahyu yang menuntut tanggung jawab moral dan spiritual dari individu serta komunitas. Islam juga tidak menghapus kepemilikan pribadi secara mutlak, melainkan mengaturnya agar tidak menjadi alat penindasan.
Sosialisme Islam adalah bentuk etika ekonomi yang lahir dari kesadaran spiritual, bukan revolusi kelas. Ia bukan semata kebijakan negara, tetapi kesalehan sosial yang harus ditanamkan dalam kesadaran umat.
Penutup: Menuju Islam Sosial yang Membebaskan
Dunia hari ini menghadapi ketimpangan yang makin parah, dengan segelintir orang menguasai sebagian besar kekayaan dunia. Dalam konteks ini, ajaran Islam tentang zakat, sedekah, kurban, larangan riba, dan hak atas kekayaan bersama menjadi sangat relevan. Islam tidak hanya memberikan solusi spiritual, tetapi juga kerangka sosial yang mampu menjawab kegagalan kapitalisme dan kebuntuan sosialisme sekuler.
Kita perlu menghidupkan kembali semangat sosial Islam bukan dalam bentuk dogma, tetapi sebagai gerakan etis dan praksis sosial. Dengan mengembalikan Islam ke akar-akar sosialnya, kita tak hanya membangun masyarakat yang saleh secara ritual, tetapi juga adil secara struktural. Dalam istilah Ali Syariati:
“Islam yang tidak berpihak kepada kaum mustadh’afin (yang tertindas), hanyalah simbol tanpa ruh.”
Be First to Comment