Press "Enter" to skip to content

Dibalik Bangsa yang Besar Terdapat Omong Kosong yang Beraneka Ragam

Feature

Dibalik Bangsa yang Besar Terdapat Omong Kosong yang Beraneka Ragam

“Sejarah adalah luka yang disulap menjadi mahkota; duka yang dibentuk menjadi dongeng.”

Kebohongan yang Kita Rayakan

Bangsa-bangsa besar berdiri megah. Mereka punya lagu kebangsaan, konstitusi, akademi, institusi militer, lambang negara, dan sejarah resmi. Tapi di bawah fondasi megah itu, tersimpan lapisan-lapisan sejarah yang tidak pernah diajarkan di sekolah. Sebuah bangsa tidak pernah hanya dibentuk oleh semangat kolektif, melainkan juga oleh darah yang mengalir diam-diam, tipu daya yang dilegitimasi, dan narasi yang disuling dari kebohongan menjadi kebanggaan.

Kita menyebutnya “identitas nasional”. Tapi sesungguhnya, itu adalah imajinasi kolektif yang terus direkayasa, dikokohkan oleh pendidikan, adat, budaya populer, dan hukum.

Amerika, Jerman, Jepang: Belajar dari Jejak Luka Global

Amerika Serikat berdiri megah di atas tulang belulang penduduk asli. Jerman Nazi membungkus kehancuran moral dalam mitos keunggulan ras. Jepang menutup kekejaman masa perang dengan estetika budaya yang disterilkan.

Namun sejarah tidak berhenti di sana. Ia terus mengalir seperti sungai yang membawa serta racun-racun ide lama dalam bentuk baru: supremasi teknologi, kolonialisme digital, dan nasionalisme ekonomi.

Ketika Luka Itu Juga Milik Kita

Indonesia bukan pengecualian. Sejak proklamasi, bangsa ini telah menyimpan begitu banyak rahasia. Sejarah kita seringkali hanya menarasikan pahlawan, tapi melupakan korban. Apakah Anda pernah benar-benar bertanya:

  • Mengapa sebagian orang masih merasa seperti warga kelas dua di tanahnya sendiri?
  • Apa yang sebenarnya terjadi di Papua sejak integrasinya ke Indonesia?
  • Siapa yang mengizinkan tanah-tanah adat disulap menjadi tambang dan sawit?

Tragedi 1965 adalah salah satu dari banyak lubang hitam sejarah. Ratusan ribu orang dibunuh tanpa proses hukum. Hingga hari ini, keturunan mereka masih dicurigai, dimarjinalkan, disisihkan. Negara tak pernah benar-benar minta maaf.

Lalu ada masyarakat adat di Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera yang tanahnya dirampas demi pembangunan nasional. Mereka tidak punya sertifikat, tapi punya sejarah. Ironisnya, yang tidak punya sejarah justru datang membawa alat berat dan diberi izin.

Pertanyaannya: Apakah kebesaran bangsa memang harus ditebus dengan penghapusan jejak warganya sendiri?

Untuk Siapa Kebesaran Itu?

Apakah kita bangsa yang besar jika sekolah-sekolah tak mengajarkan kejujuran sejarah? Apakah kita bangsa yang merdeka jika petani bisa dipenjara karena mempertahankan tanahnya? Apakah kita bangsa yang adil jika yang bersuara dibungkam atas nama stabilitas?

Mengapa kita mencintai kebohongan yang dikemas dalam bendera, tapi takut pada kebenaran yang dibisikkan korban?

Mengapa kita berlomba mencipta senjata, memanen tambang, menguasai informasi — tapi tak pernah mampu menciptakan ruang aman untuk jujur terhadap masa lalu kita sendiri?

Filsafat Kebangsaan: Menuju Imajinasi yang Lebih Jujur

Bangsa bukanlah kodrat. Ia adalah ide yang diciptakan, dan karenanya bisa diubah. Jika kita menciptakannya dari narasi kekerasan, maka kita pun bisa menciptakan bangsa baru dari narasi penyembuhan.

Mungkin kebesaran bangsa bukan soal “seberapa banyak kita menaklukkan”, tapi “seberapa banyak luka yang kita berani akui dan sembuhkan.”

Bayangkan bangsa yang ukurannya bukan dominasi, tapi kepedulian. Bangsa yang tidak berlomba menanam bendera di luar wilayahnya, tapi menanam benih pemahaman di dalam dirinya sendiri. Bangsa yang tidak menindas atas nama persatuan, tapi berdiri tegak di atas keberagaman yang diterima sepenuh hati.

Arah Pencerahan: Membayangkan Ulang Bangsa

Mari kita bayangkan ulang:

  • Pendidikan sejarah yang membuka luka dan mengajak menyembuhkan, bukan mengubur.
  • Negara yang lebih bangga membebaskan lahan adat dari konsesi ketimbang membuka tambang baru.
  • Generasi muda yang tidak bangga pada perang, tapi pada kemampuan menyembuhkan dan membangun.

Mungkin akan tiba suatu hari ketika seorang anak Papua, Aceh, Bali, atau Dayak, bisa berdiri menyanyikan Indonesia Raya — bukan dengan kebingungan, bukan dengan luka dalam hati, tapi dengan kepercayaan bahwa ia juga bagian utuh dari bangsa ini.

Dan ketika hari itu datang, kita bisa berkata: “Inilah bangsa besar — bukan karena kuasa, tapi karena keberaniannya untuk jujur, untuk peduli, dan untuk sembuh.”

Penutup

Tulisan ini bukan ajakan untuk membenci negara, melainkan ajakan untuk mencintainya dengan cara yang lebih dewasa: mencintai sambil mengoreksi, memeluk sambil mengingat, membangun sambil menyembuhkan.

Karena sejatinya, bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak takut pada kebenaran.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *