Press "Enter" to skip to content

Ketika Hukum Takut pada yang Kuat: Ironi Penegakan Hukum dan Relasi Kuasa di Indonesia

opini


Ketika Hukum Takut pada yang Kuat: Ironi Penegakan Hukum dan Relasi Kuasa di Indonesia

Bayangkan sebuah negeri yang setiap tanggal 17 Agustus memekikkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” namun di sudut-sudut kotanya, aparat menggiring pedagang kaki lima seperti kriminal, sementara para perampok dana publik justru disambut kamera dengan senyuman. Beginilah wajah hukum di negeri ini. Hukum tidak lagi menjadi panglima, melainkan panggung tempat kuasa dan ketimpangan memainkan lakonnya.

Indonesia, yang dalam teks konstitusi dan pidato kenegaraan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan hukum, ternyata menunjukkan wajah berbeda dalam praktik sehari-hari. Kita melihat kontras mencolok antara bagaimana hukum ditegakkan kepada mereka yang lemah dan kepada mereka yang kuat. Di satu sisi, aparat bergerak cepat dan tegas kepada rakyat kecil — pengamen, pedagang kaki lima, pengemis, atau warga yang bertahan di tanah sengketa. Di sisi lain, penegakan hukum terhadap pelaku korupsi justru berjalan dengan penuh kehati-hatian, bahkan kelembutan.

Penangkapan koruptor yang seharusnya menjadi simbol ketegasan negara terhadap kejahatan kelas berat, justru tampil seolah menjadi prosesi. Tersangka berseragam rapi, tersenyum di depan media, didampingi pengacara, dan nyaris tanpa tekanan. Konon, karena mereka bersikap kooperatif. Tapi adakah rakyat kecil pernah diberi ruang untuk bersikap kooperatif sebelum digusur, ditertibkan, atau ditindak? Di sinilah letak ironi: seseorang yang mencari nafkah di pinggir jalan bisa dianggap mengganggu ketertiban umum, sementara perampok dana pendidikan justru ditangani dengan santun.

Hukum yang semestinya netral dan adil kini telah mengalami distorsi makna. Ia bukan lagi alat pemerataan keadilan, melainkan cermin dari relasi kuasa dalam masyarakat. Mereka yang memiliki kuasa politik, ekonomi, dan akses terhadap jaringan institusional dapat memengaruhi proses hukum — secara langsung maupun simbolik. Aparat menjadi berhati-hati, bahkan takut, bukan karena tidak mampu bertindak, melainkan karena sadar betul siapa yang mereka hadapi.

Sebaliknya, rakyat kecil yang tidak memiliki kekuatan tawar — baik secara hukum, media, maupun jejaring sosial-politik — menjadi sasaran empuk dari “ketegasan” aparat. Tanpa risiko politik, tanpa ancaman balik, dan tanpa protes publik yang berarti, aparat bebas bertindak represif. Di sinilah keberanian hukum hanya ditunjukkan kepada mereka yang lemah, sementara kesantunan hukum hanya diberikan kepada mereka yang kuat.

Kontradiksi ini begitu nyata dalam berbagai peristiwa. Seorang ibu yang mencuri susu karena anaknya kelaparan divonis penjara, sementara terdakwa korupsi miliaran rupiah bisa lolos dengan dalih administratif. Aparat bisa menjungkirbalikkan gerobak bakso, tetapi seolah mati langkah menghadapi restoran mewah yang melanggar izin. Polisi lalu lintas mudah menilang pengemudi ojek daring, namun bungkam ketika pejabat negara melintas dengan pelat palsu dan pengawalan.

Ironi ini mencerminkan kegagalan mendalam dalam sistem penegakan hukum kita. Hukum tidak hanya kehilangan fungsi korektifnya, tetapi juga kehilangan nilai moralnya. Dalam bahasa sosiolog Emile Durkheim, masyarakat telah masuk dalam kondisi anomie, di mana norma dan nilai sosial kehilangan kendali terhadap perilaku institusional. Ketika penegak hukum sendiri abai pada prinsip moral, bagaimana kita bisa berharap keadilan benar-benar ditegakkan?

Lebih jauh, ini bukan sekadar soal aparat atau individu pelaksana. Ini adalah krisis struktural. Ketimpangan perlakuan dalam hukum adalah cermin dari ketimpangan yang lebih besar dalam masyarakat: ketimpangan akses, ketimpangan informasi, ketimpangan representasi. Sistem hukum kita, secara sadar atau tidak, melanggengkan dominasi kelas atas dan menindas mereka yang tidak punya kuasa.

Namun, krisis ini juga membuka celah untuk kebangkitan. Dalam kesadaran publik yang mulai tumbuh, muncul pertanyaan-pertanyaan mendasar: untuk siapa hukum ditegakkan? Siapa yang diuntungkan dari ketimpangan ini? Ketika semakin banyak masyarakat menyadari bahwa yang tidak wajar telah dianggap biasa, maka di sanalah awal dari perlawanan terhadap ketidakadilan dimulai.

Kita membutuhkan lebih dari sekadar reformasi institusi. Kita butuh transformasi moral dan kesadaran kolektif. Aparat hukum harus dikembalikan pada ruhnya sebagai pelayan keadilan, bukan pelayan kekuasaan. Media harus berhenti mengagungkan tersangka korupsi seperti selebritas. Masyarakat sipil harus bangkit untuk menolak kekerasan terhadap rakyat kecil dan perlakuan istimewa kepada pelanggar kelas elite.

Karena pada akhirnya, negara bukanlah milik mereka yang punya jabatan dan uang, melainkan milik semua warga — termasuk mereka yang hidup di lorong-lorong sempit kota, yang berjualan di pinggir jalan, yang tak masuk layar media. Dan keadilan, harus diperjuangkan agar tidak hanya menjadi milik mereka yang bisa membelinya.


Artikel ini merupakan suara perlawanan terhadap ketimpangan hukum. Bukan ajakan anarki, tapi ajakan untuk menyadari bahwa keadilan sejati hanya lahir ketika masyarakat menolak tunduk pada kekuasaan yang membungkam moral dan menindas mereka yang tak berdaya.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *