Esai filosofis yang menggugah emosi tentang makna hidup, absurditas eksistensi, harapan manusia, dan keheningan setelah kematian. Sebuah renungan mendalam tentang mengapa manusia hidup dan mengapa semua bisa hilang begitu saja.

Mengapa Hidup Ini Harus Ada? | Renungan Filosofis Tentang Makna, Harapan, dan Ketiadaan
Manusia telah mati berjuta-juta kali. Sebagian mati dengan gagah karena perjuangan, sebagian lain mati dalam kesendirian dan kesia-siaan. Sebagian lain bahkan mati tanpa sempat tahu mengapa ia hidup. Di antara kerumunan sejarah yang disusun dengan rapi oleh pena-pena penguasa dan elit peradaban, nama-nama itu menghilang. Mereka yang berjalan dalam lorong waktu tanpa tapak yang tertinggal. Mereka yang pernah tertawa, mencintai, memohon, menggigil dalam dingin, dan menangis dalam sunyi, tapi pada akhirnya dilupakan. Tak satu pun dari mereka meninggalkan bekas yang abadi kecuali hanya segelintir yang kebetulan dicatat. Maka pertanyaan besar itu muncul: “Mengapa hidup ini harus ada?”
Esai ini bukan sekadar pertanyaan, tetapi upaya untuk menyibak absurditas dari pengalaman hidup yang terus berulang dan, pada akhirnya, berakhir pada kehampaan.
Hidup Sebagai Perjudian Kosmis
Setiap manusia datang ke dunia ini tanpa meminta dilahirkan. Ia tidak memilih di keluarga mana ia akan berada, di kelas sosial mana ia akan tumbuh, atau pada zaman apa ia akan hidup. Namun begitu ia membuka mata, hidup menuntutnya untuk bertahan. Ia dipaksa menjadi pejuang, penantang, atau pecundang. Hidup menjadi meja judi kosmis yang tak pernah berhenti berputar. Taruhannya: waktu dan usia. Hadiahnya? Nasib baik, jika beruntung. Sisanya? Kegagalan, kelelahan, dan kehancuran pelan-pelan.
Betapa banyak orang miskin yang menggantungkan harapannya pada secuil keberuntungan namun mati dalam peluh. Berapa banyak anak muda yang menyulut semangatnya ke langit dengan cita-cita besar, namun mati sebelum impiannya sempat berbentuk. Di sisi lain, orang-orang kaya, yang hidup dalam genangan kelebihan, tenggelam dalam apatis dan hedonisme yang kosong. Dan sisanya, yang biasa-biasa saja, menjadi latar buram dari panggung besar yang tak pernah mereka kuasai.
Dari zaman ke zaman, manusia datang dan pergi. Mereka menggantikan dan digantikan. Hidup mereka mengisi statistik populasi dan angka kematian. Tak ada tanda, tak ada gema. Mereka hanya bagian dari mekanisme semesta yang terus bergerak, seakan-akan keberadaan mereka hanya dibutuhkan agar waktu bisa terus berjalan menuju kehancuran akhir: kiamat.
Sejarah: Pilihan yang Pincang
Sejarah memang mencatat, tapi ia bukanlah catatan kehidupan manusia secara menyeluruh. Ia adalah rekaman selektif dari mereka yang dianggap penting, kuat, atau berguna bagi narasi yang dominan. Tokoh-tokoh besar, pemimpin, penakluk, penemu—merekalah yang abadi. Tapi bagaimana dengan jutaan jiwa yang tak pernah disebut? Mereka yang mati di ladang, di pabrik, di jalanan, atau di tempat tidur yang sunyi. Bagaimana dengan mereka yang sepanjang hidupnya hanya bekerja, bertahan, dan berharap?
Pengagungan terhadap satu tokoh atau satu karya besar menjadi bentuk pengalihan atas kenyataan yang pahit: bahwa kebanyakan manusia tidak pernah benar-benar dianggap hidup oleh sejarah. Mereka adalah pelengkap penderita dari kalimat besar bernama peradaban.
Apakah nilai manusia hanya bisa diukur dari sejauh mana ia dikenang? Atau adakah makna yang lebih dalam dari sekadar nama yang tertulis di buku sejarah?
Harapan: Candu yang Menenangkan
Manusia adalah makhluk harapan. Ia menciptakan doa, mitos, dan narasi kebangkitan agar hidup terasa mungkin. Harapan menjadi semacam candu yang disuntikkan ke dalam batin setiap hari, agar manusia tetap sanggup menjalani absurditas yang tak terjelaskan.
Doa adalah bentuk terindah dari ketidakberdayaan. Manusia berdoa, memohon, merintih dalam kesendirian malam, berharap ada kekuatan yang mendengarkan. Namun, tak ada yang tahu kapan, dimana, dan apakah doa itu dikabulkan. Maka harapan pun menjadi strategi mental: bukan untuk mengubah kenyataan, tapi agar kenyataan tetap bisa ditoleransi.
Ini bukanlah sinisme, melainkan realitas yang pahit. Betapa banyak orang yang hidup hanya karena mereka percaya sesuatu yang lebih besar sedang menanti. Bahwa kesulitan akan berlalu, bahwa hidup akan menjadi lebih baik, bahwa keberuntungan akan datang. Namun, sebagian besar mati dalam penantian itu.
Kematian: Hilang Tanpa Bekas
Jika manusia memang berarti, mengapa ia bisa hilang begitu saja? Mengapa tidak ada jejak yang tertinggal setelah ia mati? Mengapa dunia tidak bergetar ketika satu jiwa pergi? Bukankah katanya, setiap manusia itu unik dan berharga?
Kenyataannya, kematian manusia adalah kejadian biasa. Hari ini kita hidup, besok kita hilang. Dunia tetap berjalan. Pagi tetap datang. Harga saham tetap naik turun. Tanpa upacara semesta. Tanpa air mata dari bintang-bintang. Hanya beberapa orang yang menangis sebentar, lalu hidup mereka pun terus berlanjut seperti biasa.
Ini adalah absurd terbesar dari hidup: bahwa sesuatu yang konon bernilai tinggi seperti kehidupan manusia, ternyata bisa berakhir dengan begitu biasa, bahkan tak jarang diabaikan.
Sistem Repetitif Semesta: Mekanika Tanpa Jiwa?
Lalu, apakah ini semua adalah bagian dari sistem semesta yang berputar tanpa henti? Apakah manusia hanya diproduksi dan dimatikan seperti mekanisme mesin, agar semesta tetap memiliki fungsi?
Dalam kosmologi modern, semesta memiliki awal dan akhir. Dari Big Bang menuju Big Crunch atau entropi total. Manusia, dengan segala kesadarannya, tampak seperti residu dari kesadaran semesta yang ingin menyadari dirinya sendiri—namun terperangkap dalam sistem yang lebih besar dari dirinya. Kita adalah percikan kecil dari kehendak semesta, tapi juga korban dari sistem itu sendiri.
Jika kiamat adalah bentuk dekonstruksi total atas realitas yang kita kenal, maka mungkin hidup adalah rekonstruksi sementara yang semesta ciptakan hanya untuk membangun ironi: bahwa segala yang diciptakan pasti akan musnah.
Kesimpulan: Apa Artinya Hidup?
Jadi, mengapa hidup ini harus ada?
Mungkin tidak ada jawaban pasti. Mungkin hidup tidak “harus” ada—ia hanya “terjadi.” Seperti gelombang yang muncul karena angin, bukan karena ia ingin muncul. Kita hidup bukan karena ada alasan agung, tapi karena semesta tak sengaja menciptakan kita.
Namun dalam ketidaksengajaan itulah, manusia menciptakan makna. Kita mencintai, meski tahu cinta akan hilang. Kita menulis, meski tahu tulisan kita bisa dilupakan. Kita melawan, meski tahu perjuangan kita mungkin gagal. Kita hidup, bukan karena ada jaminan keberhasilan, tapi karena itulah satu-satunya hal yang bisa kita lakukan: melawan kehampaan dengan keberadaan.
Dan barangkali, justru dalam ketidaksia-siaan itu, hidup menjadi bermakna. Bukan karena kita akan diingat. Tapi karena kita pernah memilih untuk hidup, meski tahu segalanya akan lenyap.
“Manusia tidak mati karena ia harus mati. Ia mati karena ia pernah hidup. Dan di antara dua titik itu, ia mencoba menjawab pertanyaan yang tidak akan pernah selesai: Mengapa aku ada?”
Be First to Comment