Press "Enter" to skip to content

Merebut Kembali Martabat: Melawan Kesewenang-wenangan Demi Kemerdekaan Sejati

Esai kritis tentang pentingnya perlawanan terhadap sistem negara yang menindas, demi merebut kembali kemerdekaan dan martabat rakyat yang sejati.

ilustrasi by pintetest

Melawan Kesewenang-wenangan Demi Martabat & Kemerdekaan Rakyat

Di dalam denyut kehidupan yang makin dikendalikan oleh kepentingan segelintir elite, manusia kerap terjerembab dalam tatanan yang menafikan harkat dan martabatnya. Kita hidup dalam sistem yang—secara kasat mata maupun terselubung—melanggengkan dominasi, menyuburkan ketimpangan, dan mengaburkan batas antara hukum dan kejahatan. Dalam situasi inilah perlawanan terhadap kesewenang-wenangan menjadi bukan hanya hak, tetapi juga kewajiban moral bagi setiap individu yang sadar akan pentingnya kehidupan yang bermartabat.

Segala nilai dasar kehidupan—baik yang bersumber dari agama, budaya lokal, maupun pemikiran intelektual organik—pada hakikatnya menolak kesewenang-wenangan. Tak satu pun ajaran luhur yang membenarkan praktik kekuasaan yang menindas, melainkan justru menyerukan keberpihakan terhadap mereka yang tertindas. Dari sabda nabi hingga kearifan lokal, dari kitab suci hingga falsafah rakyat, semua berbicara dengan suara yang sama: bahwa keadilan, martabat, dan perlawanan terhadap ketidakadilan adalah pondasi dari peradaban sejati.

Namun, kekuasaan hari ini telah menjelma menjadi tirani yang bersolek demokrasi. Negara, yang sejatinya lahir dari kehendak rakyat, berubah menjadi instrumen kepentingan segelintir golongan: korporasi rakus, oligarki yang menghisap, dan elit partai yang merampok suara rakyat demi keuntungan pribadi. Kita tidak lagi berbicara tentang negara sebagai pelindung, melainkan negara sebagai aktor aktif dalam perusakan struktur sosial, pelanggengan kebodohan massal, dan pembengkokan sejarah yang disengaja.

Kesewenang-wenangan yang Terstruktur

Kesewenang-wenangan hari ini bukan lagi dalam bentuk represif yang kasar dan terang-terangan, seperti penindasan militer di masa lampau. Kini, ia hadir dalam bentuk yang lebih halus dan sistemik. Ia menyusup melalui kebijakan ekonomi yang menguntungkan korporasi dan menggusur rakyat dari tanahnya. Ia hidup dalam proyek pembangunan yang menghancurkan ruang hidup masyarakat adat. Ia disiarkan lewat media arus utama yang menyembunyikan kebenaran dan menghibur publik dengan kebodohan. Bahkan, ia diajarkan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, di mana sejarah dikemas sesuai narasi penguasa dan logika kritis dikebiri sejak dini.

Negara, bersama alat hegemoniknya—media, pendidikan, hukum, dan bahkan agama yang telah dikompromikan—beroperasi sebagai mesin pelumpuh kesadaran. Struktur ini menciptakan keterasingan massal, di mana rakyat tidak lagi mengenali wajah asli penindasnya. Maka lahirlah bangsa yang tidak mengenal sejarahnya, tidak paham haknya, dan tidak sadar sedang dijajah secara sistemik.

Dalam banyak kasus, pelanggaran terhadap rakyat disamarkan dengan istilah-istilah pembangunan: relokasi, penggusuran demi fasilitas publik, investasi asing, dan reklamasi untuk pertumbuhan ekonomi. Padahal semua itu adalah kamuflase dari perampasan, penghilangan hak, dan pemiskinan yang disengaja. Tidak ada demokrasi yang sejati jika ruang-ruang politik hanya menjadi arena transaksi kekuasaan, bukan partisipasi rakyat.

Dekonstruksi dan Pencurian Narasi

Salah satu bentuk dominasi paling berbahaya adalah pencurian narasi. Narasi kemerdekaan, yang seharusnya menjadi milik rakyat, direbut oleh elit dan dijadikan perayaan seremonial tahunan tanpa makna substantif. Bendera dikibarkan, lagu kebangsaan dinyanyikan, tetapi kenyataan sosial tetap sama: ketidakadilan merajalela, rakyat dipinggirkan, dan suara mereka terus dibungkam. Ini bukan kemerdekaan, melainkan pengulangan kekuasaan kolonial dalam bentuk baru—kolonialisme dari anak negeri sendiri.

Narasi hari ini disusun untuk menghapus memori kolektif. Sejarah pemberontakan rakyat—dari perlawanan petani, buruh, hingga mahasiswa—diubah menjadi catatan pinggiran atau bahkan kriminalisasi. Generasi muda dijejali sejarah versi negara, yang memuliakan militer dan penguasa, tetapi mengabaikan pahlawan tanpa nama yang berjuang dari akar rumput. Inilah yang disebut oleh Antonio Gramsci sebagai hegemoni kultural, di mana kelas penguasa tidak hanya mengontrol alat produksi, tetapi juga makna dan persepsi rakyat.

Politik Rakyat dan Perlawanan

Dari situ, kita tiba pada kesimpulan tak terbantahkan: bahwa narasi harus direbut kembali. Rakyat harus menulis ulang sejarahnya, menyuarakan kembali kemerdekaan yang sejati, dan menghidupkan politik sebagai alat pembebasan, bukan penjajahan. Kita harus menciptakan kontra-narasi yang lahir dari pengalaman konkret rakyat, bukan dari ruang rapat elit politik.

Politik rakyat bukan sekadar pemilu lima tahunan atau menjadi pengikut tokoh karismatik. Politik rakyat adalah kesadaran kolektif bahwa setiap kebijakan harus dilihat dari siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Politik rakyat adalah ketika petani menolak sawahnya diubah menjadi kawasan industri, ketika nelayan menolak lautnya dijadikan tambang pasir, ketika warga menolak rumahnya digusur demi jalan tol. Itulah politik yang hidup, yang bersumber dari kesadaran dan kebutuhan rakyat.

Melawan sistem yang telah mapan dan brutal memang bukan perkara mudah. Negara memiliki sumber daya, senjata, dan hukum di tangannya. Tetapi rakyat memiliki sesuatu yang lebih kuat: keberanian, solidaritas, dan ingatan kolektif tentang luka yang sama. Setiap penderitaan yang kita alami adalah bahan bakar bagi perlawanan. Setiap ketidakadilan adalah alasan untuk berdiri.

Menuju Kemerdekaan yang Bermartabat

Kemerdekaan bukan sesuatu yang diberikan oleh negara. Ia adalah sesuatu yang harus direbut dan dipertahankan terus-menerus. Kemerdekaan bukan sekadar bebas memilih, melainkan bebas dari kelaparan, dari ketakutan, dari ketergantungan pada kekuasaan yang menindas. Kemerdekaan adalah kemampuan rakyat untuk mengatur hidupnya sendiri tanpa intervensi dari oligarki dan elit politik.

Kita harus membebaskan diri dari logika bahwa negara selalu tahu yang terbaik. Kita harus berani merumuskan sendiri sistem alternatif, dari ekonomi hingga pendidikan, yang berpijak pada nilai-nilai solidaritas, keadilan sosial, dan partisipasi demokratis. Kita harus belajar dari pengalaman komunitas-komunitas lokal yang membangun koperasi, menjalankan pendidikan alternatif, menjaga tanah dan laut mereka dari eksploitasi, serta menciptakan struktur sosial yang egaliter.

Karena itu, perlawanan tidak boleh dibatasi hanya pada aksi jalanan atau slogan-slogan politik. Perlawanan harus meresap dalam setiap aspek kehidupan: dalam cara kita mengonsumsi, dalam cara kita bekerja, dalam cara kita berorganisasi, bahkan dalam cara kita mencintai dan membesarkan anak. Setiap pilihan yang tidak tunduk pada sistem penindas adalah bentuk perlawanan.

Penutup: Saatnya Bangkit

Saat ini bukan saatnya diam. Saatnya rakyat sadar bahwa mereka memiliki kekuatan yang mampu mengguncang fondasi kekuasaan. Bahwa dalam diri setiap individu, tertanam martabat yang tak bisa dibeli oleh propaganda atau uang kompensasi. Bahwa tidak ada satu pun kekuasaan yang lebih besar daripada rakyat yang bersatu.

Sudah cukup kita dibungkam oleh narasi resmi, dijinakkan oleh janji palsu pembangunan, dan ditinabobokan oleh euforia pesta demokrasi. Kini saatnya bangkit, menyusun barisan, dan merebut kembali makna kemerdekaan. Bukan kemerdekaan yang dijual kepada investor, tapi kemerdekaan yang berpihak kepada mereka yang selama ini dihancurkan oleh sistem: petani, buruh, nelayan, perempuan miskin kota, masyarakat adat, dan kaum marjinal lainnya.

Perlawanan terhadap kesewenang-wenangan bukan hanya urusan politik, tetapi urusan moral. Ia adalah panggilan hati nurani, suara nurani yang tak bisa lagi ditunda. Dan dalam dunia yang penuh kebohongan, keberanian untuk melawan adalah satu-satunya bentuk kebenaran yang tersisa.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *