Press "Enter" to skip to content

Lukisan-Lukisan yang Tak Punya Dinding: Narasi dari Mereka yang Tak Terwakili

Feature

ilustrasi by pinterest

“Lukisan-Lukisan yang Tak Punya Dinding: Narasi dari Mereka yang Tak Terwakili”

Dalam sebuah dunia yang terus sibuk merumuskan jalan keluar, kita jarang menoleh pada orang-orang yang bahkan tak pernah merasa berada dalam perumusan itu. Mereka bukan sekadar korban, tetapi juga siluet yang tak pernah jelas dalam bingkai propaganda. Ketika narasi kemanusiaan menjadi komoditas dan pertarungan ideologis menjadi panggung megah bagi mereka yang punya akses terhadap mikrofon, sebagian manusia hanya mengenal negara sebagai entitas yang hadir saat mati: menggali liang lahat, memasang bendera, lalu pergi. Hidup mereka bukan bahan diskusi, bukan pula bagian dari visi. Mereka hidup dalam ketakterwakilan yang sistematis—tidak karena tak bersuara, melainkan karena suaranya tak dianggap bahasa yang layak dimengerti.

Perang narasi di media bukan semata soal informasi, melainkan soal dominasi. Di balik layar perdebatan antar kubu—entah kiri, kanan, moderat, atau revolusioner—terdapat satu motif yang nyaris seragam: merebut kesadaran publik demi validasi ideologi mereka. Semua bicara soal rakyat, semua berbicara tentang keadilan, kemanusiaan, dan masa depan. Tapi siapa “rakyat” yang dimaksud? Apakah itu mereka yang bisa hadir dalam diskusi, mereka yang bisa menyuarakan kepentingan lewat kanal legal, atau justru mereka yang hanya hadir sebagai angka statistik dalam laporan ekonomi tahunan?

Ironisnya, dalam semangat perjuangan ideologis, yang tersisih adalah mereka yang paling konkret hidupnya: buruh yang tak sempat berpikir tentang cita-cita besar karena harus memikirkan makan malam, petani yang tak pernah paham tentang diksi “reformasi agraria” tapi tanahnya diambil atas nama pembangunan, dan nelayan yang tak tahu bahwa lautnya kini diatur dari meja perundingan internasional. Mereka hidup bukan dalam ideologi, tapi dalam realitas keras yang sering kali ditinggalkan oleh ideologi yang terlalu sibuk melukis langit.

Ideologi sebagai Mural Utopis

Kita perlu mengakui bahwa ideologi memang penting. Ia adalah kerangka pikir, peta jalan, dan sering kali bahan bakar perjuangan. Namun, ideologi yang tak berpijak pada realitas hanya akan menjadi mural utopis yang tak mampu menjawab kebutuhan riil masyarakat. Di sinilah letak kegagalan banyak gerakan sosial maupun negara: terlalu terobsesi dengan keutuhan narasi ideologis, sampai lupa bahwa yang dilayani adalah manusia dengan kelas sosial yang berbeda, kebutuhan yang tidak seragam, dan cara berpikir yang tak selalu teoritis.

Dalam sejarah, kita menyaksikan bagaimana ideologi—dari yang paling kiri hingga paling kanan—gagal ketika dipaksakan tanpa pemahaman terhadap medan konkret yang dilaluinya. Sosialisme runtuh karena jadi alat kekuasaan, kapitalisme menjelma jadi mesin eksploitasi, dan liberalisme terseret menjadi tameng neoliberalisme yang menciptakan ketimpangan baru. Di tengah kekacauan itu, mereka yang paling menderita adalah yang tidak pernah ikut memilih ideologi mana yang akan menjadi jalan negaranya. Mereka hanya menonton dan menanggung.

Negara sebagai Juru Kubur

Hubungan antara rakyat kecil dengan negara dalam banyak kasus tidak lebih dari relasi antara warga dan petugas pemakaman. Negara baru hadir ketika mereka mati: mengurus surat kematian, mengibarkan bendera, menyanyikan lagu kebangsaan di atas pusara, lalu menghilang kembali ke urusan lain. Sebelum itu? Negara terlalu sibuk mendesain megaproyek, menciptakan buzzword pembangunan, dan menertibkan jalan demi estetika kota. Mereka yang hidup di pinggiran bukan hanya secara geografis, tapi juga secara eksistensial. Keberadaan mereka diabaikan, dan suara mereka tidak pernah menjadi dasar kebijakan.

Kondisi ini bukan hanya ketidakadilan sosial. Ini adalah pengkhianatan atas makna dasar kebernegaraan. Ketika warga negara merasa satu-satunya jaminan negara hanyalah penguburan yang layak, maka yang rusak bukan hanya struktur sosial, melainkan juga kesadaran kolektif kita tentang makna berbangsa.

Hasrat, Utopia, dan Peternakan Kesadaran

Manusia hari ini diseret-seret oleh hasrat. Bukan hasrat alamiah untuk hidup lebih baik, melainkan hasrat yang dikonstruksi secara sistematis oleh narasi utopis dari ideologi maupun industri kapitalisme. Mereka dijanjikan kebebasan, tetapi diberi pilihan semu. Dijanjikan kemajuan, tapi hanya bisa mengaksesnya dalam bentuk iklan. Dalam keadaan seperti itu, manusia diternakkan dalam kandang ilusi: dijaga, dikontrol, dan dikondisikan agar tetap percaya bahwa keadaan akan membaik, asal bersabar, asal patuh, asal percaya pada otoritas.

Ini bukan pesimisme. Ini realitas yang tak bisa terus dihindari. Ideologi yang tidak mampu menjelaskan hal ini akan menjadi ornamen yang tak berarti—lukisan yang dipajang tanpa dinding, tanpa penyanggah. Ia hanya akan jadi estetika tanpa makna, pameran ide yang jauh dari kebutuhan manusia konkret.

Kebutuhan akan Ideologi yang Relevan

Yang dibutuhkan hari ini bukan ideologi yang indah, melainkan ideologi yang relevan. Ideologi yang mampu memahami bahwa realitas sosial tidak seragam. Bahwa rakyat bukan hanya satu kelas homogen, dan bahwa “kemanusiaan” bukan satu kata sakti yang bisa menyatukan semuanya. Yang dibutuhkan adalah ideologi yang bisa ditanam di tanah yang diinjak oleh rakyat, bukan yang hanya bisa dikumandangkan dari mimbar.

Kita harus jujur melihat bahwa dunia tak butuh lebih banyak perang narasi—ia butuh lebih banyak narasi yang jujur, tulus, dan berpihak. Bukan berpihak dalam kata-kata, tapi dalam tindakan. Dalam penyusunan anggaran, dalam distribusi tanah, dalam jaminan pendidikan dan kesehatan, dalam pengakuan terhadap kerja dan hidup rakyat kecil.

Akhir Kata: Lukisan Itu Harus Bertopang

Ideologi, jika ia ingin bermakna, harus berdiri di atas realitas. Ia harus memahami manusia bukan sebagai pion perjuangan, tetapi sebagai entitas hidup dengan kebutuhan dasar, harapan, dan ketakutan. Ia harus bertopang pada struktur sosial nyata, bukan sekadar pada teks-teks klasik atau jargon-jargon revolusioner. Sebab, tanpa dinding bernama realitas, ideologi hanya akan menjadi karya seni tanpa galeri—indah, tapi sepi. Memukau, tapi tak pernah menyentuh.

Dan dalam dunia yang penuh absurditas ini, kita tak bisa lagi membiarkan orang-orang hidup tanpa keterwakilan. Jika ideologi tidak mampu menjadi ruang hidup bagi mereka, maka ideologi itu layak ditinggalkan—atau dibongkar untuk dibangun kembali. Dari bawah. Dari yang paling nyata. Dari tanah tempat rakyat berdiri dan kelak dikubur.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *