Press "Enter" to skip to content

Budaya yang Menghambat Perlu untuk Didobrak: Mendobrak Konservatisme Demi Kemajuan Seni dan Ruang Bagi Generasi Baru

Esai Opini

ilustrasi by pinterest

Budaya yang Menghambat Perlu untuk Didobrak
Mendobrak Konservatisme Demi Kemajuan Seni dan Ruang Bagi Generasi Baru

Dalam ruang kesenian, budaya sering dijadikan tameng sakral untuk menolak perubahan. Di balik istilah “melestarikan warisan”, tersembunyi kecenderungan untuk menolak gagasan baru yang tak sesuai pakem lama. Lebih dari itu, generasi tua—yang dulu pernah menjadi pembaharu—kini justru menjadi tembok konservatif yang enggan digeser dari panggungnya. Akibatnya, seni macet dalam repetisi, dan generasi baru kehilangan ruang untuk tumbuh, berekspresi, dan mencipta.

Seni yang Terjebak dalam Romantisme Masa Lalu

Dalam banyak komunitas seni, khususnya di Indonesia, istilah “kearifan lokal” dan “nilai tradisi” kerap dijadikan dalih untuk menolak inovasi. Padahal, esensi seni bukan pada pengulangan, tapi pada pembaruan terus-menerus. Ketika seni diminta tunduk pada kesepakatan kolektif masa lalu, maka ia berhenti menjadi hidup.

Seniman seperti WS Rendra sudah mengingatkan: “Seniman harus menyuarakan zaman.” Tapi hari ini, suara zaman sering diredam oleh glorifikasi bentuk-bentuk lama yang dimuliakan tanpa ruang kritik. Festival-festival budaya hanya menampilkan seni sebagai artefak, bukan sebagai ekspresi yang berdenyut bersama realitas kontemporer.

Generasi Tua: Dari Pencipta Menjadi Penjaga Gerbang

Ironisnya, banyak tokoh seni dari generasi lama yang dulunya dikenal progresif, kini justru menjadi elit konservatif. Mereka duduk di kursi kurator, dewan seni, lembaga budaya, dan posisi otoritas lainnya—dan seringkali enggan berpindah. Posisi-posisi ini dijadikan singgasana, bukan jembatan bagi generasi baru.

Alih-alih membuka ruang, mereka menetapkan standar apa yang disebut “berkualitas” berdasarkan selera pribadi dan ideologi lama. Generasi muda yang membawa bentuk baru—entah dalam visual, suara, atau gagasan sosial—dicap “tidak sopan”, “tidak paham sejarah”, bahkan “tidak punya nilai estetika”.

Seni Harus Bergerak, Bukan Dipenjara

Jika seni dipaksa untuk terus memuja bentuk-bentuk lama, maka ia bukan lagi seni, tapi fosil. Kemajuan dalam seni lahir dari keberanian mengambil risiko dan melanggar batas. Pablo Picasso pernah berkata, “Setiap tindakan penciptaan dimulai dengan tindakan penghancuran.” Ia bukan mengajak merusak, melainkan menunjukkan bahwa seni berkembang karena ada keberanian untuk menggugat dan memutus warisan yang tak lagi relevan.

Dalam sejarahnya, seni besar selalu muncul dari perlawanan terhadap patron lama: Dadaisme menggugat absurditas dunia pasca-perang; punk menolak kemewahan rock korporat; street art keluar dari galeri untuk menjangkau publik jalanan. Setiap gerakan ini lahir dari ruang yang tidak diberikan, melainkan direbut.

Konservatisme Budaya Adalah Kekuasaan yang Terselubung

Di balik narasi konservatisme budaya, tersimpan hasrat kekuasaan. Generasi tua yang mempertahankan posisi bukan semata karena ingin menjaga nilai, tapi karena takut kehilangan otoritas. Mereka menolak lengser, bukan karena generasi baru tak mampu, tetapi karena enggan digeser.

Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menyebutkan, “Para penindas takut pada kebebasan karena takut kehilangan ‘hak istimewa’ untuk menindas.” Dalam dunia seni, bentuk penindasan ini terjadi lewat kuasa simbolik—lewat kurasi, beasiswa, panggung, atau kanal distribusi yang dikendalikan oleh segelintir orang yang menolak membuka jalan.

Membuka Ruang Baru: Tugas Generasi Muda

Generasi muda tak bisa menunggu ruang dibukakan. Mereka harus membangunnya sendiri—di jalanan, di ruang kolektif, di media digital, di lorong sunyi yang belum dijamah lembaga-lembaga resmi. Mereka harus berani mencipta tanpa restu, menulis tanpa izin, dan mempertunjukkan karya tanpa perlu validasi dari mereka yang merasa berhak menilai.

Seni yang revolusioner tak pernah tumbuh di panggung yang nyaman. Ia lahir dari kegelisahan, dari kemarahan, dari dorongan untuk mendobrak pagar lama yang mengekang imajinasi.

Mendobrak Bukan Pengkhianatan

Mendobrak konservatisme budaya bukan berarti menghina sejarah. Itu justru bentuk cinta paling murni terhadap seni—karena seni yang hidup bukan yang diam di museum dan galeri, tapi yang hadir di tubuh manusia hari ini. Mendobrak bukan berarti membuang masa lalu, tapi memilah mana yang bisa diwarisi, dan mana yang harus dilewati.

Tanpa keberanian mendobrak, seni akan mati dalam kemasan yang indah tapi kosong. Tanpa ruang untuk generasi baru, kita hanya mewariskan panggung tanpa nyawa.

Penutup: Saatnya Menggeser, Bukan Menyingkirkan

Sudah waktunya generasi tua memberi ruang, bukan sekadar nasihat. Sudah waktunya generasi muda mengambil alih bukan karena ingin merebut, tapi karena memang saatnya berubah. Seni bukan tentang siapa lebih lama berkarya, tapi siapa yang lebih jujur menyuarakan zaman.

Jika budaya telah menjelma menjadi dinding yang membatasi, maka dinding itu perlu digedor. Jika warisan telah menjadi beban, maka beban itu perlu ditanggalkan. Demi seni yang lebih hidup, lebih jujur, dan lebih membebaskan—mari dobrak budaya yang menghambat. Bukan untuk merusak, tapi untuk membangun dunia yang lebih luas bagi semua imajinasi.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *