Press "Enter" to skip to content

Malas dan Tak Mampu Berpikir Mandiri Merupakan Disabilitas Sosial dan Psikologis

Opini / Esai

ilustrasi by pinterest

Malas dan Tak Mampu Berpikir Mandiri Merupakan Disabilitas Sosial dan Psikologis

Kemandirian berpikir adalah fondasi utama bagi seseorang untuk dapat hidup secara utuh, berdaya, dan bertanggung jawab dalam masyarakat modern yang kompleks.Dalam masyarakat modern yang kompleks dan dinamis, berpikir mandiri bukan lagi sebuah keistimewaan, melainkan kebutuhan eksistensial. Ketika seseorang gagal mengembangkan kapasitas berpikir mandiri, dan justru tenggelam dalam kemalasan berpikir, maka bukan hanya dirinya yang terhambat dalam pertumbuhan, tetapi masyarakat pun terkena dampaknya. Ketidakmampuan berpikir mandiri dan kemalasan intelektual harus dipandang sebagai bentuk disabilitas sosial dan psikologis yang menghambat pembentukan individu yang utuh dan berdaya.

Malas Berpikir sebagai Hambatan Eksistensial

Kemalasan bukan sekadar kondisi fisik atau emosional, melainkan juga refleksi dari struktur mental yang mengalami degenerasi. Dalam The Psychology of Laziness, Dr. Joseph Ferrari, profesor psikologi dari DePaul University, menyatakan bahwa orang malas bukan tidak bisa bekerja atau berpikir, tapi mereka menunda tanggung jawab dan tugas karena tidak mampu mengelola tekanan dan cemas akan kegagalan. Mereka memilih zona nyaman karena takut menghadapi risiko yang melekat pada proses berpikir dan bertindak.

Namun, dalam jangka panjang, pilihan ini menumpulkan kemampuan berpikir kritis. “Malas berpikir,” kata Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason, “adalah bentuk ketidakdewasaan intelektual.” Kant percaya bahwa individu yang tidak menggunakan akalnya sendiri hidup dalam kondisi ketergantungan mental, menyerahkan arah hidupnya pada otoritas luar.

Kemalasan berpikir menjelma menjadi penyakit sosial ketika menjadi budaya. Budaya malas berpikir cenderung melahirkan manusia yang tunduk pada narasi dominan, mudah dipengaruhi, dan tidak memiliki filter atas informasi. Inilah yang dikhawatirkan oleh sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, dalam konsep habitus—sebuah struktur mental yang dibentuk oleh lingkungan sosial dan pada akhirnya mencetak pola pikir yang stagnan dan repetitif jika tidak dikritisi.

Ketidakmampuan Berpikir Mandiri sebagai Disabilitas Mental

Tidak semua disabilitas terlihat secara fisik. Ketika individu tidak bisa mengambil keputusan sendiri, tidak mampu menimbang pilihan secara kritis, serta terus menerus bergantung pada opini mayoritas atau tokoh otoritas, maka di situ terjadi kelumpuhan epistemologis. Hal ini mirip dengan konsep learned helplessness dari Martin Seligman, yang menjelaskan bagaimana individu yang terus-menerus gagal atau mengalami tekanan cenderung menyerah dan berhenti mencoba berpikir atau bertindak mandiri.

Seligman membuktikan dalam eksperimen psikologis bahwa individu yang terbiasa berada dalam situasi di mana kontrol atas lingkungan diambil alih oleh pihak lain, cenderung mengembangkan mentalitas ketergantungan. Mereka menjadi tidak percaya diri untuk membuat pilihan, dan akhirnya menginternalisasi ketidakberdayaan tersebut sebagai sifat permanen. Ini adalah bentuk disabilitas yang tidak kalah serius dari kelumpuhan fisik.

Begitu pula sosiolog Jerman, Theodor Adorno, dalam tulisannya tentang authoritarian personality, menunjukkan bahwa masyarakat yang tidak dibiasakan berpikir mandiri dan kritis cenderung berkembang menjadi individu yang otoriter atau tunduk pada otoritas tanpa kritik. Dalam masyarakat seperti ini, keengganan berpikir menjadi alat yang efektif bagi kekuasaan untuk mempertahankan dominasi.

Ketergantungan Pikiran dan Ketimpangan Sosial

Ketidakmampuan berpikir mandiri tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan dan budaya yang menekankan pada kepatuhan alih-alih pencarian makna. Sistem ini menciptakan manusia-manusia yang secara teknis terdidik, tetapi secara mental tergantung. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed menyatakan bahwa sistem pendidikan yang menempatkan murid sebagai objek pasif hanya akan mencetak manusia penurut, bukan pemikir. Pendidikan semacam ini bukan membebaskan, tetapi mengekang.

Di tengah struktur sosial yang tidak mendorong diskursus kritis, mereka yang malas berpikir justru mendapat ruang nyaman. Mereka tidak mengalami konflik kognitif karena tidak mempertanyakan, tidak menggugat, dan tidak merefleksi. Mereka hidup dalam ritme yang dikendalikan oleh norma dominan, iklan, dan kebijakan yang tidak mereka pahami sepenuhnya, apalagi evaluasi.

Sebagai konsekuensi, banyak individu kehilangan kapasitas mengatur ritme hidupnya sendiri—mulai dari pengelolaan waktu, perencanaan karier, hingga hubungan sosial. Ketergantungan pada sistem, institusi, atau orang lain membuat mereka tidak bisa berdiri sebagai subjek yang otonom. Mereka menjadi objek kehidupan, bukan pelaku.

Urgensi Membentuk Pikiran Kritis dan Mandiri

Membebaskan diri dari disabilitas berpikir tidak hanya penting untuk pertumbuhan personal, tetapi juga bagi transformasi sosial. Individu yang berpikir kritis mampu mengenali ketimpangan, merespons dengan rasional, dan mengorganisir kehidupan dengan arah yang jelas.

Berpikir mandiri juga menumbuhkan agency—kesadaran bahwa seseorang memiliki kuasa atas hidupnya. Albert Bandura menyebut self-efficacy sebagai inti dari motivasi dan tindakan yang produktif. Tanpa keyakinan bahwa dirinya bisa berpikir dan memutuskan secara mandiri, seseorang akan terus berada dalam bayang-bayang kuasa eksternal.

Dalam konteks ini, kemalasan berpikir dan ketidakmandirian bukan sekadar kelemahan karakter, melainkan kegagalan sistemik dalam membentuk manusia. Oleh karena itu, perlu ada gerakan kolektif untuk mendorong pendidikan yang membebaskan, keluarga yang mendukung eksplorasi pikiran, dan masyarakat yang membuka ruang diskusi kritis.

Penutup: Mandiri atau Menjadi Beban Sosial?

Jika disabilitas berpikir tidak disadari dan tidak ditangani, ia akan menjadi penyakit sosial yang membebani masyarakat. Individu yang tidak bisa mengatur dirinya sendiri cenderung menjadi beban bagi orang lain. Mereka sulit bekerja sama secara produktif, tidak adaptif dalam situasi krisis, dan rawan menjadi alat bagi kepentingan tertentu.

Oleh karena itu, mendidik masyarakat untuk berpikir mandiri, membiasakan refleksi kritis, dan menumbuhkan keberanian intelektual adalah langkah penting dalam menciptakan masyarakat yang sehat secara mental, sosial, dan politik. Seperti kata Bertrand Russell, “The trouble with the world is that the stupid are cocksure and the intelligent are full of doubt.” Dunia butuh lebih banyak orang yang berpikir dengan hati-hati daripada mereka yang hidup dalam kepastian palsu karena terlalu malas untuk berpikir.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *