Feature
Konser tur Methosa di Surabaya, Wisata Orang Waras, jadi ajang pertemuan musik, buruh, seniman, dan tradisi. Lebih dari sekadar hiburan, ini perlawanan kultural.
Sabtu siang, 13 September 2025, matahari Surabaya seperti biasa jatuh terik di atas bangunan tua Posblock, sebuah ruang yang sejak lama menjadi saksi sejarah pertemuan gagasan, pertunjukan, sekaligus benturan wacana. Di halaman dalam, kursi-kursi plastik tidak terlalu dibutuhkan, sebagian besar orang memilih duduk lesehan di atas tikar, menyatu dalam lingkaran egaliter yang meluruhkan sekat antara penonton dan pelaku acara. Inilah pembuka dari Wisata Orang Waras, tur konser band Methosa yang kali ini memilih Surabaya sebagai titik awal perjalanan.

Namun, sejak awal jelas bahwa acara ini tidak bisa dibaca hanya sebagai konser musik semata. Ia menampakkan diri sebagai sebuah peristiwa kebudayaan, yang menyatukan potongan-potongan realitas sosial: buruh, seniman, aktivis, dan masyarakat umum dalam satu ruang resonansi. Dari cara acara dibuka saja sudah terlihat arahnya: bukan suara gitar distorsi atau hentakan drum, melainkan prosesi penyerahan tumpeng dari Cak Anam, tokoh buruh FSPMI kepada Mansen Munthe, vokalis Methosa. Potongan pertama tumpeng, yang dalam tradisi Jawa melambangkan syukur dan permohonan restu, berubah menjadi simbol aliansi kultural antara kaum pekerja dan para seniman. Sesuatu yang jarang terjadi, bahkan dalam sejarah panjang kota Surabaya yang dikenal dengan tradisi perlawanan dan solidaritasnya.

Suasana khidmat itu lantas bergeser perlahan ke arah yang lebih magis ketika Mbak Uriyati, putri mendiang maestro tari Munali Patah dari Banjarkemantren, Sidoarjo,Sidoarjo yang didukung oleh sanggar Kabut Malam tampil membawakan Tari Remo. Dalam gemerlap cahaya panggung dan sorot lampu yang menembus dinding putih Posblock, gerakan tangannya yang tegas dan gemulai seakan meretas garis waktu, mengingatkan kita pada akar tradisi yang sering terpinggirkan oleh gegap gempita modernitas. Penampilan ini bukan sekadar tarian pembuka, melainkan sebuah penegasan: bahwa konser Wisata Orang Waras bukanlah pesta musik belaka, melainkan upaya mengikat kembali hubungan antara tradisi, perjuangan, dan ekspresi kontemporer.
Setelah tarian usai, suasana kembali bertransisi. Kali ini giliran kelompok musikalisasi puisi Suarmarabahaya mengambil panggung. Mereka menenun kata-kata menjadi ritme, menggiring imajinasi audiens untuk merasakan getirnya realitas sosial-politik hari ini. Bait-bait puisi yang dibacakan, diiringi petikan gitar dan alunan suara eksperimental, menggugah kesadaran kolektif penonton. Di sinilah titik yang membuat banyak orang merasa bahwa acara ini bukan hanya ajang hiburan, tetapi forum refleksi. Musik dan kata bertemu, bersaling silang dengan ingatan sosial, menyusup masuk ke ruang batin setiap orang yang hadir.
Lalu tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Methosa, motor utama dari seluruh rangkaian tur ini, naik ke panggung. Suara distorsi gitar menghentak, disambut teriakan dan kepalan tangan ratusan orang di depan panggung. Namun, atmosfernya tetap berbeda dengan konser rock konvensional. Ada rasa persaudaraan yang begitu kental. Setiap lagu Methosa terasa bukan hanya sebagai karya musik, melainkan manifesto kecil: teriakan tentang kegelisahan buruh, keresahan rakyat, sekaligus mimpi tentang kehidupan yang lebih adil.

Mansen Munthe, dengan kacamata hitamnya yang khas, berdiri tegak di tengah panggung. Ia bukan hanya seorang vokalis, tetapi juga orator. Teriakannya seakan menggedor ruang sunyi yang selama ini diciptakan oleh penguasa dan elite politik. Dari bawah panggung, para penonton merespons dengan teriakan kompak, mengangkat tangan tinggi-tinggi, seakan menunjukkan bahwa mereka masih ada, masih bersuara, masih melawan.
Surabaya, dengan sejarah panjangnya sebagai kota perlawanan, seakan menjadi tempat yang tepat untuk memulai tur Wisata Orang Waras. Kota ini pernah menjadi panggung heroisme pemuda pada 1945, sekaligus arena pergolakan sosial di era Reformasi. Kini, ia kembali menjadi ruang lahirnya solidaritas kultural yang melibatkan buruh, seniman, dan masyarakat sipil. Ada kesinambungan historis yang terasa, meskipun dengan medium yang berbeda.
Satu hal yang mencolok adalah bagaimana acara ini meruntuhkan batas-batas artifisial antara “budaya tinggi” dan “budaya jalanan.” Tari Remo yang lahir dari tradisi agraris, musikalisasi puisi yang biasanya dipandang elitis, dan musik rock Methosa yang identik dengan dunia urban, semua hadir dalam satu panggung, tanpa merasa saling meniadakan. Justru di titik pertemuan inilah, sebuah energi baru tercipta. Energi yang menyatukan bukan karena keseragaman, melainkan karena keberagaman yang dihidupi bersama.

Dalam diskusi yang digelar sebelum konser dimulai, tema sejarah Surabaya dan situasi sosial-politik Indonesia hari ini mengemuka. Peserta duduk lesehan, saling bertukar pikiran, menyinggung soal ketidakpastian ekonomi, carut-marut politik, hingga rasa lelah menghadapi birokrasi yang tak kunjung berpihak pada rakyat. Diskusi ini, meskipun informal, menciptakan ruang artikulasi bagi orang-orang yang biasanya tak mendapat panggung di media arus utama. Dari situ tampak jelas bahwa Wisata Orang Waras bukan hanya soal musik, tapi juga tentang memulihkan tradisi kolektif berdiskusi, mendengar, dan merumuskan ulang harapan bersama.
Kata “orang waras” dalam tajuk tur ini terasa begitu relevan. Di tengah situasi bangsa yang kian absurd dengan elit politik yang sibuk memperkaya diri, korupsi yang tak kunjung reda, dan rakyat yang kian ditekan oleh harga kebutuhan pokok, menjadi “waras” adalah bentuk perlawanan itu sendiri. Waras berarti berani menjaga kewarasan di tengah sistem yang gila, tetap berpikir jernih saat banyak orang memilih bungkam, dan masih berani merayakan hidup dengan musik, seni, dan solidaritas.
Gambaran itu makin nyata ketika para penonton, setelah konser selesai, berkumpul untuk berfoto bersama. Tidak ada jarak antara penonton dan band. Tidak ada panggung tinggi yang menegaskan hierarki. Semua larut dalam suasana egaliter, seakan ingin menegaskan bahwa musik bukanlah milik segelintir orang, melainkan ruang bersama di mana setiap individu punya hak untuk hadir dan bersuara.

Di sela-sela sorot lampu panggung dan teriakan penonton, ada juga kehangatan kecil yang jarang ditemukan dalam konser-konser komersial. Nasi tumpeng yang tadi menjadi simbol pembuka, kini berpindah ke piring-piring kecil yang dinikmati bersama. Sebuah tanda bahwa acara ini bukan hanya tentang performa, tetapi juga tentang kebersamaan yang konkret. Dalam budaya Jawa, makan bersama selalu berarti membangun ikatan, dan itulah yang terjadi di Posblock sore itu: sebuah ikatan kultural baru yang lahir dari musik, tari, puisi, dan solidaritas sosial.
Ketika malam mulai turun, lampu-lampu jalan di sekitar bangunan tua itu menyala, sementara gema lagu terakhir Methosa masih menggantung di udara. Orang-orang berangsur-angsur pulang, tetapi wajah mereka menyimpan senyum, tawa, sekaligus semangat baru. Wisata Orang Waras telah meninggalkan jejak yang lebih dari sekadar kenangan konser. Ia menjadi penanda bahwa ruang-ruang kultural alternatif masih mungkin hidup, bahkan di tengah arus komodifikasi budaya yang semakin masif.
Dalam banyak hal, acara ini juga bisa dibaca sebagai kritik terhadap industri hiburan arus utama. Di saat konser besar sering kali didominasi sponsor, tiket mahal, dan gemerlap yang artifisial, Wisata Orang Waras justru menawarkan sesuatu yang berbeda: kesederhanaan, kedekatan, dan keberanian untuk bicara jujur. Ia membuktikan bahwa musik masih bisa menjadi ruang artikulasi politik, seni masih bisa menjadi alat perlawanan, dan kebudayaan masih bisa menjadi senjata untuk merawat kewarasan kolektif.

Mungkin inilah yang dimaksud Methosa ketika menamai tur ini “Wisata Orang Waras.” Sebuah perjalanan yang bukan sekadar geografis, tetapi juga spiritual dan politis. Sebuah wisata yang mengajak orang-orang untuk berhenti sejenak dari hiruk pikuk kehidupan sehari-hari, lalu menyadari bahwa masih ada hal-hal yang lebih penting dari sekadar bertahan hidup: solidaritas, kebebasan, dan cinta pada sesama manusia.
Di tengah sistem yang kian menekan, Wisata Orang Waras adalah pengingat bahwa kita masih bisa bernyanyi, menari, membaca puisi, dan makan bersama. Bahwa menjadi waras berarti menolak tunduk pada kegilaan yang diproduksi negara dan pasar. Bahwa musik, pada akhirnya, bukan hanya tentang nada, tetapi tentang hidup itu sendiri.
Dan malam itu, di Posblock Surabaya, hidup terasa lebih berharga, lebih meriah, lebih waras,karena dihidupi bersama.
Be First to Comment