Esai
Pelajari bagaimana pemikiran Voltaire tentang rasionalitas dan skeptisisme relevan dalam menghadapi disinformasi dan dogma modern di era media sosial.
Dalam sejarah pemikiran modern, Voltaire menempati posisi yang menonjol sebagai simbol pencerahan, rasionalitas, skeptisisme, dan perlawanan terhadap dogma. Pemikiran Voltaire tidak hanya terikat pada konteks zamannya, yakni Eropa abad ke-18 yang didominasi oleh kekuasaan gereja dan monarki absolut, melainkan memiliki gema yang kuat dalam lanskap sosial dan intelektual kontemporer. Di era digital saat ini, di mana informasi menyebar begitu cepat dan kebenaran menjadi relatif dalam pusaran opini publik, warisan intelektual Voltaire mengenai rasionalitas dan sikap antidogmatis menjadi semakin relevan dan mendesak untuk dikaji.
Voltaire percaya bahwa akal budi manusia adalah alat utama untuk memahami dunia dan memperbaiki kehidupan. Baginya, rasionalitas bukan sekadar metode berpikir, melainkan juga etika hidup: untuk bersikap adil, toleran, dan terbuka terhadap kritik. Dalam banyak tulisannya, terutama dalam karya satir Candide dan esai-esainya tentang toleransi dan kebebasan berpikir, Voltaire memperlihatkan bagaimana penggunaan akal dapat membongkar kemunafikan dan kebohongan yang dilembagakan oleh kekuasaan. Ia menantang kekuasaan gereja yang mencampuradukkan moralitas dengan kontrol sosial, serta menolak klaim-klaim absolut tentang kebenaran yang tidak bisa diuji oleh rasio.
Sikap skeptisisme Voltaire bukan berarti nihilisme, melainkan bentuk pertahanan terhadap penerimaan buta atas otoritas. Ia menyadari bahwa manusia rentan terhadap dogma karena kebutuhan akan kepastian, kenyamanan psikologis, dan rasa aman dalam kelompok. Namun, ketundukan terhadap dogma membawa risiko besar: pembenaran terhadap kekerasan, intoleransi, dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, skeptisisme bagi Voltaire adalah bentuk kebajikan intelektual yang harus dilatih, suatu keberanian untuk terus bertanya, menggugat, dan menguji kebenaran.
Di zaman kontemporer, tantangan terhadap rasionalitas dan skeptisisme datang dalam bentuk baru namun serupa dalam esensinya. Media sosial dan internet telah merevolusi cara manusia memperoleh dan menyebarkan informasi. Namun, alih-alih memperluas wawasan dan memperdalam pemahaman, ruang digital justru kerap mempercepat penyebaran disinformasi, membentuk gelembung informasi (echo chamber), dan memperkuat polarisasi. Di sinilah kritik Voltaire terhadap dogmatisme kembali menemukan momentumnya.
Sebagai studi kasus, kita dapat menengok fenomena teori konspirasi dan gerakan anti-sains yang marak selama pandemi COVID-19. Di tengah krisis kesehatan global, ketika kerja sama rasional dan kepercayaan pada metode ilmiah seharusnya menjadi jalan keluar, justru banyak individu dan komunitas yang terjerumus pada narasi-narasi alternatif yang tidak berbasis bukti. Klaim seperti virus buatan, vaksin sebagai alat kontrol populasi, hingga tuduhan konspirasi global yang melibatkan elit dunia, berkembang biak dalam ekosistem digital yang minim verifikasi. Ini bukan sekadar masalah kebodohan massal, melainkan cerminan dari krisis kepercayaan terhadap otoritas pengetahuan dan kegagalan kolektif dalam membudayakan rasionalitas.
Voltaire, jika hidup di masa ini, kemungkinan besar akan menggunakan satir tajamnya untuk membongkar absurditas dari kepercayaan semacam itu. Ia tidak akan menyerang individu, melainkan menertawakan sistem sosial yang memungkinkan irasionalitas berkembang. Dalam Candide, ia mengolok-olok optimisme metafisik yang buta; di era sekarang, mungkin ia akan mengolok-olok keyakinan bahwa “fakta alternatif” sama validnya dengan fakta ilmiah. Ia akan mempertanyakan mengapa masyarakat yang mengklaim sebagai modern dan terdidik masih mudah terseret dalam teori tanpa dasar, hanya karena hal itu memberikan kenyamanan emosional atau memenuhi bias kognitif tertentu.
Sikap anti-dogmatis Voltaire mengajak kita untuk tidak hanya mempertanyakan kebenaran di luar diri, tetapi juga keyakinan yang kita anut sendiri. Dogma tidak selalu datang dalam bentuk agama atau ideologi besar; ia juga bisa muncul dalam bentuk identitas politik, tribalitas digital, atau bahkan dalam cara kita memilih sumber informasi. Salah satu jebakan zaman kontemporer adalah ilusi keterbukaan: kita merasa bebas karena bisa mengakses informasi tanpa batas, tetapi sebenarnya sering kali kita hanya mengonsumsi informasi yang mengafirmasi pandangan kita sendiri. Inilah bentuk baru dogma yang tidak kasat mata namun sangat berpengaruh.
Voltaire menawarkan jalan keluar melalui pendidikan kritis dan keberanian intelektual. Pendidikan, dalam pandangan Voltaire, bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan pembentukan nalar dan karakter. Ia mendambakan masyarakat yang tidak hanya tahu, tetapi juga mampu berpikir. Di era algoritma yang menentukan apa yang kita lihat dan baca, kebutuhan akan literasi digital dan berpikir kritis menjadi sangat mendesak. Anak muda perlu diajarkan cara membedakan antara opini dan fakta, antara klaim dan bukti, antara narasi dan realitas.
Lebih jauh lagi, skeptisisme dan rasionalitas Voltaire menantang kita untuk menolak simplifikasi dunia yang kompleks. Dunia bukanlah hitam putih; masalah sosial, politik, dan budaya menuntut pendekatan yang nuansa dan berbasis data. Ketika diskusi publik dikendalikan oleh emosi, moral panic, dan dikotomi dangkal, suara rasional menjadi minoritas yang sering kali tidak populer. Namun, seperti Voltaire, kita harus tetap bersuara. Kita harus bersedia menjadi minoritas yang berpikir, ketimbang mayoritas yang mengikuti arus tanpa refleksi.
Dalam hal ini, pemikiran Voltaire juga dapat menjadi dasar etika digital. Rasionalitas mengajarkan tanggung jawab dalam menyebarkan informasi, dan skeptisisme mengingatkan kita untuk tidak langsung mempercayai apa yang kita baca atau dengar. Dalam menghadapi konten yang provokatif atau sensasional, kita perlu bertanya: siapa yang diuntungkan oleh narasi ini? Apa buktinya? Apakah saya mempercayainya karena benar atau karena saya ingin percaya?
Tentu saja, Voltaire bukan tanpa cela. Ia hidup dalam zamannya dan kadang menunjukkan bias tertentu. Namun, semangatnya dalam mempertahankan kebebasan berpikir dan menolak dogma tetap menjadi mercusuar dalam menghadapi kegelapan intelektual yang kini muncul dalam bentuk baru. Dunia digital saat ini bukanlah tempat yang netral; ia dibentuk oleh kekuatan politik, ekonomi, dan teknologi yang kompleks. Dalam realitas seperti ini, komitmen terhadap rasionalitas dan skeptisisme bukanlah sikap pasif, melainkan bentuk perlawanan intelektual.
Akhirnya, untuk menjadi waras di zaman yang gila, kita perlu lebih banyak Voltaire. Bukan untuk mengulang kata-katanya, tetapi untuk menghidupkan semangatnya: semangat untuk berpikir jernih di tengah kabut kebohongan, semangat untuk mempertanyakan di tengah hiruk-pikuk klaim absolut, dan semangat untuk tertawa sebagai bentuk perlawanan terhadap kesombongan kekuasaan dan kesembronoan massa. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh algoritma dan ideologi, Voltaire mengingatkan kita bahwa keberanian terbesar adalah menggunakan akal kita sendiri, bahkan ketika seluruh dunia memilih untuk tidak melakukannya.
Be First to Comment