Press "Enter" to skip to content

Jika Seluruh Rakyat Tertindas Sadar: Sebuah Esai Utopis tentang Kesadaran, Kekuasaan, dan Kebebasan (bagian 2)

Bayangkan jika seluruh rakyat tertindas sadar bahwa penderitaan mereka bukan kehendak Tuhan, tapi hasil kejahatan sistemik. Esai utopis ini mengurai bagaimana dunia bisa berubah bila rakyat menggugat kekuasaan, agama yang membungkam, dan kapitalisme yang menindas.


Ketika Rakyat Sadar: Utopia Perlawanan Melawan Kekuasaan dan Dogma Palsu

Ketika Kesadaran Menjelma Gerakan

Bayangkan jika kesadaran yang selama ini tertahan di benak dan bibir mulai meluap, membanjiri jalanan, gang-gang sempit, pabrik, sawah, rumah ibadah, dan ruang-ruang keluarga. Kesadaran itu tidak lagi sekadar perbincangan sembunyi-sembunyi di warung kopi, melainkan menjadi arus bawah tanah yang terus menggoyang fondasi kekuasaan. Kesadaran yang terorganisir menjadi gerakan. Kesadaran yang melampaui sekat kepercayaan, kasta, suku, hingga sekat-sekat politis yang sengaja diciptakan untuk menghambat persatuan.

Gerakan ini bukan sekadar protes. Ini adalah laku spiritual yang baru, ibadah dalam bentuk yang paling purba: pembelaan terhadap sesama manusia.


Kekuasaan Akan Gemetar

Kekuasaan otoriter dan sistem hegemonik tidak takut pada demonstrasi biasa. Mereka telah terbiasa menghadapi amarah sesaat. Tapi yang mereka takutkan adalah kesadaran kolektif yang bertahan, tumbuh, dan berkembang. Mereka takut pada rakyat yang mulai membaca buku-buku perlawanan, yang mulai memahami peran historisnya sebagai agen perubahan, bukan korban pasif.

Kekuasaan akan gemetar bukan karena peluru atau bom, tetapi karena kehilangan legitimasi. Sejarah telah membuktikan: dari Perancis 1789, Kuba 1959, sampai Chile 1970 tirani runtuh ketika rakyat tidak lagi tunduk, dan rasa takut digantikan oleh hasrat membangun dunia yang baru.

Dan di titik itu, aparat bukan lagi menjadi alat pemukul, karena anak-anak mereka pun lapar. Karena dalam tubuh-tubuh berseragam itu, mulai tumbuh bisikan nurani: “Apakah aku menjaga negara, atau mempertahankan kekuasaan yang menindas ibuku sendiri?”


Institusi Agama Akan Digugat

Mimbar-mimbar yang selama ini bergema tentang kepatuhan tanpa keberpihakan akan mulai kehilangan umat. Jamaah tidak lagi mencari janji surga jika di dunia pun mereka dibiarkan menderita tanpa perlindungan. Pertanyaan demi pertanyaan akan muncul: “Mengapa keadilan sosial tak pernah jadi tema khotbah? Mengapa ketamakan pejabat tak pernah disebutkan? Mengapa Tuhan selalu digambarkan membela penguasa, bukan yang tertindas?”

Lalu akan lahir wajah-wajah baru pemuka iman. Mereka tidak berjas sutra, tidak duduk di kursi empuk televisi, tetapi berlumur peluh bersama buruh tani, mendampingi kaum miskin kota, merawat luka para korban kekerasan negara. Mereka akan bicara tentang Tuhan dengan cara yang membebaskan, bukan menakuti. Mereka akan mengutip kitab suci untuk memberontak, bukan membungkam.

Agama, dalam bentuknya yang sejati, akan kembali menjadi pedang keadilan. Dan para pendakwah yang diam dalam kezaliman akan menghadapi penghakiman moral dari umat yang telah tercerahkan.


Kapitalisme Akan Terguncang

Jika rakyat sadar bahwa mereka bukan malas, tapi memang diciptakan untuk gagal dalam sistem ini maka bangkrutlah seluruh narasi kapitalisme. Tidak ada meritokrasi di dunia di mana satu keluarga memiliki kekayaan setara dengan puluhan juta orang. Tidak ada keadilan di pasar di mana kerja keras hanya menghasilkan utang.

Kesadaran ini akan meruntuhkan mitos sukses yang dibangun melalui iklan, seminar motivasi, dan dongeng pengusaha muda. Mereka akan sadar bahwa dalam sistem ini, hanya yang punya modal dan koneksi yang bisa naik, sementara yang lain disuruh bersyukur di dasar tangga.

Kapitalisme akan terguncang bukan oleh amarah, tapi oleh solidaritas. Karena saat rakyat berhenti bersaing dan mulai bekerja sama, sistem yang bergantung pada perpecahan akan lumpuh. Bayangkan koperasi-koperasi rakyat menggantikan bank. Bayangkan distribusi hasil pertanian diatur oleh komunitas, bukan tengkulak. Bayangkan orang bekerja untuk hidup, bukan untuk bertahan dari kemiskinan buatan.


Dunia Baru Mungkin Muncul

Dalam keheningan setelah revolusi, akan lahir dunia baru bukan utopia yang steril, tapi ruang hidup yang lebih manusiawi. Dunia tempat iman dan keadilan sosial tidak saling bertentangan. Di mana sekolah tidak mengajarkan kepatuhan, tetapi keberanian berpikir. Di mana rumah ibadah tidak sekadar jadi tempat ritual, tetapi basis perjuangan dan perawatan sesama. Di mana pemerintahan bukan berdasar popularitas dan kapital, tapi komitmen pada kesejahteraan bersama.

Di dunia itu, Tuhan tidak lagi digunakan sebagai ancaman, tapi sebagai sumber harapan dan energi moral untuk menegakkan yang benar. Di dunia itu, rakyat tidak lagi dikorbankan demi pertumbuhan ekonomi, tapi menjadi subjek utama dalam menentukan arah hidup bersama.

Dunia ini tidak lahir dari mimpi kosong. Ia lahir dari kesadaran yang tumbuh dan menyatu, dari keberanian untuk menggugat takdir yang dipalsukan, dan dari cinta kepada sesama manusia yang lebih besar dari rasa takut pada penguasa.


“Kesadaran bukan hanya cahaya. Ia adalah api. Dan api itu, bila berkumpul, dapat membakar seluruh istana para tiran.”


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *