Press "Enter" to skip to content

“Siapa Sebenarnya Teroris? Ketika Dunia yang Curang Menuding Rakyat yang Melawan”


Ada yang tak beres dalam cara dunia ini bercerita. Ketika seorang pria kulit putih di Amerika menggenggam senjata dan menyerbu gedung pemerintahan, dia disebut “patriot”. Tapi ketika seorang pemuda di Gaza melawan invasi militer dan blokade bertahun-tahun, dia segera dicap “teroris”. Ada semacam kamus ganda dalam sistem keadilan global hari ini—dan hampir semua disusun dari sudut pandang kekuasaan Barat.

Dalam dunia yang penuh ketimpangan, di mana kekayaan global dikendalikan oleh segelintir negara dan korporasi, hukum sering kali tak lebih dari panggung sandiwara. Di banyak negara Asia, Afrika, dan Timur Tengah, hukum bukan lagi jaring keselamatan, melainkan alat represi. Ketika negara gagal hadir, dan sistem hukum justru melayani kepentingan asing, siapa yang bisa disalahkan kalau rakyat memutuskan mengambil tindakan sendiri?


Vigilante: Penjahat atau Pahlawan?

Di mata media arus utama, vigilante sering digambarkan sebagai ancaman: kelompok liar, brutal, dan anarkis. Tapi coba lihat dari bawah, dari kamp pengungsi, dari desa terpencil, dari kota-kota yang dilupakan negara. Siapa yang menjaga keamanan ketika aparat sibuk menjaga konsesi tambang milik asing? Siapa yang menegakkan keadilan ketika pengadilan bisa dibeli oleh kontrak proyek?

Di Nigeria, kelompok seperti Civilian Joint Task Force muncul karena tentara tak mampu melindungi warga dari serangan Boko Haram. Di Irak pasca-invasi AS, milisi-milisi Sunni dan Syiah terbentuk untuk mengisi kekosongan pemerintahan. Di Kenya, kelompok Mungiki lahir dari ketidakadilan distribusi tanah dan ketimpangan antar etnis. Dan di Palestina, Hamas—selain menjadi kekuatan militer—adalah penyelenggara layanan sosial, medis, pendidikan, dan logistik yang absen dari negara resmi.

Vigilantisme bukan hasrat kekerasan, melainkan ekspresi dari putus asa. Ia lahir karena ketidakadilan terlalu lama dibiarkan, karena jalur legal tertutup, dan karena negara tak lagi punya wajah rakyat.


Siapa Vigilante Sebenarnya?

Tabel berikut memperlihatkan betapa timpangnya cara Barat memberi label terhadap aktor-aktor perlawanan di Global South. Wilayah Aktor Dicap oleh Barat Faktanya di Lapangan Palestina Hamas Teroris Penyelenggara layanan sosial dan pertahanan di wilayah yang diblokade total Nigeria Civilian JTF Milisi liar Pelindung komunitas dari teror kelompok bersenjata ekstremis Irak Milisi Sunni & Syiah Kelompok ekstremis Perlindungan lokal pasca keruntuhan pemerintahan akibat invasi 2003 Kenya Mungiki Organisasi kriminal Gerakan komunitas yang menuntut keadilan tanah dan pengakuan identitas Afghanistan Taliban (pra-2001) Rezim fundamentalis Struktur stabil (relatif) saat kekuasaan diperebutkan oleh faksi-faksi bersenjata


Kecurangan Global: Hukum di Atas Kertas, Ketidakadilan di Lapangan

Mari jujur. Dunia Barat tak pernah benar-benar netral. Dari perang Irak, kudeta Iran, intervensi Libya, hingga dukungan senyap atas penindasan di Yaman, Barat hadir bukan sebagai penjaga perdamaian, tapi sebagai pemain utama yang menyamar sebagai wasit.

Menurut data Oxfam (2021), negara-negara berkembang membayar lebih dari $400 miliar per tahun hanya untuk bunga utang—utang yang sebagian besar berasal dari proyek gagal, intervensi ekonomi, dan tekanan pasar global.

Lalu bagaimana hasilnya?
68% wilayah Libya dikuasai oleh tentara bayaran dan milisi pasca jatuhnya Gaddafi (ICG, 2022).
43 negara berkembang menghadapi kerusuhan sipil akibat kebijakan penghematan IMF (The Guardian, 2023).
0 negara Barat yang dikenai sanksi karena invasi ilegal—padahal mereka telah menghancurkan sistem sosial-politik berbagai negara.

“Ketika Barat bicara hukum, yang lain wajib patuh. Tapi ketika mereka sendiri melanggar, itu disebut diplomasi.”


Pertarungan Peradaban: Ketika Nilai Barat Dipaksakan Secara Paksa

Yang sedang kita saksikan bukan hanya perebutan kekuasaan geopolitik, tetapi perang nilai. Barat membawa model negara-bangsa, demokrasi liberal, pasar bebas, dan individualisme sebagai satu-satunya jalan peradaban. Semua yang berbeda dari itu, dituding sebagai “radikal”, “tidak rasional”, atau “barbar”.

Namun, bagaimana jika peradaban lain punya nilai sendiri? Komunalitas, spiritualitas, hukum adat, dan tata kelola yang berbasis konsensus kolektif? Mengapa sistem alternatif ini harus dihancurkan hanya karena tak cocok dengan model London, Paris, dan Washington?

Dengan alasan “modernisasi”, air diprivatisasi. Dengan alasan “HAM”, sanksi ekonomi dijatuhkan. Dengan alasan “demokrasi”, bom dijatuhkan di Baghdad, Tripoli, dan Aleppo.


Mengapa Vigilante Tak Pernah Benar-benar Mati

Selama dunia ini dikuasai oleh tatanan hukum yang hanya melayani elit global, vigilantisme akan terus muncul. Bukan karena rakyat ingin melanggar hukum, tapi karena hukum itu sendiri sudah mati bagi mereka. Vigilante bukan kekacauan. Ia adalah gejala dari kekacauan yang lebih besar: kekacauan sistemik, struktural, dan global yang didesain oleh tangan-tangan kekuasaan asing.


Kontra-Narasi: Saatnya Suara Pinggiran Bicara

Dunia Barat punya CNN, BBC, dan Hollywood untuk menyebarkan cerita versinya. Tapi kita punya luka, punya sejarah, dan punya ingatan yang tak bisa direkayasa. Menulis tentang vigilantisme bukanlah pembelaan terhadap kekerasan. Ini adalah pembelaan terhadap konteks. Bahwa sebelum kita menyalahkan rakyat yang marah, kita perlu bertanya: siapa yang membiarkan mereka marah begitu lama?


Data dan Narasi: Membalik Panggung Keadilan Global

  • $400 Miliar: Pembayaran bunga utang tahunan dari Global South (Oxfam, 2021).
  • 68% Libya: Wilayah di luar kendali pemerintah pasca intervensi NATO (ICG, 2022).
  • 43 Negara: Mengalami kerusuhan akibat penghematan IMF (The Guardian, 2023).
  • 0 Negara Barat: Dikenai sanksi atas invasi ilegal.

Penutup: Perlawanan Itu Sah Ketika Keadilan Mati

Vigilante bukan hanya pelaku, tapi juga simbol. Ia simbol bahwa hukum tak bisa lagi dipercaya. Bahwa negara hanya pelayan modal. Bahwa suara rakyat hanya didengar jika sejalan dengan agenda global.

Dan dalam dunia yang sunyi dari keadilan, terkadang satu-satunya cara bertahan adalah melawan. Bahkan jika itu berarti menentang hukum. Bahkan jika itu berarti disebut “teroris”.

Mungkin, justru dari pinggiran dunia inilah, dari desa di Mali, dari kamp pengungsi di Rafah, dari lorong sempit Dhaka, kita bisa mulai menyusun ulang peta peradaban: bukan berdasarkan siapa paling kuat, tapi siapa paling terluka dan bertahan.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *