Kolom Opini

Dalam sejarah seni, realisme sosial sering dianggap sebagai seni yang dekat dengan rakyat, berfungsi sebagai alat kritik terhadap ketimpangan sosial, dan menjadi suara bagi kaum tertindas. Namun, jika kita melihat lebih dalam, ada paradoks yang menarik: bukankah seni realisme sosial juga memiliki sifat eksklusif seperti seni borjuis yang ingin dikritiknya? Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana realisme sosial, meskipun berusaha untuk menjadi representasi kelas bawah, pada akhirnya tetap beroperasi dalam sistem seni yang didominasi oleh elit budaya dan ekonomi.
Realisme Sosial: Idealisme dan Realitas
Realisme sosial muncul sebagai respons terhadap ketidakadilan sosial, sering kali menggambarkan penderitaan kelas pekerja, ketimpangan ekonomi, dan kondisi politik yang represif. Di berbagai negara, mulai dari Rusia dengan lukisan-lukisan Soviet hingga mural-mural Meksiko ala Diego Rivera, seni ini berkembang sebagai medium perlawanan.
Namun, realisme sosial tidak sepenuhnya bebas dari struktur kekuasaan yang ada. Seni ini sering kali dibuat oleh seniman yang tetap berada dalam lingkungan akademik atau memiliki koneksi dengan institusi seni. Ini menciptakan jarak antara objek seni (kelas pekerja) dengan konsumennya (kelas menengah ke atas yang mengapresiasi seni). Akibatnya, meskipun realisme sosial bertujuan untuk memberdayakan kelas bawah, ia tetap beredar dalam ruang-ruang galeri, museum, atau koleksi pribadi kaum elit.
Eksklusivitas dalam Seni Borjuis dan Realisme Sosial
Seni borjuis sering dikaitkan dengan estetika yang mahal, teknis yang kompleks, dan eksklusivitas yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Namun, realisme sosial juga memiliki karakteristik serupa. Beberapa faktor yang membuatnya tetap eksklusif antara lain:
Kurasi dan Institusionalisasi
Banyak karya realisme sosial hanya dapat diakses melalui pameran seni atau institusi budaya yang dikontrol oleh elit. Ini menunjukkan bahwa meskipun temanya membumi, penyebarannya tetap bergantung pada struktur ekonomi dan budaya yang sama dengan seni borjuis.
Komodifikasi Kritik Sosial
Seni realisme sosial sering kali menjadi bagian dari pasar seni yang ironisnya dikendalikan oleh kolektor kaya dan lembaga budaya elit. Sebuah lukisan tentang penderitaan buruh bisa dijual dengan harga fantastis dan dipajang di rumah seseorang yang tidak pernah merasakan kesulitan ekonomi seperti yang digambarkan dalam karya tersebut.
Representasi Tanpa Partisipasi
Meskipun realisme sosial menggambarkan perjuangan kelas bawah, sering kali yang membuat dan menampilkannya bukanlah mereka yang benar-benar mengalami kondisi tersebut. Akibatnya, seni ini menjadi bentuk dokumentasi atau narasi tentang kelas pekerja, tetapi bukan hasil ekspresi langsung dari mereka.
Seni Rakyat vs. Realisme Sosial
Berbeda dengan realisme sosial yang sering diproduksi oleh seniman profesional dan dipamerkan di ruang elit, seni rakyat (folk art) atau seni komunitas lebih dekat dengan esensi perjuangan kelas bawah. Seni rakyat biasanya lahir dari kebutuhan ekspresi langsung masyarakat tanpa melalui filter institusi seni.
Contohnya adalah seni mural komunitas di daerah-daerah miskin yang dibuat langsung oleh warga setempat atau seni jalanan (street art) yang sering kali lebih otonom dan tidak tergantung pada pasar seni. Seni rakyat tidak mencari validasi dari galeri atau akademisi, melainkan bertujuan untuk komunikasi langsung dengan komunitasnya.
Kesimpulan: Kritik terhadap Kritik
Seni realisme sosial memiliki niat yang mulia, tetapi pada praktiknya ia masih beroperasi dalam struktur eksklusif yang mirip dengan seni borjuis. Alih-alih sepenuhnya menjadi suara kelas bawah, seni ini lebih sering menjadi refleksi intelektual kaum menengah dan akademisi tentang realitas sosial.
Jika realisme sosial benar-benar ingin menjadi alternatif dari seni borjuis yang eksklusif, ia harus lebih membuka diri terhadap partisipasi langsung masyarakat yang digambarkannya. Seni tidak hanya perlu merepresentasikan realitas sosial, tetapi juga harus menjadi alat bagi mereka yang mengalami realitas tersebut untuk berbicara atas nama mereka sendiri.
Dengan demikian, pertanyaannya bukan hanya tentang siapa yang membuat seni, tetapi juga siapa yang memiliki akses untuk mengalaminya dan bagaimana seni itu benar-benar dapat menjadi bagian dari perubahan sosial, bukan sekadar simbol kritik yang beredar dalam lingkaran elit.
Be First to Comment