Press "Enter" to skip to content

Sastra dan Negara: Pilar Kebudayaan yang Saling Menghidupi


Kolom Opini


Sastra bukan sekadar kumpulan kata yang membentuk cerita atau puisi, tetapi sebuah refleksi mendalam atas kehidupan manusia, termasuk hubungan antara individu, masyarakat, dan negara. Sejak zaman kuno, sastra telah menjadi saksi peradaban, mencatat kejayaan, tragedi, dan dinamika politik suatu bangsa. Namun, di era modern, peran sastra dalam kehidupan bernegara sering kali dipertanyakan: sejauh mana sastra masih memiliki relevansi dalam membentuk karakter bangsa dan bagaimana negara seharusnya memperlakukan sastra sebagai bagian dari kebudayaan nasional?

Tulisan ini akan mengeksplorasi hubungan antara sastra dan negara, membahas peran sastra dalam membentuk kesadaran kolektif, serta menyoroti tanggung jawab negara dalam mendukung ekosistem sastra.


Sastra sebagai Cermin Bangsa
Sastra memiliki fungsi fundamental sebagai cermin bangsa, di mana karya-karya sastra tidak hanya merekam realitas sosial tetapi juga memberikan kritik serta alternatif bagi kondisi masyarakat. Dalam sejarah, sastra telah menjadi alat yang kuat untuk merefleksikan realitas politik dan sosial.

Sastra sebagai Kritik Sosial
Karya-karya seperti Max Havelaar (Multatuli) di masa kolonial, Puisi-Puisi Chairil Anwar di era Revolusi, hingga novel-novel Pramoedya Ananta Toer yang menggambarkan dinamika politik Indonesia membuktikan bahwa sastra bukan hanya hiburan, tetapi juga alat perlawanan. Sastra memungkinkan masyarakat memahami isu-isu sosial dengan lebih dalam dan emosional dibandingkan laporan akademik atau jurnalistik.

Membangun Identitas Nasional
Sastra memiliki peran besar dalam membangun identitas nasional. Epos seperti Ramayana dan Mahabharata bukan hanya cerita rakyat, tetapi juga membentuk etos moral dan kebangsaan dalam banyak masyarakat Asia, termasuk Indonesia. Begitu pula dengan sastra modern yang menggambarkan perjalanan bangsa, seperti Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang mengangkat pentingnya pendidikan dan keadilan sosial.

Negara dan Tanggung Jawabnya terhadap Sastra
Jika sastra memiliki peran yang begitu besar dalam membentuk kesadaran masyarakat, maka negara memiliki tanggung jawab untuk memastikan ekosistem sastra dapat berkembang. Namun, apakah negara telah menjalankan perannya dengan baik?

Dukungan Terhadap Penulis dan Penerbitan
Di banyak negara maju, sastra mendapat dukungan besar dari pemerintah. Program hibah untuk penulis, festival sastra, hingga insentif pajak bagi penerbit adalah beberapa contoh kebijakan yang mendorong perkembangan sastra. Sayangnya, di Indonesia, dukungan terhadap sastra masih minim dibandingkan sektor lain seperti perfilman atau musik.

Kurangnya Literasi Sastra dalam Pendidikan
Sistem pendidikan sering kali gagal menjadikan sastra sebagai bagian penting dalam pembentukan karakter siswa. Kurikulum yang terlalu berorientasi pada ujian sering kali mengabaikan pembelajaran sastra secara mendalam. Padahal, negara yang kuat membutuhkan warga yang memiliki empati, daya kritis, dan imajinasi yang hanya bisa dibangun melalui pengalaman membaca sastra.

Sastra dan Kebebasan Berekspresi
Negara memiliki peran ambigu dalam hubungannya dengan sastra. Di satu sisi, negara diharapkan mendukung perkembangan sastra, tetapi di sisi lain, banyak karya sastra yang justru mengalami penyensoran atau pelarangan karena dianggap berseberangan dengan ideologi penguasa. Hal ini menunjukkan bahwa negara sering kali melihat sastra bukan sebagai aset budaya, tetapi sebagai ancaman.


Mengapa Negara Harus Berpihak pada Sastra?
Dalam dunia yang semakin pragmatis, mengapa negara harus berinvestasi dalam sastra? Ada beberapa alasan fundamental yang perlu diperhatikan:

Sastra Membentuk Manusia Berpikir Kritis
Sastra mengajarkan kita untuk memahami berbagai perspektif, membaca konteks sosial, dan berpikir kritis. Negara yang menginginkan masyarakat yang cerdas dan inovatif tidak bisa mengabaikan pentingnya literasi sastra.

Sastra Sebagai Diplomasi Budaya
Karya sastra sering kali menjadi duta budaya suatu bangsa. Novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami, misalnya, berhasil membawa Jepang ke panggung sastra dunia. Demikian pula, Pramoedya Ananta Toer telah memperkenalkan realitas Indonesia ke kancah internasional. Dukungan terhadap sastra berarti memperkuat citra budaya bangsa di mata dunia.

Sastra dan Kesehatan Mental Kolektif
Dalam masyarakat yang semakin terisolasi akibat digitalisasi, sastra menawarkan ruang refleksi dan pemulihan emosional. Negara yang peduli terhadap kesehatan mental warganya harus mulai melihat sastra sebagai alat terapi sosial.

Kesimpulan: Saatnya Negara Mengambil Peran
Sastra bukan hanya milik para akademisi atau pecinta buku, tetapi bagian dari infrastruktur kebudayaan yang harus dijaga. Negara yang mengabaikan sastra sama saja dengan mengabaikan jati dirinya sendiri.

Oleh karena itu, sudah saatnya negara mengambil langkah konkret:

Menyediakan dana dan kebijakan yang mendukung industri sastra.
Memasukkan sastra dalam kurikulum dengan cara yang lebih menarik dan relevan.
Menjamin kebebasan berekspresi bagi para penulis tanpa intervensi politik yang membungkam kreativitas.
Jika sastra adalah cermin bangsa, maka kualitas sastra suatu negara mencerminkan kualitas pemikiran dan kebijakan negara itu sendiri. Pertanyaannya sekarang, apakah kita ingin menjadi bangsa yang kaya akan pemikiran dan imajinasi, atau hanya bangsa yang sibuk dengan angka dan statistik tanpa jiwa?

Saatnya kita menuntut peran negara dalam mendukung sastra—karena tanpa sastra, negara kehilangan salah satu pilarnya yang paling fundamental. 

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *