Esai

Saat Hukum Tidak Dipercaya: Masyarakat Depresi dan Kekerasan Sebagai Reaksi Manusia yang Marah
Di sebuah gang sempit di pinggiran kota, seorang nenek tua dipaksa berlutut. Kamera ponsel mengabadikan detik-detik wajah keriputnya menerima pukulan dari tangan-tangan muda yang penuh amarah. Di balik jeritan dan tangisan, tidak terdengar suara keadilan — hanya suara dendam yang menemukan celahnya. Ia dituduh menculik anak, walau tak ada bukti, tak ada saksi, hanya kabar angin. Dalam masyarakat yang telah kehilangan arah, rumor lebih cepat bekerja ketimbang prosedur hukum. Sekali dicurigai, satu desas-desus cukup untuk menjatuhkan vonis. Masyarakat bertindak seperti jaksa dan algojo. Dan semua ini terjadi dalam waktu yang lebih cepat dari proses laporan di kantor polisi.
Kita hidup dalam era krisis kepercayaan yang akut. Hukum bukan lagi tempat berlindung, melainkan simbol kemapanan yang tak terjangkau. Ketika institusi penegak hukum dianggap hanya berpihak pada yang punya uang dan kekuasaan, maka rakyat jelata pun menempuh jalan sendiri — jalan kekerasan, jalan frustrasi, jalan marah. Pemukulan terhadap nenek tua itu bukan sekadar aksi kriminal, tapi ekspresi kolektif dari amarah yang selama ini direpresi: amarah terhadap aparat yang lambat, terhadap pengadilan yang bias, terhadap negara yang tak kunjung hadir saat dibutuhkan.
Kekerasan ini tidak muncul dalam ruang hampa. Ia tumbuh dari retaknya jalinan sosial yang selama ini menopang kehidupan bersama. Ketika ketidakadilan menjadi hal biasa, maka kepercayaan pun hancur perlahan. Orang-orang tidak lagi percaya bahwa hukum bisa menyelesaikan masalah. Di kampung, di kota, bahkan di media sosial, kita melihat bagaimana ketidakpuasan berubah menjadi kekerasan spontan. Seorang pemuda dibakar hidup-hidup karena mencuri amplifier masjid. Seorang ibu rumah tangga dipermalukan karena dituduh melakukan pesugihan. Semua disiarkan, semua ditonton — seolah rasa sakit orang lain menjadi hiburan kolektif bagi masyarakat yang sudah kehilangan kepekaan.
Kita menghadapi generasi baru yang tumbuh tanpa fondasi hukum yang sehat. Mereka lebih mengenal sensasi viral daripada makna proses peradilan. Dalam sistem yang tidak transparan, aparat hukum menjadi figur yang menakutkan sekaligus menjemukan. Polisi datang hanya setelah kekerasan terjadi, jaksa hadir hanya saat kamera menyala, hakim bicara hanya setelah media memberitakan. Di antara ruang-ruang kosong ini, rakyat menciptakan keadilannya sendiri — meski itu artinya kekerasan, meski itu artinya salah sasaran.
Lembaga-lembaga penegak hukum berdiri di atas jurang kerapuhan moral. Banyak dari mereka tidak lagi menjalankan fungsi melindungi rakyat, melainkan menjaga posisi mereka dalam struktur kekuasaan. Ketika rakyat mengadu soal pencurian, sering dijawab, “Mana buktinya?” Tapi ketika seorang pejabat melapor soal pencemaran nama baik, aparat bergerak dalam hitungan jam. Ketimpangan perlakuan ini menjadi luka yang terus digores, hari demi hari. Masyarakat menyaksikan ini dengan mata terbuka, dan mereka mencatat dalam-dalam: hukum bukan milik semua orang.
Akibatnya, muncul ruang-ruang gelap dalam masyarakat. Orang-orang mulai membentuk jaringan swadaya — bukan untuk memperkuat solidaritas, tetapi untuk bertahan hidup. Geng motor, kelompok warga malam, organisasi pemuda jalanan, semua lahir dari kegagalan negara menghadirkan rasa aman. Mereka bertindak sebagai pelindung sekaligus penghukum. Dalam ruang seperti ini, nilai-nilai kemanusiaan digantikan oleh logika kekuasaan jalanan. Kecurigaan sekecil apa pun bisa berujung kematian. Tidak ada proses klarifikasi, tidak ada pembelaan. Yang ada hanya vonis sepihak.
Masyarakat yang terus-menerus hidup dalam ketidakpastian hukum akan mengalami kelelahan psikologis. Depresi menjadi wabah yang tak terlihat. Ketika tidak ada tempat mengadu, ketika rasa keadilan tak pernah ditegakkan, maka tubuh kolektif masyarakat akan mencari pelampiasan. Di sinilah kekerasan menjadi wujud paling ekstrem dari keputusasaan. Ia tidak rasional, tidak terorganisir, tapi ia nyata dan mengerikan.
Media sosial memperparah situasi ini. Setiap hari kita disuguhi potongan-potongan kekerasan, yang tak jarang justru dinikmati sebagai konten. Kekerasan menjadi tontonan yang menumpulkan nurani. Perlahan, masyarakat tak lagi merasa ngeri melihat darah, tak lagi sedih melihat tubuh renta diinjak-injak. Semua jadi biasa. Semua jadi “konten yang menarik”. Dan dalam banalitas itulah, tragedi kehilangan makna.
Namun tragedi terbesar bukan terletak pada kekerasan itu sendiri, melainkan pada normalisasi kekerasan sebagai alat kontrol sosial. Kita mulai percaya bahwa kekerasan adalah satu-satunya jalan untuk menegakkan disiplin, menuntut keadilan, atau membela diri. Ini adalah ilusi berbahaya. Karena begitu kita melegitimasi kekerasan sebagai bahasa yang sah, maka tak ada yang membedakan kita dari rezim tirani.
Negara seharusnya menjadi penengah, bukan penonton. Tapi saat ini, ia justru menjadi aktor yang turut menyuburkan kekacauan. Dalam kasus-kasus represif, aparat kerap bertindak berlebihan terhadap demonstran, petani, mahasiswa, dan warga biasa, sementara para pemodal dan pejabat korup malah dilindungi. Kontras inilah yang membunuh kepercayaan dari dalam. Rakyat melihat bahwa hukum bukan untuk melindungi yang lemah, tapi menjaga stabilitas yang menguntungkan yang kuat.
Apakah kita harus terus membiarkan keadaan ini? Apakah masa depan bangsa ini adalah masyarakat yang hidup dalam paranoia, saling mencurigai, dan saling menghakimi? Ataukah kita akan memilih jalan perubahan, jalan kesadaran, jalan empati?
Perubahan tidak akan datang dari institusi yang korup, tapi dari tekanan masyarakat yang sadar. Kita perlu menumbuhkan kembali budaya hukum yang adil, yang manusiawi, yang tidak mengedepankan hukuman melainkan keadilan. Kita perlu memperkuat literasi hukum masyarakat, membangun lembaga-lembaga kontrol yang independen, dan memastikan bahwa keadilan bukan hanya milik segelintir orang.
Esai ini bukan hanya tentang kekerasan terhadap nenek tua, tapi tentang kita semua. Tentang kemungkinan menjadi korban berikutnya. Tentang pertanyaan yang harus terus kita ajukan: siapa yang akan melindungi kita ketika hukum tak lagi dipercaya?
Dan mungkin, jawaban pertama ada pada kita sendiri: mulai dari menolak kekerasan sebagai reaksi pertama, mulai dari berbicara ketika ketidakadilan terjadi, dan mulai dari percaya bahwa masyarakat yang adil adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya tugas negara.
Be First to Comment