Press "Enter" to skip to content

Ruang Kolektif itu Keren… Sampai Listriknya Mati

Opini

Ruang kolektif penuh semangat, tapi sering tumbang karena masalah ekonomi. Artikel ini mengupas sisi getir bertahan hidup di ruang alternatif.


Dari Poster ke Token PLN: Realita Ruang Komunitas

Kita semua suka romantisme ruang kolektif. Tempat ngumpul yang katanya bebas berekspresi, bebas berpikir, tempat segala keresahan bisa dikumpulkan, diolah, dan diubah jadi karya atau perlawanan. Kedengarannya seperti surga kecil bagi mereka yang muak sama dunia normal yang penuh deadline, KPI, dan struktur formal. Tapi, kenyataannya? Sebagian besar ruang kolektif itu tumbang bukan karena idenya jelek. Mereka mati karena gak bisa bayar listrik.

Ini bukan hiperbola. Ini fakta lapangan. Banyak ruang kolektif yang keren secara estetika dan progresif secara ide, tapi gak punya uang buat bayar air, internet, iuran sampah, sampai paku buat nempel poster. Di satu sisi kita ngomongin revolusi budaya, tapi di sisi lain kita kelabakan cari uang buat beli token PLN. Ironis? Banget.

Masalahnya Bukan Cuma Sumber Daya Manusia

Orang sering nyalahin kekurangan SDM. Katanya kurang relawan, kurang penggerak, kurang orang yang bisa diajak serius. Padahal, banyak ruang kolektif yang isinya justru orang-orang brilian—mahasiswa tingkat akhir yang hidup dari sisa beasiswa, seniman idealis yang udah lupa cara bikin invoice, musisi yang lebih sering manggung gratis demi “eksistensi”, akademisi pengangguran yang cuma laku kalau bikin kelas filsafat bayar seikhlasnya.

Mereka semua keren. Tapi kenyataan ekonominya sama: pas-pasan. Dan ketika yang berkumpul adalah orang-orang kere, jangankan beli AC, beli kopi sachet pun harus patungan.

Dagang Kopi, Jual Buku, Tapi Tagihan Tetap Jalan

Beberapa ruang berusaha bertahan dengan buka warung kolektif, jualan zine, bikin acara amal, atau jualan totebag yang desainnya anti kemapanan. Sebagian lainnya lari ke proposal: nulis program kerja, masukin ke NGO, dapet dana, dan dari situ “nyisipin” sedikit untuk biaya hidup ruang.

Semuanya sah-sah aja. Tapi ya itu, hasilnya sering gak sebanding. Proposal gak selalu cair. Warung sepi. Zine gak laku. Uang masuk cuma cukup buat ganti neon mati dan bayar utang galon bulan lalu. Dan hidup terus berjalan, tagihan terus datang. Sementara semangat kolektif kadang tinggal sisa-sisa obrolan semalam yang sudah basi.

Kolektif, Tapi Yang Kerja Cuma Dua Orang

“Ruang kolektif itu milik bersama,” katanya. Tapi yang bersihin toilet, pasang banner, nyusun acara, sampe beresin kabel mic? Orangnya itu-itu aja. Yang lainnya sibuk meeting Zoom, nulis puisi tentang alienasi, atau scroll TikTok sambil bilang “lagi cari inspirasi”.

Udah saatnya kita akui satu hal penting: banyak dari kita gak benar-benar kolektif. Kita suka ngumpul, iya. Tapi kerja bareng secara serius? Jarang. Dan budaya ini pelan-pelan jadi racun. Semangat yang seharusnya membangun malah berubah jadi beban buat segelintir orang yang akhirnya burnout. Bukan karena idealisme habis, tapi karena badan udah gak kuat narik kabel sendiri tiap acara.

Cukup Romantis, Sekarang Saatnya Realistis

Kita semua suka kalimat seperti: “Ruang ini adalah tempat alternatif, bebas dari sistem kapitalis.” Tapi kalimat itu gak bisa bayar listrik. Ruang kolektif itu bukan mitos magis yang bisa hidup dari solidaritas aja. Butuh uang. Butuh manajemen. Butuh sistem. Kita gak bisa terus hidup dari kasihan orang, dari jajan pengunjung, atau dari proyek yang belum tentu cair.

Mungkin sekarang saatnya kita mikir ruang kolektif kayak semacam mikro-korporasi—tapi yang gak lupa akar sosialnya. Bukan korporasi yang ngejar untung mati-matian, tapi sistem yang sadar bahwa untuk bertahan, harus ada aliran dana. Harus ada peran ekonomi. Harus ada kerja nyata, bukan sekadar ngobrol sampai pagi lalu upload story.

Budaya Kerja Kolektif? Harus Dirombak

Ini bagian paling nyebelin tapi penting. Banyak dari kita terbiasa dengan gaya kerja “nanti aja kalau mood”—alias kalau lagi semangat, gas. Kalau lagi gak enak hati, skip. Gak ada sistem. Gak ada tanggung jawab. Semua serba cair. Tapi justru itu yang bikin banyak ruang kolektif lepas kontrol dan akhirnya mati sendiri.

Kalau kita mau bertahan, kita harus keluar dari gaya kerja yang terlalu santai. Harus mulai sadar bahwa ruang ini bukan tempat pelarian, tapi ruang perjuangan. Dan perjuangan butuh kerja. Disiplin. Konsistensi. Sesederhana: datang tepat waktu, selesaikan tugas, dan gak ngilang pas lagi genting.

Kolektif Harus Bisa Menghidupi Dirinya Sendiri

Ruang kolektif yang sehat adalah ruang yang bisa menghidupi dirinya sendiri. Bukan berarti harus kaya. Tapi minimal bisa bayar tagihan tanpa ngemis. Bisa kasih makan orang-orang yang jaga ruang. Bisa nabung buat perbaikan fasilitas. Dan yang paling penting: bisa bikin orang di dalamnya gak merasa ditinggal sendiri.

Mau jualan kopi? Boleh. Mau bikin membership? Silakan. Mau sewa sebagian ruang buat coworking-an? Gak masalah. Yang penting, nilai dasarnya gak hilang. Jangan sampai ruang yang tadinya tempat perlawanan, berubah jadi cafe instagramable dengan menu overpriced dan diskusi yang isinya cuma selfie.

Bukan Soal Menang, Tapi Bertahan

Ruang kolektif gak harus selalu sukses secara kapital. Tapi harus bisa bertahan. Karena bertahan aja udah bentuk perlawanan. Di dunia yang makin menindas suara kritis dan mempersempit ruang bebas, ruang kolektif yang masih menyala—meski kecil—itu harta karun.

Jadi ya, kalau kamu punya ruang kolektif dan masih bisa hidup sampai sekarang, selamat. Tapi jangan terlalu lama di zona nyaman. Tanyain lagi: siapa yang kerja, siapa yang bayar, siapa yang cuma nimbrung. Dan dari situ, bangun ulang sistem yang bisa bikin ruang ini hidup lebih lama, lebih sehat, dan lebih bermakna.

Karena pada akhirnya, kita gak cuma butuh ruang untuk ngobrol. Kita butuh ruang yang bisa bertahan meski dunia makin kacau.

Ceritanya Banyak, Ending-nya Sama: Tutup

Kalau sempat ngobrol dengan penggerak ruang kolektif—dari Medan, Jogja, Makassar, sampai kota-kota satelit macam Bekasi atau Salatiga—ceritanya hampir sama semua. Awalnya rame, penuh energi. Ada yang buka bareng, ada yang nyewa ruang bekas toko, ada juga yang nebeng di rumah kosong milik kenalan. Semangatnya tinggi, visinya keren. Tapi satu per satu, perlahan, redup. Ada yang gagal bayar sewa. Ada yang konflik internal. Ada yang ditinggal satu per satu sampai tinggal dua orang yang bolak-balik nyapu dan jaga warung kosong.

Salah satu yang pernah saya datangi bahkan udah gak ada lagi jejaknya. Dulu tempat itu punya acara diskusi rutin, pemutaran film, panggung puisi, sampai dapur kolektif. Sekarang jadi warung ayam geprek franchise. Spanduknya warna mencolok, dan mural lama di tembok belakang udah ditimpa iklan promo nasi goreng level 10. Kalah telak sama yang bisa bayar.

Masalahnya bukan pada ide. Semua yang mereka lakukan keren, dan dibutuhkan. Tapi ruang gak bisa hidup dari applause dan repost Instagram. Ruang butuh uang. Dan kalau struktur ekonominya gak sehat, maka meskipun kamu punya 100 ide revolusioner, semuanya cuma bakal berakhir jadi cerita yang diingat dengan kalimat: “Sayang banget ya, padahal dulu tempat itu keren.”

Konflik Internal: Ketika Kolektif Jadi Kerajaan Kecil

Ini bagian yang sering bikin malas dibahas, tapi penting. Banyak kolektif mati bukan karena tekanan luar, tapi karena bobrok dari dalam. Ada yang isinya terlalu banyak ego. Ada yang diam-diam merasa lebih penting. Ada yang numpang tenar, tapi gak pernah angkat galon. Ada juga yang rajin datang, tapi cuma buat selfie dan kasih “saran” tanpa mau kerja konkret.

Struktur cair memang asyik. Tapi terlalu cair, semua orang bisa tenggelam.

Beberapa kolektif bahkan diam-diam menciptakan hierarki baru: siapa yang paling vokal, siapa yang paling diundang diskusi, siapa yang paling “progresif”—seolah makin banyak pakai kata ‘hegemoni’ dan ‘alienasi’ maka makin layak jadi pengurus. Padahal, yang dibutuhkan ruang bukan cuma otak yang pintar ngomong, tapi tangan yang mau kerja dan kaki yang mau lari kalau ada kebocoran di atap.

Kalau ruang kolektif ingin hidup lama, urusan budaya internal ini harus beres. Harus ada rasa hormat dan kesetaraan. Yang jago desain gak boleh merasa lebih penting dari yang jaga warung. Yang pintar nulis proposal gak boleh sok jadi bos. Semua harus sadar: kalau ruang ini tenggelam, kita semua ikut karam.

Bikin Uang Tanpa Jual Jiwa

Ini bagian yang sering bikin serba salah: gimana cara dapet uang tanpa kehilangan jati diri? Banyak yang takut kalau mulai mikir uang, nanti ruangnya jadi kapitalis. Tapi serius deh, kapitalisme itu gak otomatis tumbuh dari kas ruang yang positif. Yang bikin kapitalis itu kalau kita mulai ngejar untung terus mengorbankan nilai.

Tapi kalau ruang kolektif bisa bikin pemasukan tanpa harus jual idealisme, kenapa enggak?

Ada beberapa contoh keren:

  • Kolektif yang sewa sebagian ruang untuk coworking desk dengan harga murah, tapi tetap kurasi siapa penggunanya.
  • Kolektif yang bikin lini produk (buku, baju, poster) yang laku di pasaran tapi tetap dalam nilai dan estetikanya.
  • Kolektif yang bikin kelas edukatif berbayar dengan skema subsidi silang—yang mampu bayar penuh, yang butuh bisa ikut gratis.

Kuncinya: transparansi. Selama semua pengeluaran dan pemasukan dicatat jelas, dan semua anggota tahu arah ruangnya ke mana, gak ada yang salah dengan cari uang. Justru itu bentuk perlawanan: bikin sistem alternatif yang bisa bertahan tanpa harus tunduk ke sistem yang lama.

Seperti kata David Graeber, “The ultimate hidden truth of the world is that it is something that we make. And could just as easily make differently.” Kita bisa bikin cara lain. Asal niat dan mau kerja.

Kolektif Masa Depan: Kurang Teori, Tambah Aksi

Bayangkan kalau ruang kolektif bisa bertahan 5, 10, 15 tahun. Bayangkan kalau ruang itu bukan cuma tempat nongkrong, tapi jadi titik temu warga, titik distribusi pengetahuan, dan juga pusat kekuatan mikro ekonomi yang adil. Bayangkan kalau anak-anak bisa tumbuh besar mengenal ruang itu sebagai tempat belajar di luar sekolah. Tempat mereka nonton film dokumenter, belajar cetak manual, diskusi tentang HAM, dan main gitar bareng aktivis lama yang pernah dikejar tentara.

Itu bukan utopia. Tapi butuh kerja. Butuh sistem. Butuh arah.

Kolektif masa depan harus lebih gesit, lebih adaptif, dan lebih berani. Bukan cuma dalam hal ide, tapi juga dalam manajemen, teknologi, bahkan perencanaan jangka panjang. Kita harus tahu cara mengurus pajak, cara ngejar pendanaan tanpa jadi budak lembaga donor, dan cara ngatur jadwal kerja biar gak semua ngilang pas musim ujian atau musim konser.

Dan yang gak kalah penting: kolektif masa depan harus punya regenerasi. Jangan sampai isinya orang-orang yang sama terus sampai tua, lalu mati pelan-pelan tanpa penerus. Harus ada sistem yang ngajarin generasi berikutnya cara hidup bareng, kerja bareng, dan bertahan bareng.

Penutup: Bertahan Adalah Perlawanan

Kalau kamu sekarang masih punya ruang kolektif—meskipun kecil, sempit, atau cuma bisa buka tiga hari seminggu—itu udah luar biasa. Tapi jangan puas. Kita harus terus pikirin gimana caranya ruang ini gak cuma jadi monumen masa lalu, tapi bisa terus hidup. Bisa jadi tempat tumbuh, tempat belajar, tempat yang bikin orang sadar bahwa ada kehidupan di luar sistem yang kaku dan menindas.

Karena hari ini, mempertahankan ruang kolektif bukan cuma soal seni atau wacana. Ini soal bertahan hidup. Ini soal membangun ekosistem alternatif yang lebih sehat, lebih adil, dan lebih manusiawi.

Dan bertahan itu butuh kerja. Kerja yang nyata, kolektif, dan berkelanjutan. Bukan cuma diskusi panjang yang ujung-ujungnya cuma jadi caption Instagram.

Kalau kamu masih percaya ruang kolektif itu penting, maka sekaranglah waktunya bikin dia bertahan. Jangan tunggu sampai muralnya ditimpa cat kuning dan jadi tempat jualan tahu crispy.


Ruang Kolektif Itu Keren… Sampai Listriknya Mati (dan Kita Masih Ngarep “Solidaritas” Bisa Bayar PLN)


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *