Press "Enter" to skip to content

Reformasi Dicuri: Membuka Kembali Peringatan Gus Dur yang Terkubur Isu Politik

Esai

Pernyataan Gus Dur bahwa “Reformasi telah dicuri” kembali relevan hari ini. Baca analisis lengkap keterkaitannya dengan politik Indonesia terkini.


Membuka Kembali Luka Reformasi yang Dicuri, Menggali Peringatan Gus Dur untuk Menuntaskan Agenda yang Tertunda

Reformasi di Indonesia sering disebut sebagai sebuah tonggak sejarah yang lahir dari penderitaan panjang rakyat yang muak terhadap otoritarianisme Orde Baru. Tahun 1998 menjadi tanda tumbangnya Soeharto setelah lebih dari tiga dekade memegang kuasa, dan sejak itu jargon “reformasi” terdengar di mana-mana: di parlemen, di jalanan, di media, bahkan di ruang kelas mahasiswa. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, jargon itu perlahan kehilangan maknanya. Gus Dur, tokoh yang bukan hanya saksi, melainkan bagian integral dari perjalanan bangsa ini, sudah sejak awal mengingatkan bahwa reformasi kita tidak sedang berjalan murni. Ia berkata dengan tegas: “Reformasi telah dicuri.” Ungkapan itu bukan sekadar retorika seorang pemimpin yang kecewa, tetapi diagnosis mendalam terhadap realitas politik yang terus berulang hingga hari ini.

Pernyataan Gus Dur, yang pernah diucapkan pada berbagai forum, termasuk dalam orasi “Nusantara Menggugat” tahun 2006, mengandung makna yang sangat tajam. Ia menilai bahwa setelah kejatuhan Orde Baru, yang tampak hanyalah demokrasi prosedural, sekadar pemilu yang rutin dilaksanakan, partai politik yang tumbuh bak cendawan di musim hujan, dan kelembagaan baru yang terlihat megah. Namun di balik itu, akar masalah tidak pernah tersentuh. Korupsi tidak sungguh-sungguh diberantas, hukum tetap tajam ke bawah tumpul ke atas, pluralisme semakin terancam oleh intoleransi, dan kebijakan publik disandera oleh kepentingan oligarki yang tumbuh subur. Reformasi, yang seharusnya membuka jalan menuju keadilan sosial dan demokrasi substansial, justru dibajak menjadi panggung transaksi politik dan alat mempertahankan kekuasaan kelompok tertentu.

Hari ini, dua dekade lebih setelah Gus Dur meninggalkan panggung politik secara tragis karena dimakzulkan oleh manuver parlemen, kita seolah-olah berdiri di persimpangan yang sama. Kita menyaksikan bagaimana revisi undang-undang yang menyempitkan ruang KPK, omnibus law yang dipercepat demi kepentingan investasi segelintir kelompok, kriminalisasi aktivis yang bersuara, dan dominasi figur tunggal dalam politik elektoral menjadi tanda bahwa reformasi memang tidak pernah tuntas. Peringatan Gus Dur seolah terkubur di bawah debu isu-isu baru yang terus diproduksi, isu politik praktis yang berubah cepat, skandal pejabat yang datang silih berganti, hingga wacana pembangunan infrastruktur yang menutupi persoalan struktural. Setiap kali publik mulai mengingat luka lama, segera muncul isu baru yang lebih “seksi” untuk mengalihkan perhatian. Inilah mekanisme pengaburan yang terus bekerja sejak era Orde Baru hingga kini: rakyat dijejali isu-isu sesaat, sementara luka sejarah dibiarkan berulang.

Gus Dur melihat jauh ke depan ketika ia menyatakan reformasi telah dicuri. Ia memahami betul bahwa reformasi 1998 bukanlah titik akhir, melainkan awal dari perjuangan panjang membangun tatanan baru. Namun, energi perubahan itu direbut oleh kekuatan lama yang pandai berkamuflase dalam sistem baru. Oligarki Orde Baru tidak hilang; mereka sekadar berganti baju, masuk ke partai-partai baru, menguasai parlemen, dan menyesuaikan diri dengan logika demokrasi prosedural. Demokrasi, dalam bahasa Gus Dur, berubah menjadi “asal-asalan” hanya prosedur, tanpa substansi. Rakyat dipanggil ke bilik suara setiap lima tahun, tetapi suara mereka kemudian dibeli, dimanipulasi, atau ditukar dengan janji-janji kosong yang segera dilupakan begitu kekuasaan diraih.

Jika kita menengok kembali ke tahun 2001, kita melihat bagaimana Gus Dur sendiri menjadi korban dari sistem yang ia kritik. Ketika ia mencoba menjalankan agenda reformasi secara lebih berani, dengan mengeluarkan dekrit presiden yang hendak membubarkan DPR dan menyelamatkan jalannya pemerintahan, ia justru dimakzulkan oleh parlemen melalui Sidang Istimewa MPR. Dekrit itu, yang sesungguhnya merupakan upaya menata ulang demokrasi agar kembali ke relnya, dibaca sebagai ancaman oleh para elite politik yang sudah merasa nyaman dengan sistem “baru” yang sarat dengan bagi-bagi kekuasaan. Di sinilah sejarah mencatat ironi: Gus Dur yang paling keras mengingatkan bahwa reformasi telah dicuri, justru dijatuhkan oleh mereka yang menikmati hasil curian itu.

Hari ini, ketika wacana politik Indonesia kembali memanas, dari persoalan pemilu yang dianggap sarat kecurangan, politik dinasti yang menguat, hingga perdebatan seputar revisi undang-undang yang menguntungkan kelompok berkuasa, pernyataan Gus Dur menjadi relevan lebih dari sebelumnya. Ia seakan berbicara kepada generasi sekarang: “Jangan biarkan reformasi benar-benar mati.” Yang kita hadapi bukan hanya masalah teknis kebijakan, tetapi masalah struktural: bagaimana kekuasaan di Indonesia terus dikuasai oleh segelintir elite ekonomi-politik yang menggunakan demokrasi hanya sebagai panggung legitimasi.

Kita bisa lihat misalnya bagaimana belakangan ini praktik politik dinasti semakin terang-terangan. Reformasi 1998 menjanjikan pemutusan rantai kekuasaan yang terkonsentrasi, tetapi kenyataannya, hari ini kita menyaksikan keluarga-keluarga politik baru yang menguasai berbagai daerah, bahkan bercokol di pusat kekuasaan. Mekanisme demokrasi yang seharusnya membuka ruang kompetisi yang adil justru dipakai untuk memperkuat trah tertentu. Fenomena ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dikritik Gus Dur: demokrasi prosedural yang kehilangan ruh.

Lebih jauh lagi, kita harus mengaitkan kritik Gus Dur dengan kondisi sosial masyarakat saat ini. Data BPS masih menunjukkan ketimpangan yang menganga, jumlah penduduk miskin yang stagnan di angka belasan juta, serta biaya pendidikan dan kesehatan yang semakin membebani rakyat. Ironisnya, negara yang disebut agraris justru membiarkan petani kelimpungan karena harga beras yang tidak stabil, sementara korupsi di kementerian yang mengurusi pendidikan, pangan, hingga energi terus terungkap. Bagaimana mungkin kita berbicara tentang reformasi, jika bahkan kebutuhan dasar rakyat tidak terpenuhi? Gus Dur dengan lantang pernah berkata bahwa prioritas pemerintah sering kali terbalik: ketika jutaan rakyat kelaparan, para elite sibuk berdebat tentang urusan visa atau aturan moralitas. Hari ini, pola itu masih sama, rakyat berjuang untuk kebutuhan pokok, sementara elite politik lebih sibuk mengatur strategi elektoral dan melindungi kepentingannya.

Sejarah yang coba ditutup-tutupi atau dialihkan melalui isu-isu sesaat sebenarnya menyimpan kunci bagi generasi hari ini. Jika kita membuka kembali catatan perjalanan Gus Dur, kita akan menemukan cetak biru penyelesaian reformasi: penegakan hukum yang konsisten tanpa pandang bulu, penguatan pluralisme sebagai pondasi bangsa, transparansi kekuasaan, dan keberpihakan mutlak pada rakyat kecil. Ia tidak hanya menegaskan bahaya korupsi dan oligarki, tetapi juga memberikan arah moral: bahwa politik tanpa kemanusiaan hanyalah panggung kekuasaan yang hampa.

Sayangnya, arah moral ini terus dipinggirkan. Gus Dur dipaksa turun karena dianggap mengancam kenyamanan elite, dan sejak itu narasinya sering kali hanya dikenang dalam potongan-potongan humor atau citra kebapakan. Sementara itu, kritik mendalamnya terhadap oligarki dan reformasi yang dicuri dibiarkan terlupakan. Media lebih suka menyoroti kisah anekdot Gus Dur ketimbang menghidupkan kembali gagasannya yang radikal. Generasi muda lebih mengenalnya sebagai tokoh pluralisme, padahal ia juga seorang pengkritik keras sistem politik yang oligarkis.

Tugas kita hari ini adalah membuka kembali sejarah itu. Mengingatkan bahwa apa yang dikatakan Gus Dur bukanlah keluhan pribadi, tetapi wasiat politik bagi generasi berikutnya. Jika hari ini kita menyaksikan demokrasi yang semakin mahal, politik uang yang kian vulgar, dan pelemahan lembaga-lembaga independen, itu artinya kita sedang mengulangi kesalahan yang sama. Reformasi memang telah dicuri, dan pencurian itu masih berlangsung hingga kini.

Menuntaskan reformasi bukanlah pekerjaan yang sederhana. Itu memerlukan keberanian politik untuk melawan oligarki, membangun sistem hukum yang independen, dan memperkuat partisipasi rakyat di luar bilik suara. Itu juga memerlukan ingatan sejarah, kesadaran bahwa apa yang kita alami hari ini adalah kelanjutan dari kegagalan masa lalu yang tidak pernah tuntas. Dengan membuka kembali peringatan Gus Dur, kita setidaknya bisa mulai melihat celah yang digerogoti: bagaimana elite lama berkamuflase dalam sistem baru, bagaimana institusi demokrasi dikooptasi oleh kepentingan ekonomi-politik, dan bagaimana agenda reformasi dipreteli menjadi formalitas.

Di tengah panasnya suhu politik Indonesia hari ini, dari polemik hasil pemilu hingga kekecewaan publik terhadap praktik kekuasaan, esai ini hendak menjadi pengingat bahwa kita tidak bisa sekadar reaktif terhadap isu terbaru. Kita harus menggali kembali akar yang pernah ditunjukkan Gus Dur. Sebab, hanya dengan menuntaskan reformasi sesuai arah yang ia wacanakan, bangsa ini bisa keluar dari lingkaran setan pengalihan isu dan dominasi oligarki. Jika tidak, kita akan terus mengulang sejarah: setiap generasi melawan dengan penuh semangat, tetapi hasilnya direbut kembali oleh kelompok kecil yang pandai memainkan sistem.

Pada akhirnya, kalimat Gus Dur bahwa “reformasi telah dicuri” harus kita maknai bukan sekadar sebagai kritik, melainkan panggilan untuk bertindak. Generasi hari ini tidak boleh membiarkan debu isu menutup luka sejarah. Justru dengan membuka debu itu, kita bisa melihat jelas apa yang harus dilakukan: mengembalikan reformasi ke ruhnya, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.


Daftar Pustaka

• Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Demokratisasi Hidup Bangsa. Februari 2004. Arsip tulisan Gus Dur.

• Abdurrahman Wahid (Gus Dur). “Pamor RI Sudah Runtuh.” DetikNews, 7 Juni 2006. https://news.detik.com/berita/d-611033/gus-dur-pamor-ri-sudah-runtuh

• Kompas.id. “Reformasi Dikorupsi, Kritik Gerakan Sosial terhadap Pelemahan KPK.” 2019.

• LBH Jakarta. Reformasi Dikorupsi: Catatan Kritis atas Pelemahan Demokrasi. Jakarta, 20

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *