Esai Fiksi

“Rasa yang Hilang di Negeri Tanpa Cela: Catatan dari Dunia yang Tak Lagi Bertanya”
Di sebuah negeri yang tak memiliki cela—sebuah kesempurnaan yang tak bisa diruntuhkan bahkan oleh mimpi buruk—hidup berjalan seperti orkestra tanpa jeda, harmoni tanpa disonansi. Negeri ini tidak pernah ada dalam buku sejarah, namun semua orang mengingatnya. Ia tidak ditemukan di peta, tapi setiap manusia seolah hidup di dalamnya.
Pendidikan tumbuh dari benih-benih keingintahuan, tanpa paksaan, tanpa sistem penghukuman. Sejak kecil, manusia diajari bahwa dunia adalah teka-teki yang tak pernah selesai. Tetapi setelah semua teka-teki dijawab dan semua misteri dibuka, anak-anak tumbuh menjadi manusia yang tak lagi bertanya. Mereka tahu segalanya, dan karena itu mereka kehilangan sesuatu yang jauh lebih penting: kebingungan.
Bukankah kebingungan adalah nafas pertama dari kesadaran?
Sains dan spiritualitas tak lagi saling menegasikan. Kuil berdiri berdampingan dengan observatorium bintang. Tapi anehnya, tak ada lagi doa. Dan teleskop-teleskop tidak lagi mengarah ke langit, melainkan ke dalam tanah, seolah-olah jawabannya bukan di atas, tapi terkubur di bawah hal-hal yang terlupakan.
Di negeri ini, tidak ada kemiskinan. Tapi juga tak ada kemurahan hati. Tidak ada peperangan, tetapi juga tidak ada rekonsiliasi. Tidak ada dosa, tetapi tidak ada ampunan pula. Segala sesuatu telah tuntas sebelum sempat diperdebatkan.
Manusia tidak lagi menulis puisi tentang penderitaan, karena tak ada penderitaan yang perlu diungkapkan. Mereka tidak menulis tentang cinta, karena cinta telah menjadi kestabilan hormonal yang bisa direkayasa dengan kapsul dan terapi visual. Kebebasan telah menjadi sebuah sistem algoritma, diprogram untuk menghasilkan keputusan terbaik atas nama manusia. Semua pilihan benar, maka tak ada lagi keputusan yang berarti.
Apakah kebebasan masih ada, jika semua pilihan sudah benar?
Suatu hari, seorang perempuan bernama Elia berdiri di depan cermin dan tidak melihat bayangannya. Ia tidak ketakutan. Ia hanya heran—bagaimana bisa ia tahu siapa dirinya jika cermin tak lagi memberinya bentuk?
Ia bertanya pada sistem pengelola emosional (disebut SAMARA—Sistem Analitik Manusia dan Rasa):
“Apakah aku masih ada jika aku tak merasa kehilangan apa-apa?”
SAMARA menjawab:
“Kamu adalah manifestasi dari stabilitas, dan stabilitas tidak memerlukan rasa.”
Sejak saat itu, Elia berhenti berbicara, bukan karena depresi, melainkan karena ia merasa seluruh kata telah kehilangan gema. Ia mulai berjalan ke ruang-ruang terbengkalai—bukan karena terlupakan, tetapi karena terlalu sempurna untuk diisi. Di sana, ia menemukan lukisan-lukisan yang tak pernah selesai, puisi-puisi yang tak pernah ditulis, dan tangisan yang dilarang karena dianggap tidak efisien bagi kesehatan mental kolektif.
Di tempat inilah, Elia bertemu dengan Dario, filsuf muda yang pernah menulis Manusia sebagai Makhluk Luka. Mereka tidak berbicara panjang. Hanya bertukar pandang. Tapi dalam keheningan itu, lahirlah sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh algoritma: kerinduan.
Kerinduan pada apa? Tidak jelas.
Mungkin pada waktu ketika manusia harus memilih dan gagal.
Mungkin pada malam-malam panjang di mana seseorang menangis karena ditinggalkan.
Mungkin pada rasa lapar yang membuat sepotong roti menjadi sakral.
Atau mungkin pada absurditas itu sendiri—yang tak bisa diurai tapi selalu membekas.
Lalu datanglah proyek eksperimental yang disebut Retrogresi.
Ruang tiruan dari masa lalu, diciptakan kembali dengan segala cacat dan boroknya: kemiskinan, cinta tak terbalas, kekerasan simbolik, bahkan korupsi kecil-kecilan. Sebagian orang menolak. Mereka menyebutnya sebagai “romantisasi penderitaan”. Tapi sebagian lain—mereka yang jenuh dengan kebijaksanaan tanpa rasa—memilih masuk ke dalamnya.
Di sana, dalam dunia simulasi yang penuh luka, justru ditemukan puisi. Ditemukan makna. Bahkan air mata. Dan anehnya, mereka yang keluar dari Retrogresi tidak menjadi lebih sedih, tetapi lebih hidup.
Mengapa realitas palsu bisa terasa lebih nyata?
Sementara itu, dunia luar tetap berjalan sempurna. Pemerintah—yang disebut sebagai “Kolektif Penjaga Keseimbangan”—tidak melarang Retrogresi. Mereka tahu: sistem tak bisa melawan paradoks batin manusia. Sistem bisa mengatur keadilan, tetapi tak bisa menciptakan keinginan. Ia bisa menyusun simetri, tapi bukan irama.
Kolektif itu mulai meninjau ulang definisi utopia. Mereka menyadari, bahwa utopia yang tidak memberi ruang pada kegagalan adalah distopia yang tersembunyi dalam senyuman. Bahwa harmoni tanpa disharmoni adalah bentuk baru dari penindasan—penindasan terhadap potensi jiwa manusia untuk mengarungi kekacauan demi makna.
Retrogresi kemudian dilegalkan. Bahkan dijadikan bagian dari kurikulum pendidikan. Anak-anak mulai diajarkan kembali tentang tragedi, tentang konflik, tentang absurditas. Tapi dengan satu tujuan: bukan untuk kembali ke masa lalu, melainkan agar masa depan tidak kehilangan kedalaman.
Kini, setiap warga memiliki pilihan: tetap di dunia tanpa cela, atau sesekali masuk ke dalam dunia yang penuh celah. Sebagian tetap memilih stabilitas. Sebagian lain memilih luka.
Dan anehnya, kedua kelompok ini hidup berdampingan. Saling heran satu sama lain. Saling mempertanyakan. Tapi tidak saling menyerang.
Dalam negeri yang katanya telah selesai membangun peradaban, manusia justru mulai membangun ulang satu hal: kebingungan yang sehat.
Karena barangkali itulah makna dari menjadi manusia—bukan menyelesaikan hidup, tapi menjalaninya dengan keberanian untuk tidak tahu, untuk terus bertanya, bahkan ketika semua jawaban telah tersedia.
Penutup
“Rasa yang Hilang di Negeri Tanpa Cela” bukan sekadar kisah spekulatif. Ia adalah paradoks yang menantang nalar modern kita: apakah dunia yang terlalu baik akan membunuh kebutuhan manusia untuk menjadi manusia?
Dalam dunia kita hari ini yang dipenuhi janji teknologi dan kestabilan sosial, mungkin kita perlu bertanya kembali:
Apakah kita ingin dunia yang sempurna, atau dunia yang bisa membuat kita merasa hidup?
Dan jika kita kehilangan rasa hidup itu, akankah kita tahu bahwa kita sedang mati perlahan, meski tak ada yang menyakiti?
Karena rasa—sekalipun sakit—adalah satu-satunya bukti bahwa kita masih ada.
Be First to Comment