kolom opini

Rancunya Paham-Paham Ideologi Mayor pada Konsep Dasar Hidup Manusia
Dari zaman ke zaman, manusia selalu mencari panduan untuk memahami kehidupan dan dunia di sekitarnya. Berbagai ideologi lahir dengan klaim sebagai peta jalan menuju kehidupan yang lebih baik—liberalisme menyanjung kebebasan individu, sosialisme menjanjikan kesetaraan, kapitalisme membanggakan pertumbuhan dan efisiensi, sementara komunisme menawarkan sistem tanpa kelas. Masing-masing hadir dengan janji besar yang seolah mampu menjawab pertanyaan mendasar tentang bagaimana manusia seharusnya hidup dan berinteraksi satu sama lain.
Namun, dalam perjalanan sejarah, ideologi-ideologi ini tidak jarang berubah menjadi sesuatu yang berbeda dari gagasan awalnya. Alih-alih menjadi solusi bagi persoalan manusia, sering kali ideologi malah membentuk batasan baru yang membelenggu kebebasan berpikir dan bertindak. Pada titik inilah terjadi kontradiksi: ideologi yang diciptakan sebagai alat untuk memahami dan menata kehidupan justru sering kali gagal memahami kompleksitas manusia itu sendiri.
Ada kecenderungan dalam setiap ideologi mayor untuk menyederhanakan realitas hidup menjadi sesuatu yang hitam-putih. Kehidupan yang pada dasarnya penuh dengan variabel tak terduga, pertimbangan moral, dan dinamika sosial yang beragam justru direduksi menjadi formula yang dianggap pasti dan mutlak. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, konsep dasar hidup manusia jauh lebih organik daripada sekadar struktur politik dan ekonomi yang dirancang dalam bingkai ideologi.
Manusia yang Kompleks, Ideologi yang Reduktif
Salah satu masalah utama dalam ideologi mayor adalah kecenderungannya untuk melihat manusia sebagai entitas yang dapat dikategorikan secara sederhana. Karl Marx, misalnya, dalam The Communist Manifesto menggambarkan sejarah sebagai “sejarah perjuangan kelas.” Konsep ini tentu menarik, terutama dalam mengkritik ketimpangan ekonomi, tetapi ia juga mengabaikan banyak aspek lain dari kehidupan manusia. Hubungan sosial tidak melulu tentang eksploitasi atau perebutan kekuasaan ekonomi; ada aspek budaya, spiritualitas, bahkan psikologi yang membentuk bagaimana manusia berinteraksi dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari.
Di sisi lain, liberalisme yang menyanjung kebebasan individu sering kali gagal memahami bahwa manusia tidak hidup dalam ruang hampa. Filsuf komunitarian seperti Michael Sandel menyoroti bahwa manusia tidak bisa hanya dipahami sebagai individu yang berdiri sendiri, tetapi juga sebagai bagian dari komunitas yang membentuk identitas dan nilai-nilai mereka. Kebebasan individu tanpa mempertimbangkan tanggung jawab sosial bisa berujung pada keterasingan dan disintegrasi masyarakat.
Tidak ada manusia yang bisa hidup sepenuhnya bebas tanpa keterikatan sosial, sebagaimana tidak ada manusia yang bisa dipaksa untuk mengorbankan dirinya demi kolektivitas sepenuhnya. Namun, ideologi besar sering kali gagal memahami keseimbangan ini. Dalam banyak kasus, ideologi mengajarkan manusia untuk melihat dunia dalam biner: jika bukan kebebasan total, berarti kontrol total; jika bukan individualisme, berarti kolektivisme.
Ideologi sebagai Alat Kekuasaan, Bukan Kesejahteraan
Dalam praktiknya, ideologi sering kali lebih berfungsi sebagai alat bagi kelompok berkuasa ketimbang sebagai pemandu menuju kesejahteraan masyarakat. Kapitalisme, misalnya, mempromosikan gagasan bahwa pasar bebas akan menciptakan keseimbangan dan kemakmuran bagi semua. Namun, dalam kenyataannya, kebebasan ekonomi yang dijanjikan sering kali hanya berlaku bagi segelintir elit yang memiliki modal dan akses.
Milton Friedman pernah berkata, “Kebebasan ekonomi adalah kebebasan politik.” Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kebebasan ekonomi dalam kapitalisme modern justru melahirkan ketimpangan yang semakin ekstrem. Mayoritas masyarakat justru terjebak dalam sistem yang membuat mereka bekerja lebih keras hanya untuk bertahan, sementara sebagian kecil elit menikmati keuntungan yang terus meningkat. Dalam banyak kasus, regulasi yang seharusnya melindungi masyarakat justru dibuat untuk menjaga dominasi segelintir orang yang mengendalikan pasar.
Di sisi lain, komunisme yang menjanjikan pemerataan dan penghapusan kelas juga tidak lepas dari kontradiksi. Uni Soviet dan Tiongkok era Mao menjadi bukti bagaimana sistem yang mengklaim berpihak pada rakyat justru menciptakan kontrol total yang mengekang kebebasan individu. Negara mengambil alih segalanya, dan individu dipaksa tunduk pada sistem yang tidak memberi ruang bagi inisiatif pribadi.
Noam Chomsky pernah mengkritik bahwa, “Kekuasaan cenderung menggunakan ideologi untuk membenarkan kepentingannya sendiri, bukan untuk kesejahteraan rakyat.” Baik kapitalisme maupun komunisme, dalam praktiknya, sering kali lebih menjadi alat kontrol dibandingkan sebagai sistem yang benar-benar melayani kebutuhan manusia.
Ketidakmampuan Ideologi Beradaptasi dengan Realitas
Masalah lain dari ideologi mayor adalah kecenderungannya untuk menjadi terlalu kaku. Dunia berubah, teknologi berkembang, dan cara manusia berinteraksi pun terus mengalami pergeseran. Namun, banyak ideologi masih berusaha menerapkan prinsip-prinsip lama tanpa mempertimbangkan konteks zaman yang berubah.
Sosialisme klasik yang berbasis pada sistem ekonomi terpusat, misalnya, mungkin masuk akal di era industri awal, tetapi dalam dunia yang semakin terhubung secara digital dan berbasis inovasi, pendekatan seperti ini cenderung lambat dan tidak fleksibel. Sebaliknya, kapitalisme yang mengandalkan kompetisi dan pertumbuhan ekonomi sering kali gagal memberikan jaminan sosial bagi mereka yang tidak memiliki akses terhadap pendidikan dan modal.
Jean-Paul Sartre mengatakan bahwa manusia “terkutuk untuk bebas,” yang berarti bahwa kita selalu berada dalam keadaan harus membuat pilihan. Namun, ideologi besar sering kali mencoba menghilangkan pilihan tersebut dengan menciptakan aturan baku yang tidak memberi ruang bagi fleksibilitas individu.
Menggunakan Ideologi sebagai Alat, Bukan Dogma
Jika ideologi sering kali bertentangan dengan konsep dasar hidup manusia, maka yang perlu diubah bukan sekadar sistemnya, tetapi juga cara kita memahami ideologi itu sendiri. Alih-alih melihat ideologi sebagai dogma yang harus diikuti tanpa pertanyaan, kita seharusnya menggunakannya sebagai alat yang dapat disesuaikan dengan realitas.
Antonio Gramsci memperkenalkan konsep hegemonik ideologi, di mana masyarakat harus mampu menciptakan ideologi alternatif yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. Dalam konteks ini, manusia seharusnya bebas untuk mengeksplorasi berbagai pemikiran tanpa harus dikotak-kotakkan dalam satu ideologi tertentu.
John Dewey juga menekankan pentingnya pendekatan pragmatis terhadap ideologi. Ia mengatakan bahwa “Kebenaran bukanlah sesuatu yang statis, melainkan sesuatu yang harus terus diuji dalam kehidupan nyata.” Dengan kata lain, kita tidak boleh terjebak dalam sistem yang kaku, melainkan harus mampu menyesuaikan pemikiran dengan kebutuhan dan kondisi yang terus berubah.
Kesimpulan
Paham-paham ideologi mayor sering kali memiliki klaim besar tentang bagaimana manusia seharusnya hidup, tetapi dalam praktiknya justru sering bertentangan dengan realitas manusia yang kompleks dan dinamis. Ideologi yang dikembangkan sebagai solusi sering kali berujung menjadi alat kontrol yang membatasi kebebasan berpikir dan bertindak.
Baik kapitalisme, sosialisme, liberalisme, maupun komunisme memiliki kelemahan masing-masing yang membuatnya tidak bisa secara absolut menjadi jawaban atas permasalahan manusia. Kesalahan utamanya adalah kecenderungan untuk menyederhanakan kehidupan menjadi sekadar struktur ekonomi atau politik, sementara manusia memiliki dimensi yang jauh lebih luas.
Seperti yang dikatakan oleh Albert Camus, “Satu-satunya cara untuk berurusan dengan dunia yang tidak bebas adalah menjadi begitu bebas sehingga keberadaan kita sendiri adalah bentuk pemberontakan.” Dengan berpikir lebih terbuka dan fleksibel, kita bisa keluar dari jebakan ideologi mayor dan menciptakan kehidupan yang lebih selaras dengan realitas manusia yang sebenarnya.
Be First to Comment