Press "Enter" to skip to content

Psikologi Gerakan Massa & Politik Etis Kaum Marhaen: Analisis Kritis dari Perspektif Sosial dan Politik

Esai

Mengulas dinamika psikologi gerakan massa dan politik etis kaum marhaen secara kritis melalui pendekatan politik, psikologi sosial, dan sosiologi. Artikel ini membedah akar kekuatan rakyat dalam membangun perubahan sosial dari bawah.


Psikologi Gerakan Massa dan Politik Etis Kaum Marhaen

Pendahuluan: Saat Massa Bersuara

Di jalanan yang berdebu dan sempit, di lorong-lorong pasar yang pengap, serta di sudut kampung yang nyaris tak pernah disentuh pembangunan, ada suara yang jarang didengar tapi menyimpan amarah yang telah lama dipendam. Suara itu adalah suara kaum marhaen—kelas yang selama ini disingkirkan dari panggung politik, dijadikan komoditas statistik dalam laporan ekonomi, dan ditinggalkan dalam wacana pembangunan. Namun, ketika suara-suara kecil itu menyatu, ia menjelma menjadi arus besar bernama gerakan massa.

Gerakan massa bukanlah gejala yang muncul tiba-tiba. Ia lahir dari akumulasi luka sejarah, ketimpangan struktural, dan keterasingan sosial. Ia tumbuh dari kesadaran kolektif bahwa ketidakadilan bukanlah takdir, dan bahwa perubahan tidak datang dari atas, tapi dibangun dari bawah. Maka, memahami psikologi gerakan massa bukan sekadar membaca aksi protes atau barisan demonstran, melainkan menelusuri denyut nadi rakyat yang selama ini dikhianati.

Dan dalam denyut itu, lahirlah politik etis kaum marhaen, sebuah politik yang tidak lahir dari elite atau parlemen, tetapi dari realitas kehidupan rakyat pekerja. Politik yang bukan sekadar soal kekuasaan, tapi tentang etika keberpihakan, kesadaran kelas, dan pembebasan dari segala bentuk penindasan. Untuk memahami itu, kita perlu membaca secara interdisipliner: melalui lensa psikologi massa, analisis politik, dan teori sosiologi.


Psikologi Gerakan Massa: Dari Duka Menjadi Daya

Dalam psikologi sosial, gerakan massa kerap dipandang sebagai fenomena irasional, bising, dan liar. Gustave Le Bon, dalam The Crowd: A Study of the Popular Mind (1895), menyebut bahwa massa kehilangan identitas individu dan menjadi entitas emosional yang mudah diprovokasi. Tetapi pandangan ini bias dari kacamata elite yang khawatir kehilangan kontrol. Ia gagal memahami bahwa emosi kolektif adalah respons rasional terhadap kondisi yang tidak adil.

Ketika orang miskin terus-menerus dipinggirkan dari pengambilan keputusan, ketika kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan menjadi komoditas, maka marah adalah bentuk kewarasan. Dalam konteks ini, gerakan massa bukanlah ledakan spontan, tetapi manifestasi dari trauma kolektif yang disublimasi menjadi kekuatan politik.

Psikologi gerakan massa menekankan pentingnya solidaritas emosional dan identifikasi kolektif. Saat individu merasa tidak sendiri dalam penderitaannya, lahirlah rasa saling berbagi beban. Ini menciptakan kohesi sosial yang menjadi landasan gerakan. Mereka tidak sekadar turun ke jalan karena marah, tapi karena mereka melihat diri mereka sebagai bagian dari “kami”—sebuah entitas sosial yang memiliki tujuan bersama.

Gerakan massa yang berbasis emosi kolektif ini kemudian menyatu dengan narasi perjuangan, membentuk kesadaran baru. Emosi menjadi bahan bakar, narasi menjadi arah, dan kesadaran menjadi landasan. Inilah transformasi psikologis yang menjadikan massa sebagai subjek politik, bukan sekadar objek represi.


Politik Etis Kaum Marhaen: Politik dari Bawah yang Beradab

Politik dalam artian konvensional seringkali kering dari nilai. Ia hanya berkutat pada kekuasaan, kalkulasi elektoral, dan retorika. Tetapi politik etis kaum marhaen membawa pendekatan lain: politik sebagai keberpihakan etis terhadap yang tertindas.

Konsep “marhaen” yang digagas Soekarno bukan sekadar sinonim dari kaum miskin. Ia adalah simbol kesadaran kelas, representasi rakyat pekerja yang diperas oleh sistem kapitalis. Politik etis kaum marhaen adalah politik yang tidak bisa berdamai dengan eksploitasi dan tidak tunduk pada kompromi dengan oligarki.

Kaum marhaen tidak memandang politik sebagai alat akomodasi elite, tetapi sebagai medan perjuangan untuk mengembalikan martabat manusia. Di sinilah letak etika politik mereka: bukan soal siapa yang menang, tetapi siapa yang dibela. Politik etis bukan berarti anti-politik, tetapi politik yang terhubung langsung dengan denyut kehidupan rakyat.

Politik ini menolak janji-janji palsu pembangunan yang hanya menguntungkan segelintir orang. Ia menginginkan redistribusi kekayaan, demokrasi partisipatif, dan kedaulatan rakyat. Dalam politik etis kaum marhaen, tidak ada tempat bagi netralitas di tengah ketidakadilan. Seperti kata Desmond Tutu, “Jika kamu netral dalam situasi ketidakadilan, maka kamu telah memilih pihak penindas.”


Sosiologi Gerakan: Struktur dan Relasi Kekuasaan

Sosiologi memberi kita kerangka untuk memahami bagaimana struktur sosial menciptakan kondisi bagi gerakan massa. Ketimpangan sosial bukanlah kecelakaan sejarah, melainkan hasil dari kebijakan yang sistematis. Ketika negara lebih melayani korporasi daripada warganya, ketika hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka yang tercipta adalah struktur dominasi.

Gerakan massa muncul sebagai reaksi terhadap ketimpangan relasi kekuasaan. Mereka bukan sekadar melawan satu kebijakan, tetapi menolak sistem yang meminggirkan. Sosiolog seperti Manuel Castells dan Pierre Bourdieu telah menunjukkan bahwa gerakan sosial adalah cara rakyat untuk merebut kembali ruang sosial dan simbolik yang telah direbut oleh kekuasaan dominan.

Dalam masyarakat kelas, perjuangan bukan hanya soal materi, tetapi juga soal makna. Ketika kaum marhaen dicitrakan sebagai malas, bodoh, atau tidak produktif, maka perjuangan mereka juga adalah perjuangan melawan stigma dan stereotip. Mereka bukan hanya menuntut roti, tapi juga kehormatan. Inilah yang disebut Bourdieu sebagai perjuangan simbolik.

Gerakan massa menjadi arena untuk membalik makna. Mereka yang dianggap liar oleh media menjadi pahlawan di mata komunitasnya. Mereka yang disebut perusuh oleh negara adalah penjaga martabat bagi sesamanya. Sosiologi mengajarkan bahwa perubahan sosial bukan terjadi karena negara bersedia berubah, tetapi karena rakyat memaksanya untuk berubah.


Ruang-Ruang Emansipasi: Dari Jalanan ke Basis Komunitas

Perlawanan kaum marhaen tidak selalu berlangsung di jalanan. Ia juga terjadi di ruang-ruang kecil: komunitas petani, serikat buruh, kolektif seni rakyat, koperasi kampung, dan forum warga. Di sana, politik etis dijalankan dalam praktik sehari-hari. Mereka membangun kekuatan dari bawah, menolak bergantung pada negara atau partai politik yang korup.

Emansipasi dimulai dari organisasi akar rumput, dari relasi solidaritas antarwarga yang saling menguatkan. Inilah politik mikro yang sering luput dari radar media, tapi justru menjadi fondasi paling kokoh dari perubahan sosial. Ketika kaum marhaen menyadari bahwa mereka punya kekuatan kolektif, maka dominasi tidak lagi tampak absolut.

Gerakan massa yang sehat adalah yang mampu mengembangkan kesadaran politik hingga ke basis paling lokal. Mereka tidak hanya bereaksi, tapi juga membangun. Mereka tidak sekadar memprotes, tapi juga menciptakan alternatif. Politik etis bukan hanya tentang menolak penindasan, tetapi juga tentang membangun dunia baru yang lebih adil.


Dari Retorika ke Realitas: Menghindari Komodifikasi Perlawanan

Satu bahaya besar dalam gerakan massa adalah komodifikasi perlawanan. Saat semangat rakyat dijadikan alat kampanye oleh elite politik, atau ketika narasi perjuangan direduksi menjadi slogan dalam iklan, maka perlawanan kehilangan maknanya. Banyak elite yang mengaku membela rakyat, tetapi sesungguhnya hanya menjadikan mereka tangga menuju kekuasaan.

Oleh karena itu, penting bagi kaum marhaen untuk memiliki otonomi politik. Gerakan harus berdiri di luar kekuasaan yang korup, tidak tunduk pada agenda elite, dan mampu menjaga arah perjuangan. Pendidikan politik menjadi kunci. Rakyat harus paham tidak semua “wakil rakyat” mewakili kepentingan mereka. Tidak semua “pembangunan” berarti kemajuan bagi mereka.

Politik etis mengajarkan bahwa perlawanan bukan soal popularitas, tapi soal konsistensi. Bukan soal orasi keras, tapi soal keberpihakan yang nyata. Jika gerakan hanya dikooptasi untuk konten media sosial atau kepentingan partai, maka ia akan layu sebelum berkembang. Gerakan harus menjauh dari politisasi identitas dan membangun di atas kesadaran kelas dan moral kolektif.


Kesimpulan: Membangun Etika Perlawanan

Gerakan massa bukan hanya gejala sosial, tetapi ekspresi terdalam dari rakyat yang menolak ditindas. Ia lahir dari luka, tapi juga dari harapan. Ia digerakkan oleh emosi, tapi diarahkan oleh kesadaran. Ia tidak selalu sempurna, tapi selalu bermakna.

Politik etis kaum marhaen bukanlah utopia. Ia adalah kenyataan yang dibangun dari bawah, dari dapur rakyat, dari peluh buruh, dan dari tanah petani. Politik ini menolak keserakahan, mencela netralitas palsu, dan menyerukan keberpihakan. Di tengah dunia yang semakin dipenuhi tipu daya retorika elite, politik etis ini menjadi kompas moral untuk perubahan.

Dalam dunia yang mengagungkan individualisme dan kompetisi, gerakan massa dan politik marhaen menghidupkan kembali nilai solidaritas dan keberanian kolektif. Seperti kata Paulo Freire, “Hanya mereka yang mencintai dapat memberontak.” Dan pemberontakan yang lahir dari cinta pada kemanusiaan adalah pemberontakan yang paling suci.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *