Esai
Kecerdasan buatan (AI) memicu debat sengit seputar orisinalitas dan ancaman pekerjaan. Tapi apakah AI sebenarnya alat pembebasan dari dominasi kapitalis? Baca analisis kritisnya di sini.
Problematika AI dan Kapitalisme: Alat Produksi atau Ancaman Pekerja?
Kemunculan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) menjadi salah satu tonggak sejarah revolusi digital dalam peradaban manusia. Seiring laju perkembangan teknologi, AI menjelma dari sekadar alat bantu menjadi sistem produksi informasi, imajinasi, dan komputasi yang canggih. Namun, sebagaimana sejarah mencatat setiap kelahiran teknologi, AI pun tidak lepas dari pertarungan narasi, kepanikan kolektif, dan yang paling mencolok: perebutan makna serta arah penggunaannya. Salah satu polemik yang paling kerap muncul adalah anggapan bahwa AI mengancam orisinalitas, keberlangsungan profesi, dan tatanan dunia kerja digital. Namun, jika kita menelaah lebih dalam, polemik ini justru merupakan pengalihan kesadaran kelas—sebuah debat kusir yang diinginkan oleh sistem kapitalisme agar kaum pekerja saling berbenturan, alih-alih merebut alat produksi yang kini tersedia di tangan mereka sendiri.
Teknologi: Alat Emansipasi atau Kendali Baru?
Dalam sistem kapitalisme klasik, alat dan sistem produksi adalah kekuasaan eksklusif kaum borjuis. Proletar hanya menyumbangkan tenaga kerja, sementara kepemilikan dan kontrol atas produksi tetap berada di tangan pemodal. Marx pernah menegaskan dalam Manifesto Komunis, “Kelas yang mengendalikan alat produksi, juga mengendalikan kekuatan material dari masyarakat.” Artinya, selama alat produksi tidak dapat diakses oleh kelas pekerja, maka pembebasan sejati hanyalah ilusi.
Namun, AI dan teknologi digital menawarkan kemungkinan berbeda. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, alat produksi digital—dalam bentuk perangkat lunak AI, otomatisasi, dan perangkat kreatif cerdas—berada dalam jangkauan masyarakat luas. Dalam genggaman tangan, siapa pun kini memiliki akses ke mesin yang mampu menulis, mendesain, menciptakan musik, menerjemahkan, bahkan menganalisis data kompleks. Inilah titik kritis: teknologi ini berpotensi mendobrak monopoli alat produksi oleh kelas atas dan mendistribusikannya ke tangan rakyat.
Sayangnya, kenyataan sosial tidak selalu berjalan linear dengan potensi teknologi. Sebagian besar masyarakat kita masih melihat AI sebatas alat kalkulasi, bukan sebagai sistem produksi baru. Mereka menggunakannya layaknya kalkulator: untuk tugas-tugas sederhana dan praktis, bukan sebagai instrumen pembebasan. Ini mencerminkan mentalitas kelas pekerja yang belum merdeka secara epistemik—mereka tidak sadar bahwa kini mereka memiliki alat yang sebelumnya hanya dimiliki oleh korporasi dan negara.
Debat Orisinalitas: Pertarungan yang Sudah Usang
Narasi utama dalam perdebatan AI adalah soal orisinalitas dan otentisitas. Tuduhan bahwa karya berbasis AI hanyalah replikasi tanpa kreativitas kerap dilontarkan oleh para profesional digital, terutama dari ranah seni, tulis-menulis, dan desain. Mereka menuduh pengguna AI sebagai pencuri intelektual, pemalas kreatif, dan pembunuh profesi.
Namun, jika kita melihat sejarah, ini bukan polemik baru. Sebelumnya, kita sudah menyaksikan perdebatan serupa dalam industri batik. Ketika teknologi batik cap mulai digunakan secara masif, para pembatik tulis menyuarakan kekhawatiran serupa: bahwa batik cap tidak orisinal, hanya tiruan dari karya tangan yang sesungguhnya. Namun, realitas pasar tidak menunggu argumen filosofis: batik cap laku, murah, dan praktis. Seiring waktu, ia mengambil pasarnya sendiri. Kesenian batik tulis tetap ada, tetapi tidak lagi menjadi satu-satunya standar.
Ini adalah cerminan bagaimana teknologi mengubah cara produksi dan persepsi nilai. Dalam kasus batik, alat cap hanya bisa dimiliki oleh pemodal, sehingga pergeseran sistem produksi tetap berada dalam kendali borjuis. Sementara dalam kasus AI, alat ini—secara potensial—bisa dimiliki siapa saja. Inilah yang menakutkan bagi kapitalis: jika rakyat menyadari bahwa alat produksi kini berada di tangan mereka sendiri, maka hegemoni kapitalisme digital bisa runtuh.
Ketakutan Para Profesional: Ancaman atau Pembebasan?
Ketakutan para profesional digital terhadap AI bukan semata-mata soal etika. Dalam banyak kasus, itu adalah refleksi dari keresahan akan keberlanjutan ekonomi mereka. Ketika pekerjaan menulis, menerjemah, mendesain, hingga membuat kode dapat dilakukan oleh mesin, para pekerja digital merasa kehilangan pijakan. Dalam situasi ini, mereka beralih dari pelaku produksi menjadi penjaga gerbang moralitas: mengklaim otentisitas, menggugat replika, dan membangun narasi bahwa hanya manusia yang sah mencipta.
Namun, ironisnya, ketakutan ini justru dimanfaatkan oleh korporasi untuk memperkuat posisinya. Di tengah pertarungan narasi antara pengguna AI dan profesional konvensional, perusahaan-perusahaan besar terus menggunakan AI dalam skala masif tanpa debat etik sedikit pun. Mereka mengotomatisasi pelayanan pelanggan, konten, analitik, hingga manufaktur dengan AI, mengurangi kebutuhan tenaga kerja, dan meningkatkan margin laba mereka. Proletar justru sibuk bertengkar dengan sesamanya, sementara kapitalis terus mengkonsolidasikan kekuatan.
Debat ini, sebagaimana dicurigai oleh banyak pemikir kiri, adalah pengalihan kesadaran. Antonio Gramsci menyebutnya hegemoni kultural: kekuasaan yang tidak hanya berlangsung dalam ekonomi, tetapi juga dalam produksi narasi dan opini. Dalam konteks ini, kita melihat bagaimana pertarungan narasi tentang AI diarahkan untuk mempertahankan status quo, alih-alih membongkarnya.
AI sebagai Alat Produksi: Siapa yang Siap?
Kita harus bertanya secara jujur: mengapa sebagian besar masyarakat tidak melihat AI sebagai alat produksi, tetapi hanya sebagai alat bantu? Jawabannya terletak pada kesiapan mental untuk menjadi merdeka. Pembebasan teknologi hanya mungkin jika disertai pembebasan cara berpikir. Tanpa kesadaran kelas, akses teknologi hanya menjadi ilusi kemajuan yang semu.
Rosa Luxemburg pernah menyatakan, “Sosialisme atau barbarisme.” Di zaman sekarang, kita bisa mengatakan: “Kesadaran teknologi atau perbudakan digital.” Pilihan ada di tangan kita. AI bukan musuh. Ia adalah alat yang bisa mendobrak hierarki produksi yang telah mapan. Namun, tanpa visi kolektif untuk menggunakannya sebagai senjata pembebasan, ia akan menjadi alat baru dalam rantai eksploitasi yang lebih canggih.
Menuju Demokratisasi Produksi
Agar AI benar-benar menjadi kekuatan emansipatoris, diperlukan langkah-langkah konkret:
- Edukasi Kritis: Masyarakat harus diberikan pendidikan digital yang menyadarkan bahwa AI bukan hanya untuk hiburan atau tugas ringan, tetapi bisa digunakan untuk menciptakan produk dan nilai tambah ekonomi secara mandiri.
- Kepemilikan Kolektif: Platform dan perangkat AI seharusnya tidak hanya dimonopoli oleh korporasi global seperti Google, Meta, atau Microsoft. Harus ada inisiatif untuk menciptakan open-source AI yang bisa dimiliki dan dikembangkan oleh komunitas atau koperasi digital.
- Regulasi Emansipatif: Negara tidak boleh hanya menjadi regulator pasif yang melindungi kepentingan korporasi. Ia harus mendorong akses setara terhadap teknologi dan melindungi hak pekerja untuk berevolusi, bukan menghilang.
- Aliansi Kelas Digital: Daripada saling menyalahkan, para pekerja digital—baik konvensional maupun pengguna AI—harus membentuk solidaritas kelas baru yang mendorong demokratisasi alat produksi.
Penutup: Siapa yang Berdaulat Atas Produksi?
AI bisa menjadi cermin bagi umat manusia: apakah kita siap menjadi subjek sejarah yang berdaulat atas alat produksi, atau tetap menjadi objek yang terpinggirkan dalam sistem produksi baru yang lebih rumit? Debat tentang orisinalitas dan etika teknologi semestinya tidak dijadikan arena saling jegal antar sesama pekerja, melainkan jembatan menuju kesadaran kolektif bahwa kini ada peluang baru untuk mengubah relasi kekuasaan.
Kaum kapitalis ingin agar perdebatan ini tetap berlangsung pada level superfisial. Mereka ingin kaum pekerja sibuk menyalahkan sesamanya, sementara mereka memperkuat infrastruktur AI, menyerap data, menciptakan sistem otomatis, dan memperbesar akumulasi modal. Mereka tidak takut pada AI. Mereka takut jika AI disadari sebagai alat pembebasan.
Sudah saatnya kita menggeser pertanyaan: bukan lagi “Apakah AI akan mengambil pekerjaan kita?”, tetapi “Bagaimana kita bisa mengambil alih produksi dari tangan kapitalis dengan AI di tangan kita?” AI bukan akhir dari kreativitas manusia, melainkan awal dari pertarungan kelas baru yang lebih canggih. Dan dalam pertarungan ini, kesadaran kolektif adalah senjata utama kita.
Be First to Comment