Press "Enter" to skip to content

Politisi Partikelir: Tukang Cukur Politik Tanpa Salon Resmi


Politisi Partikelir: Tukang Cukur Politik Tanpa Salon Resmi

Kalau partai politik adalah restoran mewah dengan dapur tersertifikasi dan chef bersertifikat, maka politisi partikelir adalah penjual nasi goreng pinggir jalan yang tak peduli soal izin, tak punya brand, tapi selalu laku. Mereka tak hadir di iklan TV, tak ikut debat publik, tak juga memajang baliho segede truk tangki. Tapi jangan salah, mereka selalu tahu di mana suara bisa digoreng dan disajikan panas-panas kepada siapa pun yang siap membayar tunai.

Politisi partikelir bukan istilah resmi. KPU tak kenal mereka, Bawaslu malas melacak mereka, dan partai politik… diam-diam mencintai mereka. Mereka adalah makhluk politik semi-liar yang hidup dari semak-semak demokrasi yang tumbuh di mana-mana. Sejenis freelancer, tapi bukan desainer grafis—mereka desainer narasi, perancang program kilat, dan kadang-kadang, penyalur sembako dadakan. Tanpa struktur, tanpa ideologi, tanpa anggaran resmi. Tapi mereka punya tiga hal yang tak dimiliki banyak caleg: insting, jaringan akar rumput, dan nomor kontak lurah.

Apa Itu “Partikelir”? Sebelum Anda Menuduh Kami Asbun

Istilah “partikelir” berasal dari bahasa Belanda particulier. Di zaman kolonial, partikelir berarti pribadi alias swasta. Ada sekolah partikelir, pengusaha partikelir, bahkan polisi partikelir—yang tugasnya kira-kira seperti hansip tapi dengan tongkat lebih besar dan moral lebih lentur.

Hari ini, makna itu ber-evolusi seperti Pokemon, masuk ke ranah politik sebagai “politisi partikelir”—mereka yang bekerja politis tapi bukan politisi; memanen suara tapi bukan kader; menyusun strategi tapi tidak pernah ikut rapat partai. Ibarat tukang cukur panggilan: mereka bisa memangkas suara siapa saja, dari mana saja, asal dompet kliennya terbuka.

Profesi Tak Terdaftar, Jasa Sangat Dicari

Mengapa mereka laku? Karena politik kita tak punya HRD. Kaderisasi seringkali cuma jadi pajangan di brosur partai. Sementara itu, kebutuhan akan “orang lapangan” yang tahu medan, bisa gerilya, dan mengerti cara mendesain spanduk murah tapi efektif tetap tinggi.

Maka muncullah para politisi partikelir. Mereka menawarkan paket hemat bagi calon legislatif: bisa nyari massa, bisa bikin program kecil, bahkan kadang bisa menulis pidato motivasional berbumbu agama dan subsidi. Dan semua bisa dikemas dalam proposal tiga halaman, dilampiri foto kegiatan di RT sebelah. Serius.

Program andalan mereka? Mulai dari pelatihan daur ulang minyak goreng bekas (yang ujung-ujungnya nggak jadi), sampai lomba mewarnai untuk ibu-ibu (dengan crayon hadiah dari sponsor imajiner). Tapi di balik semua itu, targetnya jelas: mempertebal kesan “turun ke bawah”—istilah politisi kita yang sering berarti “menyapa rakyat hanya pas musim pemilu”.

Mobilitas Tinggi, Loyalitas Fleksibel

Politisi partikelir tidak terikat pada partai. Mereka lebih seperti ojek online politik—bisa disewa siapa saja. Hari ini mereka bantu caleg dari partai bunga, besok bantu partai beringin, lusa entah bantu siapa yang bayarnya lebih tinggi. Mereka tidak menganut ideologi apa pun selain satu: “pokoknya cair.”

Mereka gampang berpindah karena tak ada yang mengikat. Hubungan mereka dengan kandidat lebih mirip relasi kontraktual jangka pendek: tidak ada janji pensiun, apalagi jaminan moral. Bahkan, beberapa dari mereka bangga karena bisa “main di dua tim” sekaligus. Dalam sepak bola, ini pelanggaran. Dalam politik partikelir, ini strategi.

Politisi Formal: Diam-diam Butuh Mereka

Ironisnya, para politisi resmi justru sangat bergantung pada kelompok ini. Mereka butuh jembatan ke massa yang tak bisa ditembus lewat baliho atau media sosial. Dan siapa yang lebih jago menjangkau warga kampung selain seseorang yang juga punya warung kopi, kenal RT-RW, dan kadang ikut jadi MC saat acara tujuhbelasan?

Maka, partai politik besar pun seringkali membiarkan partikelir beroperasi. Tak diakui, tapi dipakai. Seperti mantan, mereka tetap jadi bagian penting dari masa depan meski tak pernah disebut-sebut.

Antara Cermin dan Cacat Demokrasi

Apakah politisi partikelir ini masalah? Atau justru refleksi dari demokrasi kita yang terlalu lentur? Mungkin keduanya. Di satu sisi, mereka menunjukkan bahwa politik bisa dilakukan siapa saja, kapan saja, tanpa perlu lulus sekolah politik. Di sisi lain, mereka juga mengindikasikan bahwa sistem kita terlalu mudah dibajak oleh oportunisme, tak peduli siapa yang mengemudi.

Mereka bukan penyebab utama rusaknya demokrasi, tapi gejala dari demokrasi yang dibiarkan tumbuh liar tanpa pagar etika dan pengawasan ideologis. Mereka hadir karena sistem politik formal terlalu sibuk mengurus elite, lupa membina akar.


Penutup: Suara Bisa Dibeli, Tapi Rasionalitas Masih Mahal

Politisi partikelir adalah realitas yang tak bisa kita tabukan. Mereka ada, nyata, bekerja, dan kadang lebih efektif dari kader resmi partai. Mereka bukan penjahat, bukan juga pahlawan. Mereka hanya produk dari sistem politik yang membuka banyak pintu tapi lupa membangun dinding.

Jadi, lain kali Anda melihat acara pembagian minyak goreng dadakan, lomba karaoke di halaman kelurahan, atau diskusi politik dengan spanduk yang warnanya mirip tapi bukan resmi—barangkali Anda sedang menyaksikan seni tinggi dari para politisi partikelir. Politik level mikro, dengan bujet minimal, tapi efek maksimal. Sebuah seni bertahan hidup di tengah demokrasi yang lebih mirip pasar malam: meriah, penuh janji, tapi kadang isinya cuma permainan berhadiah boneka isi kapas.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *