
“Pisau di Balik Jas: Arab Spring sebagai Kejahatan Sistematis Barat”
Dalam sejarah kontemporer dunia Arab, Arab Spring kerap digambarkan sebagai momen suci pembebasan politik: kebangkitan rakyat melawan tirani, sebagai manifestasi dari idealisme demokrasi ala Barat yang mengalir ke jantung kekuasaan Timur Tengah. Namun di balik narasi yang memikat dan seolah heroik itu, tersembunyi rekayasa historis yang licik. Retorika “pembebasan rakyat” kerap digunakan sebagai kedok untuk memuluskan operasi geopolitik terselubung, yang bertujuan bukan untuk mendewasakan kedaulatan bangsa, melainkan untuk melucuti stabilitas, menundukkan institusi, dan membuka pintu bagi penetrasi neoliberal yang lebih dalam. Arab Spring, jika dibedah dengan kacamata kritis dan bukti sejarah, bukanlah gerakan murni rakyat. Ia lebih menyerupai bentang operasi politik berskala regional, yang digerakkan oleh campur tangan kekuatan imperialis melalui jaringan media, lembaga donor, dan teknologi digital yang dimanipulasi dari luar.
Pecahnya Negara, Lenyapnya Harapan: Data Kualitatif Pasca Arab Spring
Apa yang tersisa dari gelombang protes yang membakar dunia Arab antara 2010–2012 bukanlah ruang publik yang lebih bebas, melainkan puing-puing negara gagal, trauma kolektif, dan institusi yang lumpuh. Di Libya, intervensi NATO atas dalih “melindungi warga sipil” berujung pada pembunuhan brutal Muammar Gaddafi. Namun, apa yang terjadi setelah itu adalah kekacauan tak berujung. Negara tersebut pecah menjadi kantong-kantong milisi bersenjata yang saling memperebutkan kendali. Menurut laporan United Nations Support Mission in Libya (UNSMIL), lebih dari 20.000 orang tewas akibat konflik bersenjata antar milisi antara 2014 dan 2021. Bahkan, pasar budak modern kini eksis kembali secara terbuka di Tripoli, di mana manusia dijual seharga beberapa ratus dolar, sebuah kemunduran peradaban yang tak terbayangkan sebelumnya.
Di Suriah, protes yang diawali dengan tuntutan reformasi berubah menjadi medan perang saudara paling berdarah di abad ke-21. Data Syrian Observatory for Human Rights menunjukkan lebih dari 610.000 jiwa tewas, termasuk puluhan ribu anak-anak, dan lebih dari 14 juta orang terusir dari rumahnya. Negara yang dulu dikenal sebagai pusat sejarah dan keberagaman kini menjadi puing-puing reruntuhan sektarian dan panggung perebutan pengaruh antara kekuatan besar seperti Amerika Serikat, Rusia, Iran, dan Turki. Apa yang disebut sebagai “kebangkitan rakyat” justru berubah menjadi pemusnahan massal identitas nasional Suriah.
Yaman pun bernasib serupa. Setelah lengsernya Ali Abdullah Saleh, konflik bersenjata pecah antara kelompok Houthi dan koalisi Arab Saudi yang didukung Barat. Data PBB menyebut lebih dari 377.000 orang tewas akibat perang, kelaparan, dan kekurangan layanan kesehatan. UNICEF mencatat bahwa dua juta anak menderita malnutrisi akut, dan 80% populasi Yaman kini bergantung pada bantuan kemanusiaan. Jika Arab Spring bertujuan membebaskan rakyat dari penderitaan, maka mengapa penderitaan justru memburuk secara masif setelahnya?
Di Mesir, narasi pembebasan dari rezim Hosni Mubarak hanya bertahan sebentar. Pemerintahan terpilih Mohamed Morsi digulingkan oleh kudeta militer yang dipimpin Jenderal Abdel Fattah el-Sisi. Dalam waktu singkat, demokrasi yang sempat tumbuh layu dan digantikan oleh otoritarianisme yang bahkan lebih represif. Menurut Human Rights Watch, lebih dari 60.000 tahanan politik dipenjara, termasuk aktivis, jurnalis, dan pelajar. Rezim el-Sisi menutup ruang publik, membungkam pers bebas, dan memanfaatkan “stabilitas” sebagai dalih untuk menindas rakyatnya sendiri—dengan dukungan penuh dari Washington dan negara-negara Eropa.
Tunisia, satu-satunya negara yang dulu dianggap sebagai “kisah sukses” Arab Spring, kini kembali dalam krisis. Presiden Kais Saied pada 2021 membubarkan parlemen dan mulai memerintah melalui dekrit. Freedom House menurunkan status Tunisia dari “free” menjadi “partly free”. Harapan akan demokrasi digantikan oleh kekecewaan dan ketidakpastian. Demokrasi, seperti yang diimpor dari luar, terbukti tidak berakar dan tidak tahan terhadap guncangan internal maupun manipulasi eksternal.
Pandangan Kritis Tokoh Dunia: Dekonstruksi Romantisisme Barat
Beberapa tokoh dunia, pemikir dan jurnalis investigatif telah memberikan pandangan yang kontras dengan glorifikasi Arab Spring. Mereka melihat peristiwa ini bukan sebagai ekspresi rakyat yang otonom, melainkan sebagai proyek geopolitik terselubung.
Noam Chomsky, linguis dan pengkritik imperialisme asal Amerika, menyatakan bahwa:
“The so-called Arab Spring revealed how Western powers support democracy only when it serves their interests. When the results are not favorable, they quickly turn to support autocrats or military regimes.”
Artinya, demokrasi hanya dijunjung selama hasilnya menguntungkan kekuatan besar. Ketika rakyat memilih pemimpin yang tidak sejalan dengan kepentingan Barat, maka mekanisme kudeta, destabilisasi, atau pembunuhan politik segera dijalankan.
Robert Fisk, jurnalis senior The Independent, menuliskan dalam laporan-laporannya bahwa banyak jaringan oposisi Arab telah dibina sejak jauh hari oleh intelijen asing. Menurutnya:
“There was nothing spontaneous about the Arab Spring. Foreign intelligence services were already laying the groundwork months in advance, shaping opposition groups and preparing the terrain.”
Julian Assange, melalui dokumen yang dibocorkan oleh WikiLeaks, menunjukkan bahwa Amerika Serikat telah mempersiapkan Arab Spring sejak 2008 melalui pendanaan terhadap NGO, pelatihan aktivis muda Arab, dan intervensi halus di ranah budaya serta politik.
Bahkan Vladimir Putin, dengan nada sinis namun tajam, menyebut bahwa:
“The West replaces stable governments with chaos under the pretext of spreading democracy, then leaves the people to suffer the consequences.”
Yang artinya, Barat menggantikan pemerintahan stabil dengan kekacauan atas nama demokrasi, lalu pergi begitu saja tanpa bertanggung jawab atas kehancuran yang ditinggalkan.
Geopolitik Bercangkang Demokrasi: Kolonialisme Abad ke-21
Jika kita telaah lebih dalam, Arab Spring tidak lain adalah wajah baru dari kolonialisme: bentuk kolonialisme yang tidak datang dengan senapan dan pasukan, tetapi dengan seminar, algoritma, lembaga donor, dan retorika hak asasi manusia. Demokrasi bukanlah niat tulus, melainkan bungkus dari strategi “divide et impera” modern. Negara-negara Arab dipecah melalui polarisasi sektarian (Sunni vs Syiah), diperlemah melalui delegitimasi elit nasional, dan dipaksa menerima resep-resep ekonomi neoliberal yang memiskinkan akar rakyat. Ketika negara gagal terbentuk, perusahaan-perusahaan asing masuk untuk mengambil alih sektor energi, keuangan, dan logistik dengan mudah. Inilah wajah baru penjajahan.
Dalam realitas ini, demokrasi bukanlah cita-cita, melainkan alat. Kebebasan bukanlah tujuan, melainkan ilusi. Dan rakyat Arab bukan menjadi subjek sejarah, tetapi korban dari laboratorium geopolitik yang diatur dari Washington, Paris, dan London.
Konklusi: Membangun Kontra-Narasi dan Kesadaran Sejarah
Sudah waktunya kita membongkar mitos dan romantisme yang dibangun oleh media Barat tentang Arab Spring. Kita harus menolak mentah-mentah narasi bahwa “kekacauan adalah harga demokrasi,” karena kekacauan ini bukan produk perjuangan rakyat, melainkan hasil intervensi terstruktur yang dilakukan oleh kekuatan global demi kepentingan mereka sendiri. Dunia Arab tidak bangkit, melainkan dipecah. Yang terbunuh bukan hanya rezim, tetapi harapan kolektif dan stabilitas sosial. Arab Spring adalah tragedi besar yang disulap menjadi puisi perlawanan, padahal ia adalah skenario kolonialisme digital yang didandani dengan kata-kata manis.
Masyarakat non-Barat harus melihat peristiwa ini sebagai peringatan keras: bahwa demokrasi tidak bisa diimpor, tidak bisa dipaksakan dari luar. Ia hanya bisa tumbuh jika mengakar pada sejarah, budaya, dan kehendak kolektif rakyat sendiri. Dan tugas kita adalah membangun kontra-narasi, membuka kedok hipokrisi, serta merawat kewaspadaan terhadap setiap “pisau yang diselipkan di balik lengan jas”.
Karena seperti kata Frantz Fanon, “Kekuasaan kolonial tidak akan pernah membebaskan. Ia hanya akan berganti wajah, menunggu peluang untuk kembali menyusup ke dalam tubuh bangsa yang lemah.” Arab Spring adalah wajah itu. Dan kini, kita wajib menatapnya dengan mata terbuka.
Be First to Comment