Press "Enter" to skip to content

Pikiran-Pikiran Payah, Sinisme Kering


Opini-Esai

ilustrasi by pinterest

Pikiran-Pikiran Payah, Sinisme Kering

Dalam ruang-ruang diskusi publik, baik di dunia nyata maupun maya, kita sering berhadapan dengan satu spesies pemikiran yang seolah menolak kemajuan dan pembaruan: pikiran-pikiran payah yang menghidupi sinisme kering. Mereka hadir dengan komentar tajam tapi hampa, penuh kecurigaan tapi tanpa upaya investigasi. Mereka adalah para komentator instan yang menanggapi isu-isu aktual dengan nada skeptis, seolah telah mengetahui segalanya, padahal nyaris tak pernah melakukan riset mendalam atau membaca lebih dari judul berita.

Fenomena ini menjadi gejala sosial yang mencemaskan, terutama dalam iklim demokrasi yang sehat dan berbasis pada nalar publik. Ketika ide-ide usang bertahan hidup hanya karena dikemas dalam jargon retoris atau sentimen massa, kita menghadapi ancaman serius terhadap kualitas diskursus publik.

“Musuh terbesar dari pengetahuan bukanlah ketidaktahuan, melainkan ilusi bahwa kita sudah tahu,” kata Stephen Hawking. Mereka yang terjebak dalam sinisme kering sering kali merasa tahu, merasa paham, padahal hanya mengandalkan intuisi dan pengalaman pribadi yang terbatas.

Ide yang Mandek, Pikiran yang Terkunci

Ada benang merah yang bisa ditarik antara sinisme kering dan stagnasi intelektual. Mereka yang malas membaca, menolak riset, dan mencemooh pengetahuan baru umumnya adalah orang yang telah merasa nyaman dengan status quo pemikirannya. Dalam bahasa Slavoj Zizek, seorang filsuf kontemporer, kondisi ini mencerminkan “ideologi yang sedang bekerja”: di mana seseorang tidak menyadari bahwa cara berpikirnya adalah hasil konstruksi sosial-politik yang ia telan mentah-mentah.

Mereka tidak menyadari bahwa sinisme mereka bukan bentuk kecerdasan, melainkan kebuntuan. Kecurigaan tanpa analisis, celaan tanpa dasar, dan argumen yang berputar-putar di tempat adalah gejala dari kegagalan berpikir kritis yang sejati.

Ketika Skeptisisme Gagal Menjadi Kritis

Skeptisisme adalah elemen penting dalam berpikir ilmiah. Tapi ketika skeptisisme tidak disertai proses validasi, verifikasi, dan dialektika, ia berubah menjadi sinisme. Alih-alih mempertanyakan demi mencari kebenaran, sinisme hanya menolak untuk memahami. Michel Foucault dalam karyanya tentang “arkeologi pengetahuan” menegaskan pentingnya menyusuri jejak-jejak pengetahuan secara historis dan kontekstual. Tanpa itu, seseorang hanya akan terperangkap dalam “rezim kebenaran” versinya sendiri.

Masyarakat yang dipenuhi oleh sinisme kering adalah masyarakat yang gagal membangun harapan dan visi. Mereka hanya bisa menunjuk kesalahan tanpa mampu menawarkan solusi, hanya bisa mencemooh tanpa sanggup membangun.

Bahaya dalam Diskursus Publik

Dalam politik, dalam budaya, dalam pendidikan, sinisme kering dapat menyabotase usaha kolektif untuk maju. Ketika seseorang dengan ide mentah tapi suara lantang mendominasi percakapan, mereka menciptakan ekosistem kebisingan, bukan pertukaran gagasan. Noam Chomsky menyebut hal ini sebagai “penciptaan persetujuan”—bagaimana opini dibentuk bukan oleh pengetahuan, melainkan oleh kekuasaan simbolik.

Inilah saatnya bagi kita untuk mendobrak tembok sinisme dan menumbuhkan budaya intelektual yang sehat. Tidak cukup hanya pintar berbicara atau mencemooh. Kita perlu berpikir, membaca, berdialog, dan membuka diri terhadap kompleksitas.

Menanam Kembali Tradisi Intelektual

Solusi dari penyakit sinisme kering adalah membangun kembali tradisi intelektual di ruang publik. Mulai dari kampus, ruang media, hingga lingkup percakapan sehari-hari. Edukasi kritis harus menjadi garda terdepan.

Paulo Freire dalam Pedagogi Kaum Tertindas menekankan bahwa pendidikan harus membebaskan, bukan mendoktrin. Ia harus membuka ruang bagi pemikiran yang terus-menerus berkembang, bukan membatu dalam dogma lama.

Kita harus menciptakan atmosfer di mana orang didorong untuk bertanya mengapa dan bagaimana, bukan hanya apa. Di mana komentar bukan hanya bentuk pelampiasan emosi, tapi cermin dari proses berpikir yang reflektif.

Kesimpulan: Melampaui Sinisme, Membangun Harapan

Sinisme kering tidak hanya melemahkan kualitas intelektual individu, tapi juga merusak harapan kolektif. Ia membuat masyarakat mudah kecewa, mudah mencela, namun enggan berbuat. Untuk itu, kita butuh keberanian untuk belajar ulang, berpikir ulang, dan membuka ruang bagi ide-ide segar.

Karena seperti kata Immanuel Kant, “Sapere aude! Beranilah untuk tahu!”—beranilah berpikir. Dalam zaman yang riuh ini, berpikir kritis adalah tindakan revolusioner.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *