Feature
Mengenal Peri Sandi Huizche, penyair yang mengubah wajah sastra Indonesia melalui performa naratif kritis dan pembakaran kesadaran di media sosial dan ruang seni.

Peri Sandi Huizche: Penyair Perlawanan yang Membakar Kesadaran Publik
Dalam negeri yang tak pernah selesai dengan dirinya sendiri, orang semacam Peri Sandi Huizche adalah suara yang tidak diundang tetapi perlu ada. Di tengah perayaan kata-kata yang dibungkus hiburan, ia datang dengan luka. Dan seperti luka, suaranya mengganggu.
Kami pernah bertemu dengannya. Di sebuah ruang kecil yang tak banyak disebut media—Artspace CakrawalaKata, Surabaya. Saat itu berlangsung sebuah pameran seni yang lebih menyerupai rapat kebudayaan ketimbang perayaan estetika. Ia datang tidak dengan pengiring, tidak dengan formalitas. Hanya tubuhnya, suaranya, dan api yang dibawanya.
Dan seperti biasa, ia membakar.
Dengan naratif performatif yang tajam, Peri menyulut pikiran orang-orang. Bukan dengan ceramah, tapi dengan fragmen-fragmen puisi yang dilempar seperti batu ke kolam tenang. Ia menantang kami berpikir, bukan menghibur. Di matanya, seni bukan pajangan—ia adalah seruan. Dan saat ia bicara, bukan hanya penyair yang tampil. Tapi seorang manusia yang membawa beban zaman.

Ia bukan penyair salon. Ia tidak membacakan puisi dengan tenang, tidak pula membiarkan kata-katanya menguap dalam tepuk tangan palsu. Ia membawakan puisinya seperti orang membakar rumahnya sendiri: dengan putus asa yang berubah menjadi keberanian. Karena negeri ini, seperti yang kau tahu, telah menjadi rumah yang tak lagi memberi perlindungan pada keadilan.
—
Sengkon dan Karta: Dua Nama yang Tak Pernah Diundang dalam Pidato Kenegaraan
Lewat naskah Mata Luka Sengkon Karta, Peri menampar wajah sejarah Indonesia yang penuh riasan. Ia memanggil dua nama dari kubur: Sengkon dan Karta, korban kekuasaan, korban sistem, korban dari negara yang terlalu sombong menganggap dirinya adil. Dan ia tidak sekadar menyebut nama. Ia menyuarakan kesaksian. Ia membongkar kebusukan yang sudah menjadi bangkai di laci-laci sejarah.
Kau tidak perlu jadi sarjana untuk mengerti puisinya. Cukup jadi manusia yang masih punya rasa. Maka kau akan tahu, bahwa yang dibacanya bukan sekadar puisi, tapi pengakuan. Kesaksian dari mereka yang tak sempat bersuara.
Dan seperti yang kita pelajari dari sejarah, korban-korban macam ini sering kali dilupakan begitu saja. Tidak dimakamkan dalam puisi sekolah, tidak disebut dalam buku pelajaran. Tapi Peri menyematkan nama mereka dalam suara dan tubuhnya. Ia mengangkat mereka dari bawah tanah menjadi ingatan yang berdenyut kembali.
—
Ia Telah Mengubah Lanskap Sastra
Tak ada yang mengira, dari pinggiran Sukabumi, dari lorong-lorong teater kecil yang sunyi, nama Peri justru menjalar lewat gawai orang banyak. Dengan tubuh dan suara, ia menembus batas yang selama ini tak bisa ditembus oleh halaman-halaman buku yang tertumpuk di rak-rak toko.
Ia telah mengubah lanskap sastra Indonesia. Tanpa selebrasi, tanpa undangan konferensi, tanpa karpet merah. Ia datang dengan puisi dan tubuh, lalu merebut ruang. Hari ini, tanpa bisa dibantah, Peri telah menjadi patron penyair generasi kini. Bukan karena ia menciptakan gaya baru, tapi karena ia membakar kembali nyawa puisi yang nyaris padam di tengah dunia sastra yang semakin rapi, steril, dan tidak lagi gelisah.
Ia adalah bukti bahwa puisi bisa lahir dari jalanan, dari debu, dari kesunyian yang dilipat, lalu disampaikan kembali sebagai jeritan. Dan itulah puisi yang paling jujur: bukan yang mencari penghargaan, tapi yang menampar kesadaran.
—
Dari Etalase Jadi Corong Kesadaran
Satu hal yang lebih mencolok dari segalanya adalah ini: ia mengubah media sosial. Bukan lagi sebagai etalase pencitraan, bukan galeri kesenian yang dipoles untuk disukai algoritma, tapi menjadi corong penyebaran wacana kritis. Dalam video-videonya, kita tidak melihat seorang penyair yang sedang cari nama. Kita melihat seorang manusia yang berbicara kepada bangsanya—lantang, jujur, dan tak kenal takut.
Ia membuat orang berhenti scroll, untuk mendengar. Dan itu, di zaman ini, lebih revolusioner daripada demonstrasi di tengah kota. Sebab yang diserangnya bukan hanya institusi, melainkan kelengahan kolektif. Ia menggedor ruang nyaman yang dibangun algoritma. Dan dari situ, muncul ruang-ruang baru yang lebih bebas untuk berbicara.
—
Panggung adalah Medan Perang
Ia tidak naik panggung untuk berlagak. Ia naik panggung seperti orang yang naik ke mimbar kemarahan. Tangannya bergerak bukan karena diajak latihan teater, tapi karena darah yang mengalir dalam tubuhnya tidak tahan disimpan.
Ia bukan selebritas. Ia adalah penyair yang tahu bahwa puisi bisa membakar, dan ia memilih membakar. Sebab terlalu lama kita diam. Terlalu lama kita berpura-pura tidak melihat.
—
Karena Sejarah Tak Pernah Benar-Benar Mati
Yang diperjuangkan Peri bukan popularitas. Ia tidak menjual kata. Ia memanggul beban sejarah, seperti buruh memanggul karung beras di pelabuhan. Berat, tapi harus dijalani. Sebab kalau tidak ada orang seperti dia, negeri ini akan terus dikuasai oleh orang-orang yang pandai berbicara tapi tak pernah peduli pada kebenaran.
Ia tahu betul, bahwa sejarah tidak akan berubah hanya karena kita menolaknya. Dan puisi yang dibawakannya bukan untuk merayu, melainkan untuk mengingatkan: bahwa negeri ini dibangun di atas pengkhianatan yang tak pernah diadili.
Dan bagi mereka yang berpikir bahwa puisi tak bisa berbuat apa-apa, Peri menjawabnya dengan tubuhnya sendiri. Karena kata-kata, ketika jujur, adalah tindakan.
—
Ia Penyair, Tapi Juga Saksi Zaman
Peri Sandi Huizche adalah penyair. Tapi lebih dari itu, ia adalah saksi. Dan di zaman seperti sekarang, menjadi saksi adalah tindakan berani. Sebab banyak orang lebih memilih lupa. Lupa lebih aman. Tapi lupa juga yang membuat kita dipermainkan.
Ia tidak mau lupa. Dan karena itu, kita pun tidak boleh.
Sebab dalam dunia yang gemar berpura-pura damai, kadang satu suara yang jujur lebih berguna dari seribu pidato presiden.
—
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan dari sejarah.”
— Pramoedya Ananta Toer
Kini, Peri menulis—dengan suara, tubuh, dan luka. Dan ia tidak akan hilang. Karena bangsa yang sehat butuh suara-suara semacam itu. Yang bukan menyenangkan, tapi menyadarkan.
Catatan Redaksi
Tulisan ini merupakan catatan kultural yang mencoba memotret figur Peri Sandi Huizche, penyair dan performer yang dalam beberapa tahun terakhir mengguncang lanskap sastra dan seni pertunjukan di Indonesia. Melalui pendekatan khas—antara tubuh, suara, dan puisi yang menyala—Peri bukan sekadar tampil di panggung, melainkan menantang nalar dan kesadaran publik melalui platform yang sering dianggap remeh: media sosial.
Redaksi memuat tulisan ini sebagai upaya untuk mendokumentasikan geliat perlawanan kebudayaan yang lahir dari lapisan bawah, dari ruang-ruang alternatif yang tidak terjamah narasi arus utama. Tulisan ini juga sekaligus menjadi pengingat bahwa dalam sejarah bangsa, selalu ada seniman dan penyair yang bersuara, bukan untuk dikenang, tapi untuk membakar kesadaran.
Be First to Comment