Esai kritis tentang siapa yang menentukan arah peradaban global, dampak sosial budaya yang ditimbulkan, dan siapa yang paling menjadi korban dalam prosesnya.

Perebutan Konsensus Peradaban: Siapa yang Dominan, Siapa yang Dikalahkan?
Di sebuah ruang konferensi yang dipenuhi layar LED dan meja-meja bundar, para pemimpin global berkumpul membicarakan masa depan: iklim, migrasi, teknologi, dan stabilitas dunia. Namun, ada satu hal yang tak secara eksplisit dibahas, tetapi menjadi premis dari semua keputusan itu: apa yang disebut sebagai “peradaban”—dan siapa yang berhak mendefinisikannya. Inilah medan senyap, tapi paling krusial, yang sedang diperebutkan hari ini: konsensus tentang peradaban.
Perebutan ini bukan hanya tentang nilai-nilai, tapi tentang dominasi: siapa yang berhak mendikte arah sejarah manusia, menentukan nilai universal, dan menyusun peta besar tatanan dunia. Konsensus peradaban bukanlah hasil musyawarah umat manusia, melainkan produk tarik-menarik kekuasaan, modal, ideologi, dan kepentingan geopolitik. Dan dalam perebutan ini, mereka yang paling jauh dari pusat suara—masyarakat adat, rakyat kecil, kaum migran, hingga budaya lokal—adalah yang paling terdampak dan menjadi korban.
Warisan “Peradaban” Sebagai Alat Kekuasaan
Konsep “peradaban” telah lama dipakai sebagai pembenaran kolonialisme, ekspansi, dan perang budaya. Edward Said dalam Orientalism mengungkap bagaimana narasi Barat tentang Timur dibangun tidak berdasarkan fakta, melainkan pada fantasi kekuasaan yang ingin mendominasi dan menertibkan “yang lain.” Dalam konteks modern, proses ini terus berjalan dengan wujud yang lebih canggih: teknologi, globalisasi, dan politik identitas.
Antropolog seperti Clifford Geertz pernah mengingatkan, “Manusia adalah binatang yang tergantung pada jejaring makna yang ia rajut sendiri.” Maka ketika jejaring makna itu dipaksakan oleh segelintir kekuatan global—lewat sistem ekonomi neoliberal, standar moral Barat, dan teknologi AI yang mengandung bias nilai tertentu—kita sedang menyaksikan penyeragaman peradaban yang tidak organik.
Menurut Journal of Global Cultural Studies (2023), dominasi narasi global yang dipimpin oleh korporasi teknologi raksasa dan lembaga internasional berimplikasi pada “terpinggirkannya ekspresi kultural lokal dan munculnya perlawanan akar rumput terhadap tatanan simbolik yang dipaksakan.” Dengan kata lain, ini adalah kolonialisme dalam bentuk baru: kolonialisme makna.
Imbas yang Ditimbulkan: Dari Erosi Budaya hingga Krisis Makna
Imbas dari perebutan konsensus ini mencakup berbagai sektor: sosial, politik, budaya, hingga psikologis.
Pertama, erosi budaya. Bahasa-bahasa minor tersingkir. Praktik spiritual tradisional direduksi sebagai “kuno” atau “tidak ilmiah”. Sistem pendidikan mendewakan STEM dan mengikis studi humaniora. Hal ini diperparah dengan intervensi media global yang membentuk persepsi masyarakat dunia tentang apa yang disebut “modern”, “maju”, dan “benar”.
Sosiolog Zygmunt Bauman menyebut kondisi ini sebagai “liquid modernity”, di mana nilai-nilai tak lagi memiliki landasan kuat, dan identitas manusia menjadi cair karena terus-menerus terpapar narasi dominan. Dalam esai di Sociological Review (2022), fenomena ini menyebabkan “disorientasi sosial massal, meningkatnya kecemasan eksistensial, serta krisis kepercayaan terhadap institusi tradisional masyarakat.”
Kedua, politik eksklusi. Negara-negara yang tak mengikuti “standar peradaban global”—baik dalam hal demokrasi, HAM versi Barat, atau liberalisasi ekonomi—sering kali dianggap sebagai negara “bermasalah”. Mereka menjadi target tekanan diplomatik, embargo ekonomi, bahkan intervensi militer terselubung. Peradaban, dalam logika ini, berubah menjadi alat penghakiman.
Ketiga, penggusuran rakyat dari sejarah mereka sendiri. Masyarakat adat, komunitas lokal, dan tradisi spiritual lama kehilangan hak untuk menentukan narasi mereka. Di tempat-tempat seperti Papua, Amazon, atau Tibet, pembangunan atas nama kemajuan kerap mengorbankan ruang hidup, kedaulatan budaya, dan relasi spiritual manusia dengan alam.
Siapa yang Menjadi Korban?
Jawaban ringkasnya: mereka yang tidak memiliki cukup kuasa untuk bersuara.
Dalam jurnal Political Anthropology Quarterly (2024), disebutkan bahwa perebutan konsensus peradaban menciptakan dua kutub: “produsen makna” (negara maju, korporasi, lembaga internasional) dan “konsumen makna” (negara berkembang, komunitas lokal, masyarakat adat). Ketimpangan ini menjadikan rakyat di pinggiran sebagai korban ganda: mereka kehilangan orientasi makna dan dipaksa hidup dalam sistem yang tidak mereka rumuskan sendiri.
Sosiolog Prancis Pierre Bourdieu menyebut ini sebagai “kekerasan simbolik”: bentuk dominasi yang tak kasat mata tapi sangat menghancurkan, ketika yang tertindas menerima tatanan sebagai hal yang natural, padahal itu produk dominasi historis dan struktural.
Tokoh-tokoh seperti Vandana Shiva, aktivis dan pemikir ekofeminisme dari India, mengingatkan bahwa “ketika konsensus peradaban dibangun atas kepentingan kapitalisme global, maka alam dan rakyat kecil adalah dua yang paling pertama dikorbankan.” Kita melihat ini dalam krisis pangan, pemanasan global, dan kehancuran ekosistem lokal atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Apa yang Sedang Kita Hadapi?
Dunia kini tidak hanya sedang menghadapi krisis iklim atau teknologi, tapi krisis epistemologis: krisis tentang bagaimana kita tahu, mengenal, dan menentukan arah hidup bersama. Ketika konsensus peradaban direbut dan direduksi menjadi kebulatan suara dari segelintir elite global, maka demokrasi makna pun mati perlahan.
Profesor Achille Mbembe, pemikir asal Kamerun, dalam kuliah umumnya di Harvard tahun 2021 berkata: “Kita tak sedang berada dalam perang antar budaya, melainkan dalam konflik siapa yang boleh bermimpi untuk dunia.”
Perebutan konsensus peradaban bukan sekadar soal siapa yang menang, tetapi siapa yang disilakan berbicara dan siapa yang dibungkam. Ini tentang siapa yang boleh menulis ulang masa depan, dan siapa yang hanya diberi peran figuran dalam drama besar kemanusiaan.
Penutup: Membuka Ruang Tafsir dan Perlawanan
Esai ini tidak bermaksud menyalahkan pihak tertentu, melainkan menyodorkan fakta bahwa di tengah derasnya arus globalisasi dan teknologi, kita tengah kehilangan kemampuan untuk merumuskan sendiri nilai-nilai dasar sebagai komunitas manusia.
Kita butuh membongkar ulang narasi besar yang dibungkus atas nama kemajuan. Perlu keberanian untuk bertanya ulang: peradaban yang seperti apa yang kita cita-citakan bersama? Siapa yang menulis narasi kemajuan ini? Dan kepada siapa kita harus bertanggung jawab?
Jawaban dari pertanyaan itu akan menentukan apakah kita hidup dalam peradaban yang benar-benar inklusif—atau sekadar menjadi penonton dari pementasan sejarah yang dibajak oleh segelintir aktor kuat.
Seperti yang dikatakan oleh antropolog David Graeber: “The ultimate hidden truth of the world is that it is something we make, and could just as easily make differently.”
Dan untuk itu, kita perlu merebut kembali hak untuk bermakna.
Be First to Comment