Esai
Apa bedanya negara dan bangsa dalam konteks Indonesia? Artikel ini mengulas secara kritis posisi rakyat, makna kebangsaan, serta relevansi gerakan sosial dan kebersamaan sebagai inti dari Indonesia yang adil dan berpihak pada rakyat.
Indonesia: Antara Negara, Bangsa, dan Alasan Kita Tetap Bersama
Kita sering mendengar kata “Indonesia” diucapkan di berbagai konteks—di pidato-pidato, di spanduk pemilu, di buku pelajaran, sampai di berita tentang demonstrasi atau bencana. Tapi apakah kita benar-benar paham apa itu Indonesia? Apakah Indonesia itu sebuah negara, atau sebuah bangsa? Atau dua-duanya?
Apa bedanya “negara Indonesia” dan “bangsa Indonesia”? Dan di tengah carut-marut politik, konflik identitas, dan jurang sosial yang makin dalam, masih adakah alasan kita untuk tetap menyatu sebagai sebuah bangsa?
Tulisan ini mencoba membedah persoalan itu secara jujur dan terbuka, dengan mengajak kita semua—rakyat biasa, mahasiswa, aktivis, pekerja, siapa saja—untuk merenungkan kembali apa sebenarnya makna Indonesia, dan mengapa kita masih perlu merawat rasa kebersamaan ini.
Negara Itu Apa Sih?
Negara, secara sederhana, adalah organisasi besar yang mengatur kehidupan masyarakat dalam wilayah tertentu. Di dalamnya ada pemerintah, aparat, lembaga hukum, birokrasi, dan seterusnya. Negara punya kekuasaan untuk membuat aturan, menindak pelanggaran, memungut pajak, dan mengatur sistem pendidikan, kesehatan, dan lainnya.
Tapi dalam praktiknya, kita sering melihat negara justru menjadi sesuatu yang jauh dari rakyat. Alih-alih mengayomi, negara malah terasa seperti “penguasa” yang lebih sibuk mengurus dirinya sendiri ketimbang melayani rakyat. Kita lihat birokrasi yang ribet, layanan publik yang tak merata, korupsi yang mengakar, sampai tindakan aparat yang kadang represif.
Jadi, meski negara seharusnya hadir untuk rakyat, sering kali ia malah terasa seperti alat kekuasaan yang tak berpihak pada kita. Negara seharusnya kita, tapi malah jadi mereka.
Lalu, Bangsa Itu Apa?
Berbeda dari negara yang punya struktur formal, bangsa adalah rasa kebersamaan. Bangsa adalah tentang kesadaran kita bahwa kita hidup bersama sebagai satu komunitas yang punya sejarah, harapan, dan masa depan yang ingin kita perjuangkan bersama.
Bangsa tidak selalu tampak secara fisik. Ia lebih seperti rasa. Rasa bahwa meski kita berbeda suku, agama, bahasa, atau warna kulit—kita tetap bisa saling percaya dan saling peduli.
Kalau negara adalah mesin birokrasi dan hukum, bangsa adalah jalinan rasa antara manusia. Dan bangsa Indonesia lahir bukan hanya dari perjuangan melawan penjajah, tapi juga dari keputusan bersama bahwa kita ingin hidup berdampingan, dalam perbedaan yang setara.
Indonesia: Negara dan Bangsa yang Tidak Selalu Sepaham
Indonesia secara formal adalah sebuah negara—punya konstitusi, presiden, DPR, dan seterusnya. Tapi sebagai bangsa, Indonesia adalah ruang sosial yang lebih luas dan lebih rumit. Masalahnya, dua hal ini sering tidak sejalan.
Kita melihat misalnya, negara mengaku mewakili rakyat, tapi malah menyakiti rakyat sendiri. Demonstrasi mahasiswa dibubarkan paksa. Warga kecil digusur tanpa solusi. Alam dieksploitasi demi investor. Ketika negara tak berpihak pada rakyat, apakah ia masih pantas mengatasnamakan bangsa?
Padahal bangsa Indonesia adalah rakyat itu sendiri—bukan hanya elite yang duduk di kursi kekuasaan.
Di Mana Posisi Rakyat?
Rakyat, seharusnya adalah pemeran utama dalam cerita tentang negara dan bangsa. Tapi nyatanya, rakyat sering hanya dijadikan alat. Dijadikan objek pembangunan, komoditas politik, bahkan tameng untuk kebijakan yang tak mereka pahami.
Rakyat tidak ikut menyusun kebijakan, tapi harus patuh pada aturan yang dibuat dari ruang-ruang kekuasaan yang jauh dari kehidupan sehari-hari mereka.
Padahal rakyat punya nilai, punya budaya, punya cara hidup, dan punya kearifan lokal yang jauh lebih peka terhadap lingkungan sekitar. Tapi negara modern sering menyingkirkan itu semua demi logika pasar, demi keuntungan ekonomi, demi investasi.
Sosiolog seperti Pierre Bourdieu menyebut ini sebagai penyingkiran modal simbolik rakyat—nilai-nilai budaya dan sosial yang dianggap tidak penting oleh negara yang terlalu teknokratis.
Lalu, Kenapa Kita Masih Perlu Bersatu Sebagai Bangsa?
Pertanyaan ini sangat penting, terutama ketika kita makin sering melihat perpecahan—baik karena politik, agama, suku, bahkan pilihan hidup.
Jawaban paling jujur dan sederhana adalah: karena kita saling membutuhkan.
Karena tak ada manusia yang bisa hidup sendirian. Karena hidup dalam masyarakat berarti hidup dalam hubungan, dalam saling percaya, dalam saling membantu. Karena kalau kita tercerai-berai, yang akan diuntungkan hanya mereka yang ingin menguasai.
Bangsa bukan hanya tentang simbol—bendera, lagu, upacara. Tapi tentang nilai-nilai kepercayaan antar sesama warga. Bahwa kita bisa hidup bersama, saling menjaga, dan saling memperjuangkan keadilan.
Menjadi Bangsa Adalah Pilihan Budaya
Bangsa bukan sesuatu yang kita warisi begitu saja. Menjadi bangsa adalah pilihan yang terus-menerus. Kita memilih untuk menjadi bangsa Indonesia setiap kali kita membantu tetangga, memperjuangkan nasib buruh, merawat budaya lokal, atau menolak ketidakadilan.
Dalam filsafat kultural, bangsa bukan sesuatu yang “jadi”—tapi sesuatu yang diciptakan bersama, lewat narasi, lewat praktik hidup, lewat perjuangan sehari-hari.
Dan inilah yang disebut kebangsaan dari bawah. Bukan nasionalisme yang dibangun oleh pemerintah lewat slogan dan seremoni, tapi kebangsaan yang tumbuh dari rakyat—dari warung, dari sawah, dari kampus, dari jalanan.
Indonesia Ada Karena Kita Masih Percaya Satu Sama Lain
Kalau kita bertanya, apa yang membuat Indonesia tetap ada hari ini? Jawabannya bukan karena negara kuat, tapi karena masih banyak orang yang mau peduli. Karena di balik semua kerusakan, masih ada harapan. Karena kita masih percaya bahwa tetangga kita bukan musuh. Bahwa kita bisa duduk bersama meski berbeda pilihan politik.
Core value dari bangsa Indonesia bukan nasionalisme yang bising, tapi rasa percaya antar manusia. Percaya bahwa hidup bersama lebih baik daripada hidup sendiri. Percaya bahwa perjuangan kita belum selesai.
Jadi, meskipun negara kadang mengecewakan, meskipun sistem sering tak berpihak pada rakyat—menjadi bangsa tetap penting. Karena hanya dengan kebersamaan, kita bisa melawan ketidakadilan. Dan karena hanya lewat rasa percaya itu, kita bisa terus menjaga harapan akan Indonesia yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih berpihak pada rakyat.
“Menjadi bangsa bukan soal garis batas, tapi soal kesediaan untuk saling berbagi nasib dan perjuangan.”
— Narrative Readout
Kebangsaan dari Bawah dan Relevansi Gerakan Sosial Rakyat
Di tengah kejumudan nasionalisme seremonial yang didorong dari atas—lewat jargon-jargon resmi, slogan kosong, dan acara formalitas—muncullah yang disebut oleh banyak pemikir kritis sebagai “kebangsaan dari bawah” (grassroots nationalism). Ini adalah bentuk kesadaran kebangsaan yang lahir bukan dari pidato pejabat, tapi dari praktik solidaritas di antara rakyat kecil.
Apa bentuknya? Kita bisa melihatnya dalam banyak contoh di Indonesia hari ini.
Saat petani dari Kendeng menolak pabrik semen karena merusak tanah dan air mereka, lalu mereka menyemen kaki di depan istana—itu bukan hanya protes lingkungan. Itu adalah gerakan kebangsaan, karena mereka sedang mempertahankan ruang hidup yang adil untuk semua.
Saat nelayan di pesisir utara menolak reklamasi karena menghancurkan laut tempat mereka bergantung, mereka sedang memperjuangkan hak atas tanah air—secara harfiah.
Ketika para pekerja, buruh pabrik, dan sopir ojek daring menuntut upah layak dan perlindungan kerja, mereka sedang menyuarakan gagasan tentang Indonesia yang tak hanya berpihak pada investor, tapi juga pada rakyat pekerja.
Semua ini adalah bentuk nyata dari kebangsaan yang hidup dan bergerak. Bukan nasionalisme simbolik, tapi nasionalisme yang punya isi: keadilan, solidaritas, dan pembelaan terhadap hak hidup.
Gerakan Sosial Rakyat Sebagai Penjaga Nilai Bangsa
Gerakan sosial rakyat, dari yang kecil sampai yang besar, dari yang lokal sampai yang nasional, berperan penting dalam menjaga nilai-nilai bangsa. Mereka sering kali menjadi pihak yang pertama merespons ketidakadilan, jauh sebelum pemerintah turun tangan.
Mereka adalah penjaga moral bangsa yang sesungguhnya. Mereka memperjuangkan kebenaran ketika sistem hukum tak berpihak. Mereka mengorganisasi bantuan saat negara lambat bergerak. Mereka menciptakan ruang pendidikan alternatif, koperasi rakyat, komunitas seni jalanan, dan forum diskusi independen yang justru menjadi denyut hidup bangsa itu sendiri.
Kebangsaan dari bawah adalah bentuk perlawanan terhadap upaya pemiskinan makna bangsa yang hanya dikaitkan dengan proyek infrastruktur atau kemajuan ekonomi formal. Kebangsaan dari bawah menekankan bahwa bangsa yang kuat bukan dilihat dari pencakar langitnya, tapi dari kekuatan masyarakatnya saling percaya dan saling menjaga.
Kebangsaan Bukan Tentang Menyamakan, Tapi Menyatukan
Salah satu kesalahan terbesar dari nasionalisme versi penguasa adalah menganggap bahwa semua orang harus seragam agar bisa disebut satu bangsa. Ini keliru. Kita tidak perlu diseragamkan untuk bersatu. Justru kekuatan bangsa Indonesia terletak pada kemampuan kita untuk menyatukan perbedaan, bukan menghapusnya.
Kebangsaan dari bawah tidak takut pada keberagaman. Ia justru hidup dari keberagaman itu. Dalam komunitas rakyat, kita bisa menemukan beragam budaya hidup berdampingan tanpa perlu diawasi aparat atau diatur undang-undang.
Inilah yang sering tidak dipahami oleh elite negara. Mereka ingin menyatukan Indonesia lewat penyeragaman ideologi dan proyek pembangunan. Padahal yang rakyat butuhkan adalah kesetaraan akses, ruang partisipasi, dan jaminan keadilan—bukan pemaksaan satu cara hidup.
Menjadi Bangsa Lewat Tindakan, Bukan Hanya Kata-Kata
Akhirnya, menjadi bangsa tidak cukup hanya dengan menyebut diri “warga negara Indonesia”. Bangsa bukan status administratif, melainkan proyek yang hidup. Ia dibentuk lewat tindakan nyata setiap hari—dari gotong royong di kampung, sampai aksi protes di jalan.
Setiap kali kita membela mereka yang tertindas, setiap kali kita menolak ketidakadilan meski bukan kita yang kena dampaknya, kita sedang merawat Indonesia sebagai bangsa.
Dan setiap kali kita memilih untuk diam, membiarkan sesama rakyat dianiaya, atau sibuk mempertahankan kenyamanan sendiri, kita sedang membiarkan kebangsaan itu runtuh perlahan.
Penutup: Bangsa Ini Bertahan Karena Gerakan Sosial, Bukan Hanya Pemerintah
Indonesia adalah negara yang besar bukan karena kekuasaan presidennya, tapi karena rakyatnya yang terus bergerak, yang tak mau diam ketika nilai-nilai hidup bersama dirusak. Mereka yang merawat kebudayaan lokal, mereka yang memperjuangkan hak tanah, mereka yang membuka dapur umum saat bencana, mereka yang mengajar anak-anak di kampung terpencil tanpa bantuan negara—merekalah wajah sejati bangsa ini.
Kita masih perlu bersama sebagai bangsa bukan karena diwajibkan undang-undang. Tapi karena saling percaya dan saling peduli adalah satu-satunya cara kita bertahan hidup bersama.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani melihat dirinya secara jujur. Dan kita—dengan segala luka, kekurangan, dan harapan—masih punya kesempatan untuk menjadikan Indonesia bukan hanya sebuah negara, tapi benar-benar sebuah bangsa.
“Selama rakyat masih saling menggenggam tangan di tengah reruntuhan keadilan, selama itu pula Indonesia masih punya harapan sebagai bangsa.”
— Narrative Readout
Be First to Comment