kolom opini

Pasar tradisional bukan sekadar tempat transaksi ekonomi, melainkan ruang sosial, budaya, dan simbol perlawanan rakyat terhadap hegemoni kapitalisme modern. Di tengah gempuran ritel modern, e-commerce, dan ekspansi bisnis besar yang menggurita, pasar tradisional tetap berdiri sebagai entitas yang merepresentasikan daya tahan ekonomi kerakyatan. Namun, pertanyaannya adalah: sampai kapan benteng ini mampu bertahan?
Pasar Tradisional vs. Kapitalisme Modern
Sejak kapitalisme semakin merasuk ke berbagai sendi kehidupan, pasar tradisional mengalami tekanan luar biasa. Supermarket, minimarket berjaringan, hingga platform e-commerce menggiring masyarakat pada pola konsumsi instan dan serba praktis. Dalih efisiensi dan kemajuan teknologi dijadikan alasan untuk mendorong transisi dari pasar rakyat ke model perdagangan yang dikendalikan oleh segelintir pemodal besar.
Karl Marx dalam Das Kapital menjelaskan bagaimana kapitalisme beroperasi dengan cara mengonsentrasi kekayaan dan alat produksi ke tangan segelintir elite, sementara mayoritas proletariat dipaksa bergantung pada sistem yang mengeksploitasi tenaga mereka. Dalam konteks ini, pasar tradisional merupakan salah satu sisa ruang ekonomi di mana rakyat masih memiliki kontrol atas produksi dan distribusi. Namun, kapitalisme selalu mencari cara untuk menghancurkan bentuk-bentuk ekonomi yang tidak menguntungkan modal besar.
Pasar tradisional tidak hanya harus bersaing dengan ritel modern yang memiliki modal besar, tetapi juga menghadapi kebijakan yang sering kali tidak berpihak kepada mereka. Banyak pemerintah daerah lebih tertarik mendukung investasi besar ketimbang memperkuat ekosistem pasar rakyat. Regulasi terkait zonasi pasar modern kerap diabaikan, memungkinkan minimarket dan supermarket tumbuh subur hingga mengepung pasar tradisional dan melemahkan daya saingnya.
Ironisnya, meski pasar tradisional masih menjadi sandaran ekonomi sebagian besar masyarakat kelas bawah dan menengah, keberadaannya terus tergerus oleh mekanisme pasar yang didesain untuk menguntungkan modal besar. Tidak jarang, revitalisasi pasar justru menjadi dalih penggusuran, di mana para pedagang lama kehilangan lapak mereka atau dipaksa membayar biaya sewa yang jauh lebih tinggi pasca-renovasi.
Ketahanan Ekonomi Rakyat dan Perlawanan Senyap
Di balik keterpurukan yang terus menghantui, pasar tradisional tetap menjadi benteng terakhir perlawanan rakyat terhadap sistem ekonomi yang menindas. Dalam ruang pasar, hubungan antara pedagang dan pembeli tidak sekadar transaksi jual beli, melainkan bentuk solidaritas ekonomi yang berbasis komunitas. Tidak seperti ritel modern yang hanya mengenal sistem harga tetap, di pasar tradisional masih ada ruang untuk tawar-menawar, interaksi sosial, dan fleksibilitas harga yang memungkinkan masyarakat kecil tetap bisa memenuhi kebutuhan mereka.
Ketahanan pasar tradisional juga terletak pada sistem distribusi yang lebih mandiri. Produk yang dijual di pasar tradisional sebagian besar berasal dari petani, nelayan, dan produsen lokal yang tidak terjerat dalam rantai pasokan panjang yang dikendalikan oleh korporasi. Dalam konteks ini, pasar tradisional menjadi titik penting dalam mempertahankan kedaulatan pangan dan ekonomi lokal, sesuatu yang semakin sulit diwujudkan dalam sistem perdagangan yang semakin sentralistik dan berbasis korporasi.
Namun, perlawanan yang dilakukan oleh pasar tradisional bukanlah perlawanan frontal. Ia bergerak dalam bentuk ketahanan ekonomi berbasis rakyat, keengganan untuk tunduk sepenuhnya pada mekanisme ekonomi neoliberal, dan upaya mempertahankan sistem distribusi yang lebih adil bagi masyarakat kecil.
Antonio Gramsci dalam konsep hegemoni menjelaskan bagaimana kelas penguasa tidak hanya mengontrol ekonomi, tetapi juga membentuk kesadaran masyarakat agar menerima sistem yang ada sebagai sesuatu yang alamiah dan tidak terhindarkan. Dalam konteks pasar tradisional, hegemoni ini terlihat dari bagaimana masyarakat mulai didorong untuk menganggap bahwa ritel modern dan e-commerce adalah bagian dari “kemajuan” yang harus diterima. Padahal, di baliknya, terdapat kepentingan modal besar yang ingin menyingkirkan bentuk ekonomi rakyat yang lebih mandiri.
Masa Depan Pasar Tradisional: Bertahan atau Hilang?
Jika melihat tren saat ini, masa depan pasar tradisional berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, tekanan dari kapitalisme modern semakin kuat, memaksa banyak pasar rakyat untuk bertahan dalam kondisi yang semakin tidak menguntungkan. Di sisi lain, kesadaran akan pentingnya ekonomi berbasis komunitas mulai tumbuh, mendorong beberapa inisiatif untuk menghidupkan kembali pasar tradisional dengan pendekatan yang lebih adaptif.
Beberapa upaya telah dilakukan untuk mempertahankan pasar tradisional, seperti digitalisasi sistem perdagangan, penguatan koperasi pedagang, dan regulasi yang lebih ketat terhadap ekspansi ritel modern. Namun, semua ini belum cukup jika tidak ada keberpihakan nyata dari kebijakan pemerintah yang benar-benar melindungi pasar rakyat.
Pada akhirnya, apakah pasar tradisional mampu bertahan atau akan hilang tergantung pada kesadaran kolektif masyarakat dalam mendukungnya. Jika rakyat membiarkan pasar tradisional mati, itu berarti kita juga membiarkan ekonomi lokal dan kemandirian ekonomi rakyat tergerus oleh kepentingan korporasi.
Pasar tradisional adalah benteng terakhir perlawanan rakyat—bukan hanya dalam arti ekonomi, tetapi juga dalam mempertahankan identitas sosial, budaya, dan nilai-nilai solidaritas yang semakin langka di era kapitalisme modern. Jika benteng ini runtuh, bukan hanya pedagang kecil yang kalah, tetapi seluruh masyarakat akan kehilangan salah satu pijakan terakhir mereka dalam menghadapi sistem yang semakin tidak adil.
Be First to Comment