Citizen
Karya Buroq dari Nasirun hadir di Artsubs Surabaya selama satu bulan. Saksikan tafsir spiritual dan estetika Nusantara di Balai Pemuda.
Buroq Nasirun di Artsubs Surabaya: Pameran Seni Mistis di Balai Pemuda
Di antara gegap gempita lanskap seni rupa Indonesia, Nasirun hadir bukan sekadar sebagai pelukis, melainkan sebagai penafsir spiritual zaman. Karyanya bertajuk Buroq yang kini tengah terpajang di galeri Artsubs—sebuah ruang eksperimental di Balai Pemuda Surabaya—mengundang pengunjung untuk tidak sekadar melihat, melainkan merenung. Dengan karakter visual yang khas, simbolik dan sarat makna, karya ini menghadirkan pertemuan antara mitologi dan perenungan personal. Selama sebulan ke depan, Buroq seakan menjadi wahana kontemplatif yang membuka pintu menuju pemahaman batin yang lebih dalam atas realitas dan kepercayaan.
Dalam dunia seni rupa kontemporer yang kerap menyandingkan antara kebaruan bentuk dan kedalaman makna, sebuah patung kayu berjudul Buroq tampil mencolok. Bukan karena ukurannya yang monumental atau bahan bakunya yang langka, melainkan karena kekayaan simbolik yang tersemat dalam setiap detailnya. Patung ini seolah menjadi kitab terbuka yang menunggu untuk dibaca oleh mata yang peka, hati yang terbuka, dan pikiran yang sedia untuk menafsirkan. Dalam wujudnya, ia menampung lintasan spiritual, nilai budaya, hingga etika hidup yang bersumber dari ranah simbolis Timur—sebuah pengingat bahwa tubuh karya seni dapat menjadi wahana perenungan hidup itu sendiri.
Harpa dan Kepala: Harmoni Internal-External

Salah satu elemen paling mencolok dalam patung Buroq adalah keberadaan harpa di bagian depan, dengan sebuah kepala manusia terletak tepat di atasnya. Simbol ini memunculkan tafsir berlapis yang menarik. Harpa, sebagai alat musik, adalah metafora klasik bagi harmoni. Nada yang dihasilkannya hanya mungkin tercipta ketika senar-senar yang berbeda dapat bekerja selaras dalam tegangan yang seimbang. Kepala yang berada di atas harpa lalu menjadi penanda kesadaran. Dengan kata lain, manusia hanya dapat mencapai laku diri—sebuah istilah Jawa yang merujuk pada perjalanan spiritual atau pembentukan karakter melalui kesadaran—ketika ia mampu menyelaraskan aspek eksternal dan internal dari dirinya.
Dalam interpretasi ini, harpa adalah dunia luar: relasi sosial, lingkungan, tekanan budaya. Sementara kepala adalah dunia dalam: akal, rasa, dan intuisi. Kedua dunia ini, yang kerap berjarak atau bahkan berbenturan dalam kehidupan modern yang gaduh, justru harus dijahit dalam satu keselarasan. Jika tidak, suara hidup akan terdengar sumbang.
Semar dan Ekor: Kearifan Sebagai Akar

Menuju bagian belakang patung, tepat sebelum ekor, terdapat sosok Semar. Bagi masyarakat Jawa, Semar bukan sekadar tokoh dalam wayang. Ia adalah manifestasi dari kesempurnaan batin: seorang abdi yang arif, jenaka, sekaligus pemilik kecerdasan spiritual yang tinggi. Menarik bahwa Semar diletakkan di bagian belakang, seakan menjadi pondasi atau pendorong dari keseluruhan gerak patung. Tafsir ini dapat digali sebagai penegasan bahwa dalam menjalani kehidupan, manusia membutuhkan dasar yang kokoh: akal sehat, keluhuran budi, dan ketenangan jiwa.
Semar adalah sosok yang tak mencari sorotan, tapi justru menopang semuanya dari balik layar. Ia menjadi simbol bahwa kebijaksanaan sejati seringkali tidak bersuara nyaring, tapi justru hadir dalam keheningan dan sikap. Penempatan Semar di belakang patung mengisyaratkan bahwa segala bentuk gerak manusia harus dituntun oleh prinsip moral yang dalam dan tidak tergoyahkan.
Sepatu dan Kaki Kuda: Simbol Kesiapan Melangkah

Unsur mencolok lain dari patung Buroq ini adalah keberadaan empat sepatu pada kaki kudanya. Namun, sepatu-sepatu itu bukanlah sepatu kuda lazim yang bersifat fungsional dan keras. Bentuknya lebih menyerupai sepatu manusia—bahkan dengan desain mewah yang nyaris teatrikal. Ini adalah satu ironi visual yang membuka ruang tafsir.
Sepatu adalah simbol perjalanan. Dalam mitologi, sepatu sering kali menandakan kesiapan untuk melangkah, berpindah, dan menempuh jarak. Dengan menyematkan sepatu manusia pada kaki Buroq, sang pematung seolah ingin menyampaikan bahwa perjalanan manusia bukanlah soal jasmani semata, melainkan juga perjalanan batin dan eksistensial. Sepatu ini, dalam konteks ini, adalah kesiapan untuk berjalan di atas jalan hidup yang kadang tidak rata, penuh tikungan, bahkan mungkin tidak memiliki peta.
Desain mewah pada sepatu ini juga bisa ditafsirkan sebagai ironi terhadap kemewahan semu yang kerap kita kejar. Barangkali sang seniman ingin mengingatkan bahwa sepatu yang indah tidak menjamin arah langkah yang benar.
Tubuh dan Ornamen: Simbol Perpaduan Budaya

Ketika kita mengamati permukaan tubuh patung ini, kita akan menemukan ukiran-ukiran yang menyerupai motif batik. Ornamen-ornamen ini merentang dari kepala hingga ke ekor, menandai tubuh Buroq sebagai kanvas dari warisan kebudayaan Jawa. Namun, di sisi lain, keseluruhan sosok patung adalah penggambaran dari makhluk mitologis dalam Islam: Buroq.
Di sinilah kita melihat kekuatan seni dalam menjembatani dua dunia simbolik—Jawa dan Islam—dalam satu tubuh. Buroq sebagai entitas spiritual yang mengangkut Nabi Muhammad dalam perjalanan Isra’ Mi’raj, adalah kendaraan yang bukan hanya menembus ruang fisik, tetapi juga ruang spiritualitas. Perpaduan ini membuka tafsir bahwa identitas tidak pernah tunggal. Ia adalah hasil dari pertemuan antara yang lokal dan yang transenden, antara tanah dan langit.
Motif batik sebagai simbol kearifan lokal Jawa menyatu dengan sosok Buroq yang mengakar dalam Islam, menghasilkan sebuah narasi yang mempertemukan kebudayaan tanpa saling menaklukkan. Dalam hal ini, tubuh patung adalah narasi dialogis.
Buroq dalam Mitologi: Kendaraan Pencerahan
Dalam khazanah Islam, Buroq adalah makhluk cahaya yang dikisahkan membawa Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dalam perjalanan Isra’, lalu naik ke Sidratul Muntaha dalam perjalanan Mi’raj. Sosok ini digambarkan memiliki tubuh menyerupai kuda bersayap, dan wajah menyerupai manusia. Namun, lebih dari sekadar makhluk gaib, Buroq dalam makna esoterik adalah simbol dari kendaraan pencerahan.
Makna ini bertaut erat dengan interpretasi filosofis: bahwa perjalanan spiritual manusia bukanlah mungkin tanpa kendaraan—yang dalam hal ini bisa berupa akal budi, keselarasan batin, dan etika hidup. Maka, ketika pada patung ini kita menemukan seorang manusia yang berada di punggung Buroq, itu adalah penggambaran puitik bahwa manusia menunggangi harmoni, menapaki jalan hidup dengan akal budi sebagai tunggangan, bukan nafsu atau ambisi.
Dalam filsafat sufi, Buroq bahkan dianggap sebagai metafora dari jiwa yang tercerahkan—jiwa yang tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu duniawi, karena ia telah menyeberang ke dimensi batiniah yang lebih dalam. Dengan demikian, sosok manusia yang duduk di atas punggung patung ini adalah kita sendiri, yang sedang (atau seharusnya sedang) menempuh perjalanan menuju makna kehidupan yang lebih esensial.
Tafsir Keseluruhan: Seni sebagai Laku Hidup
Jika kita merangkum seluruh simbol dan elemen yang terkandung dalam patung kayu Buroq ini, kita akan menemukan satu benang merah: bahwa seni bukan sekadar objek visual, tetapi ajakan untuk memahami hidup. Harpa dan kepala mengajarkan kita pentingnya harmoni antara dunia dalam dan luar. Semar mengingatkan tentang ketenangan dan kebijaksanaan. Sepatu manusia pada kaki kuda memberi pesan bahwa setiap langkah kita harus disadari. Motif batik dan sosok Buroq menyiratkan bahwa identitas kita lahir dari perpaduan budaya, bukan sekadar warisan.
Sosok manusia di atas Buroq lalu menjadi kesimpulan dari semua itu: bahwa manusia adalah pengelana, dan hidup adalah perjalanan spiritual yang memerlukan tunggangan akal, rasa, etika, dan budaya. Patung ini, dengan kata lain, adalah peta hidup yang diukir dalam bentuk visual.
Dalam dunia yang kini dikuasai oleh kebisingan visual tanpa kedalaman makna, kehadiran patung seperti Buroq adalah anomali yang menyejukkan. Ia tak berteriak, tapi berbicara pelan pada siapa pun yang mau diam dan mendengarkan.
Penutup: Tafsir yang Tak Pernah Usai
Dalam dunia seni rupa, makna tidak pernah bersifat final. Setiap mata yang memandang membawa konteks dan tafsirnya masing-masing. Namun, justru di sanalah kekayaan seni hidup: dalam ketakberhentiannya untuk dimaknai. Patung kayu Buroq ini, dalam segala keheningan dan kerumitannya, adalah ajakan untuk kembali bertanya pada diri: Apakah kita masih menunggangi akal dan kebijaksanaan dalam perjalanan hidup ini, ataukah telah terlena oleh sepatu mewah yang tak tahu arah?
Be First to Comment