kolom opini

Negara Mereduksi Makna Kemerdekaan Hanya Sekedar Seremonial Tahunan dan Historisme Kepahlawanan
Kemerdekaan seharusnya menjadi ruang bagi rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, bebas dari segala bentuk dominasi politik maupun ekonomi yang menindas. Namun, dalam praktiknya, makna kemerdekaan telah direduksi oleh negara menjadi sekadar ritual tahunan dan glorifikasi historis yang jauh dari realitas sosial. Perayaan kemerdekaan lebih banyak berisi upacara seremonial, pidato-pidato kosong, dan parade militer, sementara substansi kemerdekaan dalam kehidupan rakyat terus diabaikan.
Makna Kemerdekaan yang Digerus oleh Seremoni
Setiap tahun, peringatan Hari Kemerdekaan dipenuhi dengan kegiatan-kegiatan seremonial yang terkesan lebih seperti formalitas daripada refleksi kritis terhadap kondisi bangsa. Upacara bendera, lomba-lomba perayaan, dan orasi pejabat menjadi bagian utama dari ritual tahunan ini. Sementara itu, rakyat dihadapkan pada realitas kemiskinan, ketimpangan ekonomi, represi kebebasan berpendapat, dan eksploitasi tenaga kerja yang terus berlanjut tanpa solusi konkret dari negara.
Noam Chomsky pernah menyatakan, “The smart way to keep people passive and obedient is to strictly limit the spectrum of acceptable opinion, but allow very lively debate within that spectrum.” Negara melakukan ini dengan mereduksi perdebatan tentang kemerdekaan ke dalam batas-batas historis dan patriotisme sempit, tanpa membuka ruang diskusi tentang bagaimana kemerdekaan seharusnya diterjemahkan ke dalam kebijakan sosial, ekonomi, dan politik yang nyata.
Historisme Kepahlawanan sebagai Alat Kontrol
Salah satu strategi yang digunakan negara untuk mereduksi makna kemerdekaan adalah glorifikasi kepahlawanan masa lalu. Kisah perjuangan para pahlawan dijadikan narasi utama dalam peringatan kemerdekaan, tetapi sering kali tanpa analisis kritis terhadap bagaimana warisan perjuangan tersebut relevan dalam menghadapi tantangan kontemporer.
Narasi ini juga dijadikan alat kontrol sosial: rakyat didorong untuk “menghormati perjuangan para pahlawan” dengan kepatuhan terhadap negara, bukan dengan membangun pemikiran kritis atau memperjuangkan keadilan sosial. Dalam konteks ini, kemerdekaan tidak lagi menjadi gagasan yang hidup dan berkembang, tetapi sekadar doktrin statis yang digunakan untuk menenangkan rakyat.
Ketimpangan Sosial: Bukti Kemerdekaan yang Semu
Jika kemerdekaan benar-benar bermakna, seharusnya negara memastikan bahwa rakyatnya memiliki akses terhadap kesejahteraan, pendidikan berkualitas, dan kebebasan politik. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya:
- Ketimpangan ekonomi semakin melebar, di mana segelintir elite ekonomi menguasai sebagian besar sumber daya, sementara mayoritas rakyat terjebak dalam pekerjaan dengan upah minim.
- Kebijakan ekonomi lebih menguntungkan investasi asing dan korporasi besar daripada memberdayakan usaha rakyat kecil.
- Kebebasan berekspresi semakin dibatasi melalui regulasi yang represif, membungkam kritik terhadap pemerintah dengan dalih menjaga stabilitas nasional.
Keadaan ini menunjukkan bahwa kemerdekaan belum benar-benar menjadi hak milik rakyat. Negara terus mempertahankan ilusi kemerdekaan melalui seremoni dan simbolisme, sementara substansi kebebasan sejati tetap dikendalikan oleh kekuatan politik dan ekonomi yang dominan.
Menafsirkan Kembali Kemerdekaan
Jika ingin mengembalikan makna kemerdekaan yang sejati, maka rakyat harus menolak untuk sekadar menjadi penonton dalam ritual tahunan yang tidak membawa perubahan. Kemerdekaan harus diterjemahkan ke dalam kebijakan yang membebaskan rakyat dari eksploitasi ekonomi, penindasan politik, dan dominasi budaya yang membatasi kebebasan berpikir.
Seperti yang dikatakan Chomsky, “If we don’t believe in freedom of expression for people we despise, we don’t believe in it at all.” Kemerdekaan sejati bukan hanya tentang mengenang sejarah, tetapi juga tentang memastikan bahwa setiap individu memiliki hak untuk menyuarakan pendapatnya tanpa takut direpresi.
Negara harus bertanggung jawab atas janji-janji kemerdekaan yang telah lama dikhianati. Tanpa itu, kemerdekaan hanya akan terus menjadi mitos yang disajikan dalam seremoni megah, sementara realitasnya tetap penuh dengan ketidakadilan.
Be First to Comment