Negara menjual tanah kepada investor asing demi investasi, namun mengabaikan kehancuran lingkungan, konflik sosial, dan hilangnya hak masyarakat adat. Baca ulasan kritis dan datanya di sini.

Negara Menjual Tanahnya Sendiri: Dampak Tambang, Konflik Sosial & Krisis Ekologis di Indonesia
Tanah air adalah ibu. Ia tidak hanya pijakan fisik, tetapi juga ruang batin tempat budaya, memori, dan peradaban ditanam dan tumbuh. Namun, di negeri ini, tanah air semakin lama semakin diperlakukan seperti barang dagangan. Negara, sebagai pengelola mandat konstitusional atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, alih-alih menjaga dan melindungi, justru menjualnya kepada pihak asing maupun korporasi lokal demi ilusi pertumbuhan ekonomi. Tanah, dalam metafora kritis ini, telah dilacurkan.
Proses pelacuran tanah ini tidak terjadi dalam satu malam. Ia merupakan akumulasi dari kebijakan yang secara sistemik menyingkirkan nilai-nilai ekologis, kearifan lokal, dan hak-hak rakyat kecil. Negara membungkusnya dengan jargon kemajuan dan pembangunan, padahal pada hakikatnya hanya memindahkan akses dan kendali atas sumber daya dari rakyat ke segelintir elite dan investor.
Menurut data Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), hingga 2023 terdapat lebih dari 8.500 izin tambang yang aktif di seluruh Indonesia, mencakup 44% dari luas daratan nasional. Di Kalimantan Timur saja, lebih dari 50% wilayahnya telah dikapling untuk konsesi tambang batu bara. Desa-desa dikepung lubang tambang, sungai tercemar, dan hutan-hutan adat ditebang tanpa restu warga. Polusi udara dan air bukan lagi ancaman, melainkan kenyataan sehari-hari. Namun, negara tetap abai, seolah-olah penderitaan rakyat bukan harga yang mahal untuk dibayar demi ‘investasi’.
Kerusakan ekologis hanyalah satu sisi dari dampak kebijakan ini. Sisi lainnya adalah disintegrasi sosial dan penghancuran budaya lokal. Di Bangkal, Kalimantan Tengah, konflik antara warga dan perusahaan sawit PT Hamparan Masawit Bangun Persada I berujung pada penembakan warga oleh aparat. Di Wadas, Purworejo, warga yang mempertahankan tanah leluhur mereka dari tambang andesit ditangkap, diintimidasi, dan dilabeli sebagai pengganggu pembangunan. Konflik-konflik ini bukan anomali, melainkan konsekuensi langsung dari model pembangunan yang rakus dan tidak demokratis.
Negara tampak kehilangan kemampuan untuk menengahi antara kepentingan ekonomi dan nilai-nilai kehidupan. Pembangunan selalu diasumsikan sebagai infrastruktur dan pertumbuhan angka, bukan sebagai perbaikan kualitas hidup dan keadilan sosial. Setiap protes dianggap penghambat kemajuan, dan setiap kritik dibalas dengan represi. Kebijakan pembangunan menjelma menjadi ideologi yang menindas.
Yang paling ironis, semua ini dilakukan atas nama rakyat. Negara melegitimasi perampasan tanah, penggusuran, dan pencemaran lingkungan dengan narasi bahwa semua itu untuk kemaslahatan bersama. Namun realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Yang menikmati hasilnya adalah pemilik modal dan elite penguasa. Sementara rakyat, terutama masyarakat adat dan petani kecil, hanya kebagian reruntuhan dari pembangunan.
Pelacuran tanah bukan hanya soal tanah. Ia adalah cermin dari cara negara memperlakukan rakyatnya. Ketika tanah yang merupakan fondasi hidup rakyat diserahkan kepada korporasi, itu berarti negara telah mengingkari kontrak sosialnya. Negara tidak lagi menjadi pelindung, melainkan komprador yang menjual rakyat demi investasi.
Sudah saatnya kita menolak model pembangunan yang eksploitatif ini. Kita perlu kembali pada prinsip kedaulatan rakyat atas tanah, air, dan udara. Perlu ada keberanian politik untuk mencabut izin tambang yang merusak, menghentikan kriminalisasi terhadap pembela lingkungan, dan mengakui hak-hak masyarakat adat. Pembangunan sejati tidak boleh mengorbankan kehidupan. Ia harus berdiri di atas pijakan keadilan sosial dan ekologis.
Jika tidak, kita hanya akan terus menyaksikan tragedi demi tragedi. Banjir bandang yang meluluhlantakkan desa-desa, konflik agraria yang memakan korban jiwa, dan krisis iklim yang kian memburuk. Semua itu bukan bencana alam, melainkan buah dari kebijakan yang abai dan sesat.
Negara harus berhenti melacurkan tanahnya. Karena ketika tanah tak lagi berpihak pada kehidupan, maka kehancuran tinggal menunggu waktu.
Be First to Comment