Press "Enter" to skip to content

Jagong Budaya, Solidaritas yang Dinyanyikan: Dari Methosa, Buruh, hingga Seniman Jalanan

Feature

Forum Jagong Budaya di Surabaya menyatukan Methosa, buruh, seniman, dan LBH dalam simpul perlawanan kultural. Dari nada jadi kesadaran kolektif.

Methosa bersama Senimam, Aktivis dan LBH di Artspace Cakrawalakata

Jagong Budaya: Solidaritas Seniman, Buruh & Methosa

Catatan Redaksi
Tulisan ini merupakan feature opini kultural dari peristiwa Jagong Budaya yang berlangsung di Artspace CakrawalaKata Surabaya. Ia bukan sekadar catatan peristiwa, melainkan refleksi atas gerak zaman yang dikawal oleh nada-nada perlawanan dan dialog akar rumput.

Sabtu, 5 Juli 2025, sore yang panas menyelimuti ruang Artspace CakrawalaKata, Surabaya. Tapi udara yang terasa menggelegak bukan semata karena suhu kota yang memang kerap tak ramah. Di dalam ruang sederhana itu, gagasan-gagasan mendidih. Api kecil menyala di kepala dan dada, menyulut diskusi yang sarat semangat dalam sebuah forum yang diberi nama Jagong Budaya.

Bukan panggung. Tidak ada cahaya yang diarahkan ke wajah para musisi, tidak ada sorak atau dentum bas. Tapi kehadiran Methosa, band yang akhir-akhir ini menyita perhatian publik dengan kritik sosial dalam liriknya, cukup membuat forum itu terasa hidup—hidup dalam makna yang sebenarnya: bertanya, bersuara, dan bergerak.

Alih-alih konser, Methosa datang untuk menyambung simpul. Lawatan mereka kali ini bukan soal performa, melainkan pertemuan. Bersama seniman, aktivis buruh, dan pegiat hukum dari LBH, forum ini menjadi ruang tukar ide yang menyatukan denyut Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lain dalam satu simpul solidaritas. Forum ini digagas oleh Cak Anam, aktivis buruh yang telah lama menjadikan kebudayaan sebagai alat perjuangan. Ia menjembatani diskusi yang tidak formal tapi sarat makna. Dalam bahasa arek Suroboyo, “Jagong Budaya” ini adalah duduk bersama yang tak sekadar basa-basi. Ia mengandung nyala, marah, dan cinta yang belum padam kepada negeri ini.

Methosa tak datang membawa poster idealisme semu. Mereka datang sebagai bagian dari barisan: seniman yang tahu persis bahwa musik bukan hanya hiburan, tapi juga alat perlawanan. Dikenal sejak lagu Bangun Orang Waras viral dan memantik diskusi publik pada 2024, Methosa menjadi salah satu kekuatan baru dalam musik politik di Indonesia. Bukan cuma karena irama yang segar, tapi karena nyali—ya, nyali untuk menyuarakan yang jarang disuarakan.

Band ini pula yang pada aksi Kamisan Jakarta Maret 2025, memilih berdiri di bawah panas matahari, bukan di atas panggung. Mereka menyanyikan lagu karya mereka di depan Gedung Merdeka sambil mengenakan pakaian serba hitam sebagai bentuk dukungan atas para korban pelanggaran HAM. Pada aksi buruh 1 Mei 2025, Methosa kembali turun ke jalan. Kali ini mereka bukan hanya tampil, tetapi turut menyuarakan dukungan pada aksi MayDay bersama  aliansi buruh lintas sektor yang menolak Omnibus Law dan skema kerja kontrak yang kian merampas hak hidup.

Mereka hadir bukan sebagai “tamu istimewa” dalam forum ini, tapi sebagai kawan seperjuangan. Persis seperti yang dicita-citakan oleh forum Jagong Budaya: membongkar batas antara seniman, buruh, dan pegiat hukum. Menyatukan ketiganya dalam satu simpul kesadaran kolektif—bahwa perlawanan butuh panggung, tapi juga butuh strategi. Butuh nada, tapi juga butuh nalar hukum. Butuh marah, tapi juga tahu ke mana arah kemarahan itu dibawa.

Mansen Munthe vocalis methosa bersama seniman Surabay

Jagong Budaya ini bukan akhir, melainkan simpul awal. Ia berangkat dari Surabaya, menyambung nafas yang selama ini tercekat oleh kekalahan demi kekalahan politik. Methosa menyebutnya sebagai “titik bangun”, seruan untuk kembali sadar, waras, dan melawan.” Tagline Bangun Orang Waras bukan sekadar judul lagu, tapi juga seruan psikis dan kultural agar rakyat tak lagi ditinabobokan oleh propaganda televisi, janji palsu politisi, dan gemerlap palsu kota yang korup.

Dalam forum itu, perbincangan mengalir dari tema ketimpangan agraria, kasus kriminalisasi buruh, hilangnya jaminan sosial, hingga refleksi peran seni dalam mendorong kesadaran hukum rakyat. Dalam obrolan diskusi ini, yang perlu dgarisbawahi bahwa problem terbesar hari ini adalah “rakyat yang tidak tahu bahwa haknya sedang dirampas secara legal.” Di titik ini, kesenian menjadi jembatan untuk menyederhanakan bahasa hukum yang rumit, agar bisa diakses oleh rakyat di pabrik, di pinggir kampung, di sawah-sawah yang dirampas.

Seorang seniman muda yang hadir malam itu berkata, “Kami seniman, tidak hanya butuh panggung. Tapi kami butuh forum seperti ini untuk tahu siapa kawan kami.” Kalimat itu diamini oleh Methosa, yang menyebut forum ini sebagai “komposisi tak tertulis antara nada, keadilan, dan perlawanan.”

Dalam khazanah budaya Jawa, “jagongan” bukanlah sekadar duduk atau ngobrol. Ia adalah warisan tradisi musyawarah yang melibatkan pertukaran rasa dan pikiran secara egaliter. Jagongan sering berlangsung di ruang-ruang non-formal: teras rumah, warung kopi, atau pos ronda—tempat di mana hierarki dilebur dan gagasan bisa meluncur bebas. Maka, ketika istilah “Jagong Budaya” digunakan dalam konteks perlawanan kultural hari ini, ia mewarisi semangat kolektif yang tumbuh dari akar. Bukan wacana elit yang mengawang-awang, melainkan dialog yang bersentuhan langsung dengan perut lapar, upah tak layak, dan tanah yang direbut paksa.

Relevansi metode ini sangat terasa dalam kondisi sosial-politik Indonesia 2025. Ketimpangan ekonomi melebar, kriminalisasi terhadap aktivis dan buruh masih berlangsung, dan kebijakan negara makin jauh dari denyut kebutuhan rakyat. Di satu sisi, pemerintah semakin lihai merias wajah lewat narasi “transformasi digital” dan “pembangunan berkelanjutan”, tapi di sisi lain, rakyat kecil terus bergulat dengan harga kebutuhan pokok, upah minim, dan akses hukum yang timpang. Dalam situasi seperti ini, forum-forum semacam Jagong Budaya menjadi sangat penting: ia mengingatkan bahwa perubahan sosial tak hanya lahir dari parlemen, tapi juga dari percakapan di ruang-ruang kecil yang jujur dan terbuka.

Lebih jauh lagi, kehadiran Methosa dan komunitasnya menunjukkan bahwa kesenian masih punya daya hidup di tengah realitas yang brutal. Seni yang tidak sekadar estetika, tapi etika. Dalam setiap petikan gitar dan lirik lagu mereka, ada kesadaran bahwa suara sekecil apapun tetap punya gema jika ia lahir dari keberpihakan. Dan inilah yang dirayakan dalam Jagong Budaya: bukan hanya suara-suara besar, tapi keberanian untuk menyuarakan yang kecil, yang terpinggirkan, yang dilupakan sejarah.

Misi Jagong Budaya bukan sekadar wacana. Ia berupaya membentuk jalinan yang nyata—bukan hanya antara Jakarta dan Surabaya, tetapi antar wilayah, antar komunitas, antar hati yang disatukan oleh penderitaan yang sama dan harapan yang tak boleh mati. Sebuah “orkestra” solidaritas yang diimpikan akan terus bergulir ke kota-kota lain: dari Yogyakarta, Bandung, Makassar, hingga pelosok-pelosok yang tak tersentuh radar media arus utama.

Sebagaimana semangat forum ini, Methosa tak datang untuk menggurui. Mereka datang untuk ikut belajar. Untuk mendengar. Dan untuk mengingatkan kita:
“Bahwa yang waras harusnya bangun. Kalau tidak, negeri ini akan terus dikelola oleh yang pura-pura waras.”

Penutup

Jagong Budaya bukan sekadar agenda diskusi, ia adalah pengingat: bahwa seni, hukum, dan kerja adalah wajah dari tubuh rakyat yang selama ini tercerai. Methosa dan kawan-kawan menenun ulang simpul-simpul itu. Di tengah gelapnya zaman yang terus mengkerdilkan nalar dan rasa, suara mereka barangkali kecil, tapi jelas:
“Kita belum kalah. Kita hanya sedang menyusun barisan.”


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *