Feature
Diskusi komunitas Surabaya menyoroti peran petani muda dalam gerakan sosial, menjaga kedaulatan pangan dan menghadapi krisis iklim.
Menjaga Akar, Menumbuhkan Harapan: Arti Penting Petani dalam Gerakan Sosial
Surabaya pada Sabtu malam, 27 September 2025, seolah menanggalkan hiruk-pikuk kota besar. Di Jalan Rungkut Menanggal No. 26, pekarangan sebuah rumah joglo menyala temaram. Lampu pijar kuning menimpa dinding anyaman bambu, menyalakan kilau lembut pada tanah yang baru disiram. Di sudut halaman, panggung kecil dari kayu dan bambu berdiri dengan latar hiasan gunungan berwarna merah dan putih, seolah menandai sebuah ritual yang menautkan tradisi agraris dengan semangat muda kota. Malam itu Sekolah Alam Petani Muda Nusantara, atau Sampun, menggandeng komunitas literasi Cakrawala Kata untuk menggelar diskusi publik berjudul “Arti Penting Petani dalam Gerakan Sosial,” sebuah forum yang sejak awal diniatkan sebagai pertemuan gagasan, pengalaman, dan amarah yang terpendam tentang nasib petani Indonesia.

Orang-orang mulai datang sejak magrib. Ada aktivis lingkungan, mahasiswa yang masih semester awal kuliah, buruh lepas, hingga ibu rumah tangga yang hadir dengan kepeduliannya atas lingkungan tempat tinggalnya. Mereka duduk melingkar di bangku kayu atau di atas batu bata, menyesap udara lembap yang membawa aroma tanah. Tak ada panggung tinggi yang memisahkan pembicara dan pendengar, hanya meja kayu sederhana dengan mikrofon dan sepasang kursi. Keakraban itu membuat diskusi segera cair, seperti obrolan panjang di beranda rumah desa. Semua orang terlihat setara, dan itulah pesan pertama malam itu: kesetaraan yang lahir dari tanah yang sama.
Acara dibuka dengan pembacaan pengantar yang sengaja ditulis seperti pamflet perlawanan. “Petani selalu menjadi tulang punggung bangsa, penyedia pangan bagi seluruh lapisan masyarakat. Namun ironisnya, mereka justru menjadi kelompok yang paling rentan secara sosial, ekonomi, bahkan politik,” suara pembaca menggema di bawah atap joglo. Kalimat-kalimat berikutnya seperti pukulan beruntun: kemiskinan struktural, akses tanah yang kian sempit, harga komoditas yang dikendalikan tengkulak dan pasar global, biaya produksi yang naik karena pupuk kimia dan benih impor. Para pendengar mengangguk, beberapa berbisik, seolah kalimat itu menampar realitas yang sudah lama mereka rasakan.
Kata-kata itu bukan bumbu retorika. Data Badan Pusat Statistik menegaskan bahwa mayoritas penduduk miskin di Indonesia bekerja di sektor pertanian. Lahan subur terus menyusut, dialihkan untuk infrastruktur dan perkebunan skala besar. Reforma agraria kerap berhenti pada janji, sedangkan kebijakan negara cenderung memanjakan korporasi agribisnis. Di tengah krisis iklim, dengan hujan yang tak menentu dan musim kemarau yang kian panjang, beban petani makin berlapis. Di sini, pertanian bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi medan perlawanan, dan malam itu forum ini menjadi semacam mimbar rakyat yang menolak diam.
Evan, pendiri Sampun, menyampaikan dengan nada optimistis yang menyeimbangkan kegetiran pembukaan. Ia bercerita bagaimana pertanian kota ”urban farming” bisa menjadi jembatan bagi generasi muda untuk kembali menyentuh tanah. “Pertanian masa depan harus inklusif, memberi ruang bagi semua kelompok, termasuk perempuan dan masyarakat rentan,” katanya. Menurut Evan, gerakan menanam di kota bukan hanya cara kreatif memenuhi kebutuhan pangan sendiri, tetapi juga cara mengikis jarak antara warga urban dengan realitas agraris yang selama ini mereka abaikan. Menanam, baginya, adalah praktik politik sehari-hari: menolak ketergantungan pada rantai pasok panjang, menantang monopoli benih, dan membangun kesadaran ekologis.

Pemateri utama, Andreas Pardede aktivis yang sudah lama mendampingi komunitas petani di berbagai daerah memberi dimensi lebih tajam. “Petani bukan hanya tulang punggung ketahanan pangan, tetapi juga aktor penting dalam gerakan sosial yang menuntut keadilan dan kesejahteraan,” ujarnya. Andreas menyoroti bagaimana gerakan sosial petani selama puluhan tahun terus berhadapan dengan kekuatan modal besar, mulai dari perebutan hak atas tanah hingga perjuangan melawan kebijakan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi semu. Baginya, mempertahankan sawah dan ladang adalah bentuk perlawanan terhadap sistem yang menindas sekaligus cara merawat warisan budaya gotong royong.
Sambil Andreas berbicara, peserta lain mengangkat tangan. Seorang mahasiswa FISIP menceritakan keadaan kampung asalnya, dimana kini keadaan didesanya menghadapi nasib yang tak kalah pelik tentang nasib petani dan generasi penerusnya. Seorang ibu rumah tangga menambahkan kisah menanam sayur di halaman sempitnya yang memberi ketenangan batin dan mengurangi pengeluaran dapur. Cerita-cerita spontan itu memecah jarak antara pembicara dan pendengar, menegaskan bahwa pertanian bukan nostalgia romantik, melainkan pengalaman yang bisa dihidupkan siapa saja, bahkan di kota sepadat Surabaya.
Obrolan terus mengalir. Dari membahas ketimpangan kepemilikan lahan, mereka bergeser ke peluang teknologi tepat guna, dari subsidi pupuk yang tak merata hingga ide koperasi baru yang dikelola anak muda. Diskusi yang awalnya direncanakan dua jam meluas menjadi forum tukar pikiran yang seolah tak kenal akhir. Di sela percakapan, gelas-gelas teh kembali diisi, piring berisi jajanan pasar berkeliling. Tawa dan tepuk tangan sesekali pecah, menandai pertemuan serius yang tetap hangat.

Di balik keakraban itu, ada kesadaran kolektif bahwa percakapan semacam ini bukan tujuan akhir. Moderator mengingatkan bahwa gerakan sosial lahir dari aksi, bukan hanya wacana. Beberapa peserta langsung menimpali dengan rencana konkret: pelatihan pertanian berkelanjutan, pembentukan pasar tani di Surabaya, kunjungan ke lahan praktik Sampun untuk belajar pertanian alami. Komitmen itu muncul tanpa formalitas, lahir dari percakapan yang jujur, sesuatu yang sering luput dari rapat-rapat resmi atau seminar megah.
Ketika malam semakin larut, udara mendingin dan lampu-lampu sekitar meredup. Namun semangat di halaman itu tetap hangat. Mereka berfoto bersama di depan panggung kecil, mengangkat tangan atau mengepalkan tinju di bawah gunungan bambu. Ada rasa puas, juga tekad yang diam-diam mengeras: bahwa dari ruang kecil ini, sesuatu bisa tumbuh lebih besar.
Bagi banyak orang kota, pertanian kerap dianggap sisa masa lalu. Padahal, seperti berulang kali ditegaskan para pembicara, tanpa petani tak ada pangan, tanpa pangan tak ada kehidupan. Pertanian bukan hanya soal menanam padi atau memanen cabai; ia adalah basis kebudayaan Indonesia yang bertumpu pada gotong royong dan keselarasan dengan alam. Gerakan sosial petani bukan nostalgia, melainkan kebutuhan mendesak untuk melawan krisis pangan, perubahan iklim, dan ketidakadilan struktural.
Malam di Rungkut itu menutup dengan pelukan dan janji pertemuan berikutnya, tetapi gema diskusinya terus bergaung. Orang-orang pulang membawa lebih dari sekadar catatan: ada kesadaran bahwa menanam adalah tindakan politik, bahwa petani bukan objek belas kasihan melainkan subjek perubahan, dan bahwa gerakan sosial hanyalah nama lain dari keberanian kolektif menjaga kehidupan. Dari pekarangan sederhana yang diterangi lampu pijar, lahir keyakinan bahwa masa depan bangsa bergantung pada mereka yang mau kembali menyentuh tanah, menyemai benih, dan menolak tunduk pada sistem yang mengabaikan akar.
Be First to Comment