Tragedi polisi menggilas driver ojek online dengan mobil rantis di Jakarta adalah bentuk penghinaan terbesar terhadap bangsa: negara membunuh rakyatnya sendiri. Esai gugatan ini mengupas penindasan aparat yang harus dilawan rakyat dengan lantang.
Jangan Bicara Harga Diri Bangsa Jika Rakyat Digilas Aparat
Menghina negara dan menghina satu bangsa tidak pernah benar-benar terletak pada benda-benda mati yang kerap diagung-agungkan oleh para penguasa. Bendera, patung, monumen, lambang negara—semua itu hanyalah simbol buatan tangan manusia yang dikeramatkan demi menutup-nutupi wajah asli kekuasaan. Seseorang bisa membakar bendera, merobek foto presiden, mencoret-coret lambang negara, dan negara akan menjerit seakan-akan itu penghinaan terbesar yang tak dapat dimaafkan. Namun, penghinaan yang sesungguhnya, pengkhianatan paling telanjang terhadap bangsa ini, adalah ketika aparat negara, yang digaji dari keringat rakyat, justru tega membunuh rakyatnya sendiri. Malam kemarin menjadi bukti paling nyata: seorang driver ojek online, seorang rakyat biasa yang hanya ikut dalam aksi demonstrasi, digilas dengan mobil rantis polisi. Digilas—bukan sekadar ditabrak, tapi dilumat roda besi negara yang katanya “melindungi dan mengayomi.” Apa yang lebih hina dari sebuah bangsa ketika penguasa dan aparatusnya menggilas nyawa manusia seakan-akan ia hanyalah sampah di jalan raya?
Peristiwa itu bukan kecelakaan. Jangan pernah ada yang mencoba melunakkan kata dengan alasan teknis, dengan bahasa licik birokrasi: “salah prosedur,” “di luar kendali,” “kesalahpahaman di lapangan.” Itu semua hanyalah sampah narasi untuk menutupi kejahatan terang-terangan. Menggilas tubuh seorang manusia dengan mobil rantis dalam konteks demonstrasi adalah tindakan pembunuhan, pembantaian, dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dan lebih hina lagi, yang melakukannya adalah mereka yang setiap bulan menerima gaji dari uang rakyat. Polisi yang mestinya jadi pelindung, berubah menjadi mesin pembunuh. Maka mari kita cabut selubung munafik ini: negara sedang membunuh bangsanya sendiri, dan itu adalah penghinaan terbesar, luka terdalam, dan dosa yang tak akan pernah bisa ditebus dengan kata maaf.
Kita harus berhenti sejenak membayangkan seberapa besar trauma yang kini dialami keluarga korban. Seorang ayah, seorang suami, seorang anak bangsa, yang mencari rezeki dengan motor, dipaksa mati di bawah roda rantis yang seharusnya menjaga keamanan. Apa arti keamanan jika harga yang harus dibayar adalah darah rakyat? Apa arti bangsa jika tubuh warganya sendiri diperlakukan lebih rendah dari hewan jalanan? Inilah wajah asli negara kita: aparat lebih peduli pada simbol benda mati ketimbang pada nyawa manusia. Jika ada orang membakar bendera, polisi akan buru, tangkap, gebuk, lalu hukum dengan pasal-pasal sakral penghinaan negara. Tapi ketika nyawa rakyat digilas di aspal, negara bisu, pejabat pura-pura buta, aparat sibuk mengarang alasan. Inilah bukti: negara tidak pernah benar-benar mencintai rakyat, negara hanya mencintai dirinya sendiri.
Kejadian ini adalah bentuk penindasan paling telanjang. Bukan lagi sekadar korupsi uang rakyat yang dilakukan sembunyi-sembunyi. Bukan sekadar janji-janji kosong politik yang membohongi rakyat di podium. Ini adalah pembunuhan terbuka di jalan raya, di hadapan publik, disiarkan lewat sorotan kamera, ditonton oleh mata rakyat. Negara tidak lagi malu untuk memperlihatkan taringnya. Polisi tidak lagi merasa perlu menyembunyikan kekejaman. Mereka tahu betul sistem akan melindungi mereka, aparat akan melindungi aparat, negara akan menutupi kebiadaban dengan bahasa hukum. Rakyat? Ah, rakyat hanya akan diminta “ikhlas,” diminta “berlapang dada,” diminta “tenang” agar stabilitas tetap terjaga. Rakyat hanya dianggap sebagai objek yang bisa dipermainkan narasi, bukan subjek yang berhak atas hidupnya sendiri.
Dan di titik inilah kita harus mengatakan dengan lantang: cukup sudah! Ini bukan soal sekadar kemarahan emosional, ini soal akal sehat. Tidak ada satu bangsa pun yang layak disebut bangsa jika ia membiarkan aparatnya membunuh warganya sendiri. Tidak ada satu negara pun yang patut dihormati jika ia justru menindas nyawa rakyatnya sendiri. Menghina negara bukanlah dengan mencoret patung atau merobek konstitusi. Menghina negara adalah saat negara sendiri menggilas rakyatnya, menghancurkan harapan mereka, dan menebar ketakutan di jalan-jalan.
Mereka akan bilang: “ini oknum.” Kata “oknum” adalah mantra busuk yang selalu dipakai untuk melindungi sistem. Tapi kita tahu, ini bukan oknum. Ini adalah konsekuensi dari sistem kekuasaan yang memang lahir untuk menguasai, bukan melayani. Polisi sejak lama bukan lagi pelindung rakyat, melainkan pelindung rezim. Senjata mereka bukan diarahkan ke penjahat kelas kakap, melainkan ke rakyat yang berteriak menuntut keadilan. Mobil rantis mereka bukan dipakai untuk melawan ancaman nyata, melainkan untuk menggilas demonstran. Mereka tidak lagi melihat rakyat sebagai manusia, tapi sebagai massa yang harus dikendalikan, dikebiri, dihancurkan bila perlu.
Hari ini kita harus berani berkata: negara telah melampaui batas. Kesewenang-wenangan ini bukan lagi bisa ditoleransi dengan bahasa damai, dengan pernyataan belasungkawa palsu dari pejabat, atau dengan janji penyelidikan yang akan berakhir dengan nihil. Bukti sudah ada di depan mata: rakyat dibunuh oleh aparatus negara. Maka satu-satunya jalan adalah perlawanan nyata. Bukan sekadar status di media sosial, bukan sekadar doa-doa lirih di pinggir makam, tapi perlawanan yang nyata, yang terorganisir, yang menuntut pertanggungjawaban sampai akar-akarnya. Karena jika kita diam hari ini, besok mungkin giliran kita yang digilas. Jika kita memilih bungkam, tragedi ini akan berulang, dengan nama korban yang berbeda, dengan alasan yang sama.
Menghina bangsa adalah membunuh rakyatnya. Itulah kalimat yang harus kita ukir di benak kita semua. Apa artinya bangsa jika rakyatnya mati di tangan aparatnya sendiri? Apa artinya negara jika warga yang membiayai kehidupan aparat justru digilas hingga tewas? Tidak ada kehormatan, tidak ada harga diri, tidak ada legitimasi yang tersisa. Yang ada hanyalah negara pemangsa, aparat haus darah, dan rakyat yang terus dipaksa jadi korban.
Dan karena itu, kita tidak boleh menunggu belas kasihan. Tidak ada gunanya berharap dari institusi yang sama yang membunuh rakyatnya sendiri. Tidak ada artinya menunggu proses hukum yang sejak awal sudah busuk dan timpang. Gugatan kita bukan hanya kepada polisi yang menggilas dengan rantis, tapi kepada seluruh sistem negara yang membiarkan hal itu terjadi. Gugatan ini adalah teriakan: bahwa rakyat tidak akan tunduk selamanya, bahwa rakyat akan melawan, bahwa kesewenang-wenangan akan dilawan dengan keberanian.
Kita tidak butuh permintaan maaf. Kita tidak butuh belasungkawa basa-basi. Kita tidak butuh janji penyelidikan. Yang kita butuh hanyalah perubahan nyata: polisi harus bertanggung jawab, negara harus dipaksa tunduk pada rakyat, dan kekuasaan harus dirobohkan ketika ia menjadi mesin pembunuh bangsanya sendiri. Malam kemarin, bangsa ini dipermalukan oleh aparatnya sendiri. Malam kemarin, negara benar-benar telanjang menunjukkan kebejatannya. Dan malam kemarin harus jadi titik balik: rakyat tidak boleh lagi takut, tidak boleh lagi bungkam, tidak boleh lagi menganggap ini sebagai takdir.
Kita tidak sedang menghina negara dengan menuliskan ini. Justru sebaliknya, kita sedang menyelamatkan kehormatan bangsa dengan menolak membiarkan pembunuhan dilegalkan. Karena sekali lagi: penghinaan terbesar bukanlah pada bendera yang terbakar atau patung yang dicoret. Penghinaan terbesar adalah darah rakyat yang digilas di jalan raya oleh negara yang digajinya sendiri. Itu adalah penghinaan terhadap kemanusiaan, penghinaan terhadap bangsa, penghinaan terhadap seluruh nilai yang katanya dijunjung tinggi.
Maka mari kita katakan bersama: lawan! Jangan biarkan tragedi ini tenggelam dalam liputan berita yang usang sehari kemudian. Jangan biarkan nyawa seorang driver ojek online hanya menjadi angka dalam statistik. Nyawanya adalah nyawa kita semua. Darahnya adalah darah bangsa ini. Dan kita tidak boleh diam. Karena jika kita diam, maka kita ikut mengkhianati bangsa kita sendiri. Jika kita bungkam, maka kita ikut menghina negara ini.
Inilah saatnya rakyat membuka mata, merapatkan barisan, dan melawan penindasan yang sudah terlalu lama bercokol. Tidak ada bangsa yang layak disebut bangsa jika ia membiarkan rakyatnya mati di tangan negaranya sendiri. Maka marilah kita berdiri dan menuntut dengan keras: hentikan pembunuhan rakyat, hentikan penghinaan terhadap bangsa ini. Karena hanya dengan begitu kita bisa berkata dengan lantang: bangsa ini masih punya martabat, bangsa ini masih punya rakyat yang berani, bangsa ini masih punya harapan.
Be First to Comment