Press "Enter" to skip to content

Menggulung Tikar Zaman: Perebutan Ruang dari Dominasi Elitis Generasi Tua

Esai

ilustrasi by pinterest

Menggulung Tikar Zaman: Perebutan Ruang dari Dominasi Elitis Generasi Tua

Di tengah perubahan zaman yang kian pesat, satu kenyataan pahit terus menancap: ruang-ruang sosial, budaya, ekonomi, dan bahkan politik masih dikuasai oleh generasi tua. Ruang-ruang ini bukan sekadar tempat, melainkan lanskap kekuasaan—struktur yang dikondisikan untuk bersifat eksklusif, elitis, dan enggan terbuka terhadap ide-ide segar dari generasi muda. Seakan waktu beku dalam kebanggaan masa lalu, ruang-ruang tersebut dipertahankan melalui romantisme sejarah dan klaim otoritas moral. Namun, zaman telah berubah. Generasi muda tak lagi bisa hanya menjadi penonton. Mereka harus menggulung tikar zaman, merebut ruang, dan menciptakan alternatif yang lebih progresif, fungsional, dan manusiawi.

Romantisme Masa Lalu sebagai Alat Hegemoni

Banyak ruang sosial dan institusi saat ini dibangun di atas narasi kejayaan masa lalu. Bahasa seperti “kami telah berjuang”, “kami yang memulai”, dan “kami yang memahami” menjadi tameng untuk mempertahankan dominasi. Ruang-ruang kebudayaan dikuasai oleh senioritas yang lebih peduli pada nostalgia ketimbang keberlanjutan. Ruang politik dijejali patron-patron tua yang enggan melepas kekuasaan. Dunia akademik pun tak luput dari patronase dan hierarki usia, di mana gagasan muda kerap dianggap terlalu naïf untuk didengar.

Sosiolog Prancis Pierre Bourdieu menyebut kondisi ini sebagai “reproduksi sosial”—di mana struktur sosial yang mapan memproduksi dirinya sendiri melalui penguasaan atas modal simbolik dan budaya. “Setiap institusi yang tampak netral sering kali menjadi alat untuk melanggengkan ketimpangan,” tulis Bourdieu dalam Distinction (1979). Dalam konteks ini, ruang-ruang generasi tua bukan netral, melainkan arena dominasi yang sengaja disusun untuk memperkecil kemungkinan perubahan.

Ruang Sebagai Medan Perebutan Kekuasaan

Ruang bukan hanya entitas fisik, tetapi juga metaforis: gagasan, hak suara, peluang berkarya. Dalam teori anarkisme, ruang adalah tempat resistensi. Emma Goldman, salah satu tokoh besar anarkisme, pernah menulis: “Every new idea is first condemned as absurd and then eventually considered obvious.” Ruang baru yang ditawarkan generasi muda kerap dianggap aneh, radikal, bahkan berbahaya. Namun dari sanalah kebaruan lahir—bukan dari upaya meniru masa lalu, tetapi dengan menghancurkan batasan yang ditinggalkannya.

Generasi muda harus merebut ruang melalui dua cara: pertama, mendobrak ruang lama yang usang, dan kedua, membangun ruang tandingan yang lebih terbuka, adil, dan partisipatif. Sebab jika tidak, seperti kata Herbert Marcuse dalam One-Dimensional Man (1964), “masyarakat akan tetap dalam keadaan stagnan, di mana oposisi direduksi dan transformasi sosial menjadi mustahil.”

Ruang Lama Tak Lagi Relevan

Banyak ruang lama tak mampu lagi menampung kompleksitas zaman baru. Lihatlah bagaimana forum-forum diskusi lama berubah jadi ajang saling memuji antar kolega. Lihat pula institusi pendidikan tinggi yang lebih sibuk menjaga nama besar ketimbang merespons kebutuhan zaman. Bahkan dalam seni dan budaya, karya-karya baru sering kali disensor oleh standar konservatif yang dibungkus jargon estetika klasik.

Padahal, seperti yang dikatakan Antonio Gramsci, “Zaman lama sedang sekarat, dan zaman baru belum bisa lahir; di antara keduanya muncul gejala-gejala yang sangat berbahaya.” Dalam masa transisi inilah generasi muda harus menciptakan ruang baru. Bukan sekadar melawan, tapi mengorganisir dan menyusun ulang lanskap sosial.

Ruang Tandingan: Dari Alternatif Menuju Dominasi Baru

Gerakan alternatif harus dibangun bukan sebagai oposan semata, melainkan sebagai kekuatan produktif. Komunitas kolektif seni, ruang diskusi terbuka, platform digital mandiri, hingga koperasi ekonomi berbasis solidaritas adalah bentuk-bentuk ruang tandingan yang muncul dari kegelisahan generasi muda. Mereka bukan hanya merespons ketimpangan, tapi juga merancang sistem baru yang tak bergantung pada patron lama.

Tokoh sosialis Rosa Luxemburg pernah menulis bahwa “kebebasan adalah kebebasan bagi mereka yang berpikir berbeda.” Maka ruang tandingan bukan hanya soal siapa yang menguasai, tapi bagaimana menciptakan ruang di mana keberagaman pikiran bisa tumbuh. Ini adalah tugas generasi muda: tidak sekadar menggulingkan, tapi menata ulang.

Mengakhiri Kebekuan Waktu

Romantisme masa lalu adalah jebakan. Ia menjanjikan keagungan, namun membelenggu pada pengulangan. Ruang-ruang yang tetap bergantung pada kejayaan masa lampau akan menjadi museum hidup—indah untuk dikenang, tapi tak relevan untuk masa depan. Generasi muda perlu menggulung tikar zaman, mengakhiri era eksklusivitas, dan memulai perjalanan menuju struktur sosial yang lebih egaliter.

Perebutan ruang ini bukan sekadar perlawanan generasi, tetapi perjuangan untuk membebaskan imajinasi sosial. Sebab masa depan bukan ditentukan oleh mereka yang ingin mempertahankan, melainkan oleh mereka yang berani mencipta.


Penutup

Zaman tidak akan menunggu mereka yang enggan berubah. Menggulung tikar zaman bukan berarti menghapus sejarah, tetapi mengakhiri dominasi yang telah membusuk dan membuka jalan bagi tumbuhnya dunia baru. Seperti kata Mikhail Bakunin, “Kebebasan hanya bisa dicapai dengan tindakan langsung. Tidak ada yang akan memberikannya secara cuma-cuma.” Maka kini waktunya generasi muda menggulung tikar-tikar lama dan menggelar karpet baru untuk masa depan yang lebih adil.


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *