Esai
Esai kritis, sinis, dan vulgar tentang kebebalan DPR, elit politik, korupsi, serta kebijakan ngawur negara. Gugatan tajam rakyat atas kekuasaan bebal.
Menggugat Segala Bentuk Kebebalan Instrumen Negara Ini
Negara ini berdiri di atas fondasi retorika kosong. Dari kursi empuk DPR RI hingga meja kayu rapuh di kantor kelurahan, instrumen negara hanya tahu satu hal: mempertahankan kekuasaan dan mengulang kebebalan yang sama dari generasi ke generasi. Mereka menyebut diri “wakil rakyat” padahal mereka hanya wakil dari partai, wakil dari oligarki, wakil dari cukong yang mendanai kampanye. Rakyat hanyalah slogan saat pemilu, selebihnya dianggap massa bodoh yang bisa ditenangkan dengan janji murahan dan serangan sembako.
Kemarin rakyat turun ke jalan lagi. Demonstrasi yang merebak di berbagai kota menjadi alarm keras, tanda bahwa kesabaran publik sudah jebol. Mahasiswa berlari dengan teriakan parau, buruh mengangkat spanduk dengan tangan kapalan, petani mengangkat poster bertuliskan harga gabah jatuh sementara pupuk naik gila-gilaan. Jalanan penuh asap, bukan hanya dari knalpot kendaraan, tapi juga dari gas air mata yang ditembakkan aparat. Inilah wajah demokrasi ala Indonesia: rakyat yang menuntut hak justru diperlakukan sebagai penjahat, sementara penjahat berdasi tetap nyaman tidur di kursi parlemen.
DPR RI, lembaga yang seharusnya jadi tempat rakyat menitipkan suara, berubah menjadi gedung sirkus. Para badut berdasi berdiri gagah, bicara dengan nada sok pintar, tapi logika mereka kerdil. Belum lama ini seorang anggota DPR melontarkan statemen bebal yang menghina rakyat kecil. Daripada minta maaf, ia malah berdalih, menyalahkan publik karena terlalu sensitif. Kebebalan macam ini adalah kanker politik yang menular. Anggota DPR tidak pernah merasa salah, karena mereka terbiasa hidup dalam gelembung: gaji besar, tunjangan menggunung, fasilitas negara yang mewah, semua dibayar dari pajak rakyat yang katanya harus patuh. Ironinya, rakyat disuruh hemat dan bersyukur, sementara mereka berpesta di ruang rapat.
Lihatlah bagaimana kebijakan lahir. Undang-undang bukan lagi produk diskusi publik, melainkan transaksi politik. Omnibus Law lahir dengan grusa-grusu, tanpa transparansi, lalu dipaksakan meski rakyat menolak. Isinya jelas: menguntungkan korporasi, melucuti hak buruh, merampas tanah petani, dan memperlebar jurang kesenjangan. Saat rakyat marah, jawabannya bukan revisi, tapi represifitas. Aparat dikerahkan, mahasiswa dipukul, suara rakyat ditutup dengan kawat berduri. DPR seakan melupakan satu hal: mandat kekuasaan mereka berasal dari rakyat, bukan dari pemilik modal. Tapi mereka lebih takut kehilangan sponsor ketimbang kehilangan martabat.
Korupsi? Jangan ditanya. Ia sudah jadi budaya resmi. Setiap tahun ada drama baru: menteri ditangkap, kepala daerah dicokok, pejabat kementerian diringkus. Semua ditayangkan media seolah jadi tontonan seru, tapi rakyat tahu ujungnya: hukuman ringan, penjara mewah, dan tidak lama kemudian keluar dengan senyum lebar. Koruptor di negeri ini punya hak istimewa: tetap bisa bisnis, tetap bisa politik, bahkan bisa kembali mencalonkan diri. Sementara rakyat kecil yang mencuri sendal jepit dihukum habis-habisan. Keadilan hukum adalah lelucon: hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas, bahkan bengkok bila menyentuh orang yang dekat dengan istana.
Elit politik semakin hari semakin hidup di dimensi lain. Ketika rakyat sibuk menghitung rupiah untuk membeli beras, mereka sibuk membahas megaproyek pemindahan ibu kota. Ketika rakyat berdebat soal harga minyak goreng, mereka sibuk menghitung potensi investasi asing. Tidak ada simpul koneksi antara obrolan elit dengan realita rakyat. Mereka seperti tinggal di planet lain, dengan bahasa sendiri, logika sendiri, dan kepentingan sendiri. Rakyat hanya dipanggil ketika ada pemilu. Setelah itu, suara rakyat hanya jadi statistik, bukan jadi pertimbangan.
Demonstrasi kemarin memperlihatkan betapa terputusnya hubungan negara dengan rakyat. Mahasiswa yang turun ke jalan bukan sekadar berteriak demi hobi, melainkan karena jalur formal tidak lagi berfungsi. Surat terbuka diabaikan, audiensi ditolak, kritik di media sosial dibungkam dengan buzzer. Jalanan jadi satu-satunya kanal yang tersisa. Namun, alih-alih mendengar, negara malah menutup telinga. Aparat dipaksa jadi tameng, dipaksa melawan rakyat yang seharusnya mereka lindungi. Bayangkan betapa ironisnya: polisi yang digaji dari pajak rakyat justru digunakan untuk menghantam rakyat.
Kebijakan negara semakin hari semakin tidak berpihak. Subsidi dipotong, tarif dinaikkan, sementara pengeluaran negara bocor lewat korupsi. Jalan tol dibangun, tapi siapa yang bisa lewat? Hanya mereka yang punya mobil pribadi, bukan buruh yang tiap hari berdesakan di angkot. Bandara megah dibangun, tapi tiket pesawat melambung, membuat rakyat hanya jadi penonton. Bahkan program bantuan sosial pun jadi ladang korupsi: bansos dikorupsi menterinya, rakyat yang lapar malah kebagian mie instan basi.
Ketika rakyat mengkritik, pejabat punya satu jurus sakti: menyalahkan rakyat. Rakyat dianggap malas, rakyat dianggap gampang diprovokasi, rakyat dianggap tidak tahu diri. Padahal yang malas adalah pejabat yang tak mau bekerja serius, yang gampang diprovokasi adalah pejabat yang baper pada kritik, dan yang tidak tahu diri adalah elit yang merasa lebih pintar dari rakyat padahal kebijakan mereka hancur-hancuran.
Statemen-statemen bebal terus keluar dari mulut wakil rakyat. Ada yang bilang rakyat miskin jangan terlalu banyak makan beras, ada yang bilang harga bahan pokok naik itu wajar, ada yang menyuruh rakyat bersyukur saja. Kalimat-kalimat seperti ini menegaskan betapa rendahnya kualitas intelektual politisi kita. Mereka tidak hanya korup secara finansial, tapi juga korup secara moral dan mental. Bagaimana mungkin orang dengan cara berpikir semacam ini dipercaya untuk membuat undang-undang?
Sementara itu, rakyat semakin tersudut. Upah buruh ditekan, harga barang naik, lahan petani dirampas, mahasiswa dipaksa belajar dengan kurikulum kacau, nelayan kehilangan laut karena reklamasi. Semua jalur kehidupan rakyat ditutup oleh kebijakan negara yang memihak modal. Dan setiap kali rakyat melawan, jawabannya adalah represi. Inilah demokrasi yang sebenarnya sudah mati, tapi tetap dipoles agar terlihat hidup.
Instrumen negara lain pun tidak lebih baik. Dari aparat yang brutal di jalanan hingga birokrat yang minta suap di balik meja, semuanya bagian dari mesin kebebalan. Negara yang seharusnya melayani rakyat justru menghisap rakyat. Pajak dipungut dengan paksa, tapi fasilitas publik minim. Pendidikan mahal, kesehatan hanya untuk yang mampu, dan infrastruktur selalu dibanggakan padahal manfaatnya hanya dinikmati segelintir orang.
Di tengah semua kebebalan ini, rakyat tetap dipaksa loyal. Lagu kebangsaan dinyanyikan, bendera dikibarkan, pajak dibayar, aturan dipatuhi. Tapi apa balasannya? Hanya janji kosong, statemen bebal, dan kebijakan ngawur. Rakyat disuruh mencintai negara, padahal negara tidak pernah mencintai rakyat.
Demonstrasi kemarin seharusnya jadi tamparan keras. Tapi seperti biasa, elit akan pura-pura tuli. Mereka akan berkata semua baik-baik saja, semua terkendali, semua demi kepentingan bangsa. Padahal bangsa yang mereka maksud hanyalah lingkaran kecil elit dan kroninya. Bangsa bernama rakyat tidak pernah benar-benar masuk hitungan.
Dan kita harus bertanya: sampai kapan rakyat harus menanggung kebebalan ini? Sampai kapan gedung DPR boleh jadi rumah badut tanpa malu? Sampai kapan korupsi dianggap wajar? Sampai kapan aparat boleh menghajar rakyat tanpa rasa bersalah? Sampai kapan statemen bebal boleh melukai harga diri bangsa tanpa konsekuensi?
Negara ini telah kehilangan arah. Instrumen politiknya kehilangan legitimasi. DPR kehilangan wibawa, pemerintah kehilangan moral, aparat kehilangan nurani, birokrasi kehilangan akal sehat. Yang tersisa hanya rakyat—yang terus dipaksa bertahan, terus dipaksa membayar, terus dipaksa patuh.
Namun rakyat tidak akan diam selamanya. Demonstrasi kemarin hanyalah awal. Kebebalan negara tidak mungkin bertahan di hadapan kesadaran kolektif rakyat. Setiap kali elit bicara dengan nada merendahkan, rakyat semakin sadar siapa musuh sebenarnya. Setiap kali kebijakan lahir yang menyiksa, rakyat semakin tahu arah perlawanan. Setiap kali aparat memukul, rakyat semakin keras hati untuk melawan.
Negara boleh menutup telinga, tapi suara rakyat akan terus menggedor. Negara boleh menutup mata, tapi kenyataan tidak bisa dibohongi. Negara boleh mengerahkan kekerasan, tapi sejarah sudah membuktikan: tidak ada kekuasaan yang abadi di hadapan kemarahan rakyat.
Maka esai ini adalah gugatan, bukan sekadar kritik. Gugatan terhadap DPR yang sudah menjelma sirkus, gugatan terhadap elit yang hidup di planet sendiri, gugatan terhadap aparat yang kehilangan nurani, gugatan terhadap birokrat yang rakus, gugatan terhadap seluruh instrumen negara yang bebal. Gugatan ini lahir dari amarah, lahir dari luka, lahir dari kesadaran bahwa rakyat terlalu lama ditipu.
Negara ini boleh terus berpura-pura hebat, tapi rakyat tahu kebenarannya: negara ini berdiri di atas kebebalan. Dan kebebalan, cepat atau lambat, akan hancur digilas oleh kesadaran rakyat. Karena tidak ada kekuasaan yang bisa bertahan di atas kebohongan dan kebodohan selamanya.
Be First to Comment