opini

Membela Hak Rakyat Menggugat UU TNI: Menolak Bungkamnya Suara Sipil dalam Negara Demokrasi
Ketika Dewan Perwakilan Rakyat dan Menteri Hukum Republik Indonesia menyatakan bahwa aktivis mahasiswa, ibu rumah tangga, atau lembaga swadaya masyarakat tidak memiliki legal standing untuk menggugat Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), maka sesungguhnya kita sedang menyaksikan kemunduran prinsip-prinsip dasar demokrasi. Pernyataan ini tidak hanya menafikan hak konstitusional rakyat, tetapi juga mencerminkan kecenderungan untuk menutup ruang partisipasi publik dalam urusan negara yang berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat sipil. Lebih dari itu, pernyataan tersebut mengingkari semangat reformasi dan mengancam prinsip supremasi sipil atas militer—sebuah fondasi krusial dalam negara demokratis.
Dalam masyarakat yang demokratis dan menjunjung hukum, rakyat tidak sekadar menjadi penonton dalam proses legislasi. Mereka adalah subjek konstitusi, pemilik kedaulatan, dan pemegang mandat moral untuk memastikan hukum berfungsi adil. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) dan (3) UUD 1945, kedaulatan berada di tangan rakyat dan setiap warga negara berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, serta kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Maka, ketika warga menggugat UU TNI, mereka tidak sedang menyerang negara, tetapi justru sedang menegakkan konstitusi.
Legal Standing: Antara Konstitusionalisme dan Moralitas Demokrasi
Mahkamah Konstitusi RI sendiri telah lama menetapkan pendekatan progresif terhadap konsep legal standing. Dalam Putusan MK No. 006/PUU-III/2005, misalnya, Mahkamah menegaskan bahwa setiap warga negara dapat mengajukan uji materi jika dapat menunjukkan adanya potensi kerugian konstitusional yang nyata. Ini bukan semata tafsir teknokratis, tetapi juga afirmasi terhadap prinsip bahwa hukum tidak boleh menjadi alat eksklusif bagi elite kekuasaan.
Oleh karena itu, ketika ibu rumah tangga menggugat karena khawatir anaknya bisa direkrut militer tanpa mekanisme sipil yang sehat, atau ketika aktivis menggugat karena melihat potensi ekspansi militer ke ranah sipil, maka itu bukan ancaman terhadap negara—itu adalah tindakan demokratis. Sebagaimana diungkapkan oleh filsuf hukum Ronald Dworkin, “Hak adalah klaim moral yang harus dihormati negara.” Maka, hak rakyat untuk menantang hukum yang dianggap menyimpang dari konstitusi adalah ekspresi tertinggi dari keberdayaan sipil.
Ancaman terhadap Supremasi Sipil
UU TNI bukan undang-undang biasa. Ia mengatur institusi dengan kekuatan koersif terbesar di republik ini. Ketika kontrol sipil terhadap militer dilemahkan, maka yang terancam bukan hanya warga sipil, tapi demokrasi itu sendiri. Dalam banyak kasus di dunia, ekspansi militer ke ranah sipil telah menjadi awal dari rezim represif. Dari Turki era sebelum Erdogan, ke Mesir di bawah Sisi, hingga Myanmar yang kembali ke bayang-bayang junta, pelajaran global jelas: kekuasaan militer tanpa kontrol sipil membawa kehancuran demokrasi.
Seperti dikatakan oleh mantan Hakim Agung Amerika Serikat, William O. Douglas: “The liberties of none are safe unless the liberties of all are protected.” Maka, pengabaian terhadap hak rakyat menggugat UU TNI bukan hanya pengingkaran atas hak satu kelompok, tapi pukulan terhadap kebebasan seluruh bangsa.
Partisipasi Publik Bukan Ancaman, Tapi Pilar
Demokrasi bukan sekadar tentang pemilu lima tahunan. Demokrasi adalah soal keberlanjutan partisipasi, keterlibatan, dan pengawasan. Ketika masyarakat sipil menggugat UU TNI, itu bukan bentuk perlawanan terhadap negara, tapi partisipasi dalam menjaga agar negara tidak disalahgunakan. Adalah keliru dan berbahaya jika kekuasaan legislatif dan eksekutif menyamakan gugatan publik dengan ancaman terhadap stabilitas.
Seperti dinyatakan oleh Eleanor Roosevelt, arsitek Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia: “The future of human rights is in the hands of ordinary people.” Maka dari itu, gugatan masyarakat sipil adalah bagian dari perjuangan universal untuk mempertahankan ruang sipil dan memastikan bahwa kekuasaan tidak menjadi absolut.
Menuju Demokrasi Substantif, Bukan Seremonial
Klaim bahwa hanya institusi atau pihak “berkepentingan langsung” yang berhak menguji undang-undang adalah warisan feodalisme hukum yang menganggap rakyat tidak cukup cerdas untuk memahami kebijakan negara. Dalam demokrasi substantif, hukum harus terbuka untuk diuji oleh siapapun yang merasa hak konstitusionalnya terancam. Karena pada akhirnya, hukum adalah instrumen keadilan, bukan instrumen dominasi.
Konstitusi bukan milik penguasa, bukan milik parlemen, tetapi milik rakyat. Maka ketika rakyat menggugat, mereka sesungguhnya sedang menjalankan mandat konstitusi itu sendiri. Di sinilah relevan kutipan Mahatma Gandhi: “The spirit of democracy is not a mechanical thing to be adjusted by abolition of forms. It requires change of heart.” Demokrasi sejati bukan hanya soal aturan formal, tapi keberanian untuk mendengar suara yang berbeda dan memberi ruang bagi kritik konstitusional.
Penutup: Negara Harus Takut pada Rakyat, Bukan Sebaliknya
Dalam negara demokratis, militer harus tunduk pada konstitusi, dan konstitusi dijaga oleh rakyat. Maka, membungkam gugatan masyarakat terhadap UU TNI bukan hanya tindakan anti-konstitusional, tapi juga tanda bahwa penguasa mulai alergi terhadap pengawasan.
Sudah saatnya kita menolak dengan tegas upaya-upaya membungkam suara publik dalam perkara hukum. Karena saat rakyat tidak lagi bisa menggugat, maka yang tersisa hanyalah kekuasaan yang tidak diawasi—dan itulah awal dari otoritarianisme. Maka mari kita tegakkan prinsip: demokrasi sejati adalah ketika rakyat berani bicara, dan negara wajib mendengarkan.
Be First to Comment