Esai

Membaca Ulang Kolonialisme: Kolonial Bukan Pahlawan Peradaban
Pendahuluan: Membongkar Luka yang Dilegalkan Sejarah
Dalam dunia yang terus dipenuhi dengan slogan kemajuan dan modernisasi, kolonialisme masih saja diberi tempat mulia dalam narasi sejarah oleh sebagian kalangan. Banyak yang menyebut para kolonialis sebagai pembawa cahaya di tengah kegelapan, pionir peradaban, dan pahlawan pembangunan. Namun kita harus bertanya: Cahaya bagi siapa? Pembangunan untuk siapa? Di balik narasi ini tersembunyi realitas sejarah yang dipenuhi darah, air mata, dan kehancuran tak berkesudahan. Kolonialisme adalah sistem kekuasaan paling brutal yang pernah diterapkan manusia atas manusia lain, dan tidak ada ruang kompromi untuk romantisasi kejahatan tersebut.
Kolonialisme adalah luka sejarah yang sengaja ditutupi. Ia tak hanya menjarah tanah, tetapi juga merampas martabat, mengganti nilai-nilai luhur lokal dengan nilai asing yang dikemas sebagai “kemajuan.” Ini adalah bentuk kekerasan sistemik yang mengorbankan generasi demi generasi rakyat dunia ketiga demi kekayaan dan kejayaan bangsa-bangsa Eropa.
Makna Kolonialisme: Dominasi Berkedok Peradaban
Kolonialisme bukanlah niat baik yang disalahpahami. Ia adalah sistem penaklukan terstruktur, didorong oleh nafsu kekuasaan dan kerakusan ekonomi. Seperti ditulis Albert Memmi, “kolonialisme adalah praktik kekerasan yang dilanggengkan dengan legitimasi ideologis.” Bangsa-bangsa Eropa menjelajahi dunia bukan untuk berbagi ilmu, tetapi untuk mencuri emas, rempah, tanah, dan tenaga kerja murah. Dengan mengangkat slogan misi suci dan tanggung jawab rasial, mereka membungkus kekejaman mereka dalam jubah moral palsu.
Konferensi Berlin 1884 adalah contoh paling sinis dari kejahatan ini. Di sana, negara-negara Eropa duduk bersama membagi benua Afrika seperti warisan keluarga, seolah-olah benua itu kosong dari manusia, seolah-olah peradaban-peradaban Afrika tidak pernah ada. Mereka menggambar garis-garis batas yang memecah suku, budaya, dan sejarah demi kepentingan ekonomi.
Kejahatan-Kejahatan Kolonial: Darah yang Tak Pernah Kering
- Kongo dan Pembantaian oleh Raja Leopold II
Di bawah kekuasaan pribadi Raja Leopold II dari Belgia, rakyat Kongo dijadikan budak dalam negeri mereka sendiri. Untuk karet dan gading, jutaan nyawa melayang. Anak-anak kehilangan tangan mereka sebagai hukuman jika orang tuanya tak memenuhi kuota panen. Adam Hochschild mencatat bahwa 10 juta orang tewas dalam proyek kolonial ini. Sebuah tragedi yang dengan keji disembunyikan dari buku pelajaran di Eropa. - India dan Kelaparan sebagai Senjata
Inggris menciptakan bencana kemanusiaan di India melalui manipulasi pertanian dan perdagangan. Petani dipaksa menanam opium dan kapas untuk pasar dunia. Tahun 1943, kelaparan di Bengal membunuh lebih dari 3 juta jiwa. Churchill, tokoh yang sering dielu-elukan sebagai pahlawan perang, menyebut rakyat India sebagai biang keladi kemiskinan mereka sendiri. Ini bukan kelalaian. Ini adalah pembunuhan massal dengan senjata ekonomi. - Indonesia dan Sistem Tanam Paksa
Rakyat Indonesia diperas melalui cultuurstelsel, sistem tanam paksa yang membuat rakyat kelaparan di tengah hasil panen yang melimpah. Sumber daya alam diangkut ke Belanda, sementara rakyat mati mengenaskan. Dalam berbagai perlawanan rakyat seperti Perang Diponegoro (1825–1830), ratusan ribu nyawa rakyat Nusantara melayang. Belanda membalas dengan taktik bumi hangus, pembakaran desa, dan eksekusi massal. Inikah yang disebut “etika kolonial”? - Amerika dan Genosida Bangsa Asli
Kolonisasi Eropa di Amerika Utara dan Selatan adalah proyek pemusnahan etnis. Suku-suku asli seperti Cherokee, Sioux, dan Inca dibantai, dijangkiti penyakit yang disengaja, serta diusir dari tanah leluhur mereka. Penduduk asli Australia mengalami nasib serupa. Pemerintah kolonial menculik anak-anak Aborigin dan memisahkan mereka dari keluarga mereka untuk “dididik” menjadi warga kulit putih dalam praktik yang kini disebut sebagai “Stolen Generations.”
Perlawanan: Bukti Bahwa Kolonialisme Ditolak, Bukan Disambut
Perlawanan terhadap kolonialisme membuktikan bahwa sistem ini tidak pernah diterima, melainkan selalu dipaksakan. Perang-perang rakyat membara di setiap benua:
- Perang Aceh (1873–1904): Salah satu perlawanan terbesar di Asia Tenggara. Rakyat Aceh tidak tunduk begitu saja. Mereka bertempur selama lebih dari 30 tahun melawan invasi Belanda, hingga puluhan ribu syuhada dan rakyat sipil menjadi korban.
- Perang Jawa/Diponegoro (1825–1830): Melibatkan hampir seluruh Jawa Tengah dan Yogyakarta, perang ini menggerakkan rakyat dari berbagai kelas untuk melawan korupsi dan dominasi asing.
- Perang Mau Mau di Kenya (1952–1960): Gerakan rakyat Kenya melawan kolonial Inggris yang membantai dan menyiksa ribuan orang dalam kamp konsentrasi.
- Revolusi Haiti (1791–1804): Perlawanan budak kulit hitam di Haiti melawan kolonial Prancis, menjadi simbol emansipasi melawan penjajahan dan rasialisme.
Setiap peluru, setiap tubuh yang jatuh, setiap teriakan melawan penindasan adalah bukti bahwa kolonialisme bukanlah misi penyelamatan, tapi bencana kemanusiaan.
Pembangunan atau Penjarahan?
Jalan raya, rel kereta, dan pelabuhan yang dibanggakan para kolonialis bukan dibangun untuk rakyat lokal, tetapi untuk mempercepat aliran kekayaan menuju pelabuhan Eropa. Sekolah-sekolah kolonial bukan untuk mencerdaskan bangsa jajahan, tapi untuk menciptakan “pegawai patuh” yang setia pada sistem penjajahan. Paulo Freire menyebut ini sebagai bentuk “pendidikan perbudakan,” karena hanya mendidik rakyat agar menerima inferioritas mereka.
Pengaburan Sejarah dan Penghinaan terhadap Korban
Upaya mengglorifikasi kolonialisme adalah bentuk kekerasan baru: kekerasan terhadap memori. Ketika Prancis mewajibkan sekolah mengajarkan dampak positif kolonialisme, ketika Belanda menyebut penjajahan sebagai “etika moral,” mereka tidak hanya memalsukan sejarah, tetapi juga menghina jutaan korban yang telah menjadi martir atas kebebasan bangsanya.
Edward Said dalam Culture and Imperialism menekankan bahwa imperialisme tidak hanya hidup dalam tank dan kapal perang, tetapi juga dalam karya sastra, kurikulum pendidikan, dan film-film sejarah yang memutihkan kekejaman kolonial. Ini adalah bentuk kontrol narasi yang membuat penjajah tetap tampak sebagai pahlawan bahkan setelah pergi.
Kesimpulan: Melawan Romantisme Kekejaman
Tidak ada kolonialisme yang baik. Tidak ada penjajahan yang mulia. Setiap jejak kaki penjajah membawa luka, bukan cahaya. Kita tidak boleh lagi membiarkan sejarah ditulis oleh para pemenang yang menghapus darah dari catatan mereka. Kolonialisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Titik.
Sudah saatnya kita menyatakan dengan lantang dan penuh kemarahan: Kolonialisme bukanlah halaman yang heroik dalam sejarah umat manusia, melainkan noda memalukan yang tak boleh kita lupakan, apalagi rayakan. Kita berutang kepada para leluhur kita—yang disalib oleh peluru dan cambuk kolonial—untuk terus merawat ingatan ini agar generasi mendatang tahu bahwa yang datang dari barat bukanlah pencerahan, tetapi kegelapan yang dibungkus emas.
Be First to Comment