Feature

MATRIFAGI: KETIKA ANAK-ANAK MEMAKAN IBU MEREKA SENDIRI
Pagi itu, kabut masih menggantung di lereng tambang batu bara di Kalimantan. Asap dari pembakaran ilegal perlahan-lahan naik, menyatu dengan awan tipis yang kehilangan kesegarannya. Di kejauhan, suara mesin bor meraung, memekakkan telinga lebih dari suara burung yang perlahan-lahan punah dari kawasan ini. Seorang penambang tua duduk di atas batu, menatap tanah yang dulu pernah menghijau.
“Tanah ini dulu hidup. Sekarang… tak ada yang tersisa,” katanya lirih. Wajahnya kotor oleh debu, matanya kosong. Seperti tanah yang diinjaknya—habis dan tak bersuara.
Ia tidak sadar bahwa yang ia lakukan, dan yang jutaan manusia lakukan setiap hari, adalah bagian dari satu narasi besar: matrifagi—ritual makan ibu.
Secara biologis, matrifagi adalah fenomena langka yang terjadi di kalangan hewan, seperti pada spesies laba-laba Stegodyphus lineatus, di mana sang induk menyerahkan tubuhnya secara sukarela untuk dimakan anak-anaknya demi kelangsungan hidup mereka. Dalam konteks alamiah, ini adalah bentuk pengorbanan ekstrem—sebuah cinta final yang tragis namun agung.
Tapi pada manusia, matrifagi menjadi simbol ironi. Kita memakan tubuh Ibu—alam semesta—bukan karena lapar, bukan karena terpaksa, melainkan karena rakus. Kita tidak menunggu ia mati. Kita menyergapnya saat masih hidup.
Tak ada pengorbanan. Yang ada adalah penjarahan yang diberi nama: ekspansi, kemajuan, industrialisasi, pertumbuhan ekonomi.
Dari puncak gunung yang dibongkar menjadi semen, hingga laut yang dikeruk untuk proyek reklamasi; dari hutan tropis yang dibabat demi sawit, hingga tambang nikel yang mengoyak pulau-pulau kecil di Indonesia timur—semuanya adalah aksi brutal anak terhadap ibunya.
Data dari Forest Watch Indonesia mencatat bahwa selama dua dekade terakhir, negeri ini kehilangan lebih dari 24 juta hektare hutan alam. Itu setara dengan dua kali luas Pulau Jawa. Dalam setiap hektar itu, terkubur ratusan spesies yang tak sempat kita kenali namanya, komunitas adat yang dipaksa hengkang, dan udara segar yang tak akan kita hirup lagi.
Ibu kita, bumi ini, tak lagi bersuara. Tapi luka-lukanya berbicara lewat banjir bandang, tanah longsor, kekeringan ekstrem, suhu yang memecahkan rekor tiap tahun, dan laut yang menelan pulau-pulau kecil satu per satu.
Kita panik. Tapi tak berhenti makan.
Ketika sebuah kawasan di Sulawesi dibuka untuk tambang nikel—komoditas yang kini disebut “emas baru” karena dibutuhkan untuk baterai kendaraan listrik—ratusan keluarga harus meninggalkan kampungnya. Mereka menyebutnya “relokasi,” namun lebih tepat disebut pengusiran.
“Katanya ini demi masa depan,” ujar seorang warga yang rumahnya kini tinggal puing. “Tapi masa depan yang mana? Bagi siapa?”
Pertanyaan itu tak pernah dijawab.
Narasi kemajuan selalu punya panggung. Ia hadir lewat pidato-pidato megah, iklan-iklan ramah lingkungan yang penuh warna hijau, konferensi iklim dengan latar panggung digital. Tapi narasi pengorbanan jarang terdengar. Tak ada tempat bagi suara-suara yang terpinggirkan, apalagi suara dari bumi itu sendiri.
Alam tidak pernah diberi mikrofon.
Dibalik setiap jalan tol baru yang memotong pegunungan, dibalik setiap pusat belanja yang dibangun di atas rawa-rawa, ada tubuh ibu yang diiris. Tapi kita menyebutnya “infrastruktur.” Kita mengajarinya menjadi komoditas. Hutan jadi angka dalam grafik ekspor. Sungai jadi saluran limbah industri. Udara jadi ruang iklan untuk kendaraan.
Inilah bentuk matrifagi yang paling mematikan: ketika kita menganggap tubuh ibu kita sebagai objek, bukan subjek. Ketika kita kehilangan rasa gentar pada batasan.
Kita menjadikan bumi ini sebagai restoran berjalan. Kita memakannya sambil berkata, “Tenang, nanti kita tanam pohon lagi.” Tapi tak pernah benar-benar kita tanam. Atau jika ditanam, ia jadi bagian dari proyek pencitraan yang bahkan tak memberi naungan bagi seekor burung.
Mungkin satu-satunya hal yang lebih menyedihkan dari kerakusan manusia adalah kemampuannya untuk membenarkan keburukan dengan bahasa yang elegan.
Kita tak lagi bilang “menjarah alam,” kita bilang “menciptakan lapangan kerja.” Kita tak bilang “menghabisi bumi,” kita bilang “memanfaatkan potensi sumber daya.” Kita memakai jargon seperti “ekonomi hijau” dan “pertumbuhan berkelanjutan,” padahal warna yang paling dominan dalam kenyataan adalah abu-abu dan hitam.
Dalam banyak konferensi iklim dunia, para pemimpin berdebat soal angka emisi karbon sambil menandatangani kontrak pertambangan baru. Kita menyebut mereka negarawan. Tapi sesungguhnya mereka berdiri di atas tubuh ibu yang mulai dingin.
Apakah kita masih punya harapan?
Mungkin. Tapi waktu berjalan cepat. Alam tak akan menunggu kita sampai sadar. Ia akan tumbang dengan atau tanpa permisi. Ia tidak membalas, tapi ia bereaksi. Dan dalam setiap reaksi itu, yang paling menderita bukanlah orang-orang di ruang pendingin, melainkan mereka yang tinggal di bantaran sungai, di kampung-kampung kecil, di ladang-ladang kering yang kini tinggal kenangan.
Saat es mencair di kutub, saat suhu naik beberapa derajat, saat air laut menelan daratan, siapa yang bisa menyuap teknologi untuk menghentikan semua itu?
Pada akhirnya, ini bukan soal menyelamatkan alam.
Ini soal menyelamatkan diri kita sendiri dari kesalahan yang terlalu lama dibiarkan.
Karena ibu yang kita makan tidak akan bisa hidup kembali.
Dan tak ada surga kedua setelah bumi ini sekarat.
Tidak untuk kita. Tidak untuk generasi selanjutnya.
Sebab siapa yang bisa hidup tanpa ibu?
“Semua makhluk lainnya hidup bersama alam. Hanya manusia yang hidup di atasnya.”
—Arundhati Roy
Be First to Comment