Feature
Jika modernitas sering dijual sebagai kemajuan tanpa akar, maka malam itu The Luntas menampilkan alternatif: kemajuan yang berpikir, yang mencari akar, yang merangkul tawa dan refleksi. Pertunjukan ludruk menjadi penutup pameran yang sekaligus pembuka: pembuka kesadaran bahwa kebudayaan bukan artefak, melainkan napas hidup.
“Tawa, Sekam, dan Akar: Ludruk The Luntas di Penutup ‘Fragmen dari yang Utuh’”
Pada malam 31 Oktober 2025, di pelataran terbuka yang beraroma tanah basah dan sekam padi di Rungkut Menanggal, dua aktor dari The Luntas, Cak Robet Bayoned dan Cak Ipul Bayoned naik ke panggung untuk membawakan ludruk yang bukan sekadar hiburan penutup, tetapi perayaan kebudayaan yang tengah meniti antara masa lalu dan sekarang. Dalam lingkungan pameran fotografi “Fragmen dari yang Utuh”, pertunjukan ini mengubah fragmen menjadi keutuhan hidup di mana seni visual bertemu tontonan rakyat, refleksi bertemu tawa, dan manusia kembali kepada akarnya.

Ketika pengunjung menjejak pelataran Sekolah Alam Petani Muda Nusantara (SAMPUN) pada malam itu, mereka memasuki ruang di mana estetika pameran foto bercampur dengan realitas kebudayaan yang kasat mata. Rumput hijau, bambu berderet, sekam gabah di kaki bangku, dan lampu pijar yang menggantung rendah membentuk latar bukan hanya untuk karya cetak 30×40 cm yang menggantung pada kawat ram, tetapi juga untuk pertunjukan ludruk. Suasana ini hangat, intim, dan sedikit nostalgic—lanskap yang mengundang keheningan sekaligus obrolan.
Pameran “Fragmen dari yang Utuh” memang sejak awal dirancang agar pengunjung bukan sekadar melihat foto, tetapi merasakan relasi manusia, alam, budaya: bagaimana kebudayaan agraris, masyarakat adat, kerja mikro di desa-desa Indonesia dulu, hadir kembali dalam ruang multisensorial. Dan ketika The Luntas naik panggung, mereka membawa narasi lain narasi suara, gerak, dan dialog rakyat.

Ludruk sendiri adalah teater rakyat Jawa Timur yang lahir dari kalangan wong cilik, mengangkat kisah sehari-hari, dijalin dengan guyonan, musik gamelan, dan improvisasi. Usianya yang panjang, berakar sejak betahun-tahun lalu menjadikan ludruk tidak hanya hiburan, tetapi bentuk kebudayaan yang tahan terhadap perubahan zaman. Di malam itu, Cak Robet dan Cak Ipul berdiri di atas panggung sederhana: atap seng, bambu bertali, penonton duduk santai meneguk kopi, tidak ada kemewahan, hanya kejujuran.
Mereka memulai dengan jula-juli dan kidung khas pembukaan Ludruk yang berisi pesan satir. Tawa penonton pecah. Kemudian masuk bagian reflektif: kisah problematika warga kampung yang merasa kehilangan tradisinya, anak muda yang meninggalkan identitas kelokalanya, minat yang makin sepi. Semua dibalut dialog, sindiran, dan gelak tawa.
Dalam konteks pameran, pertunjukan ini terasa sebagai simbol hidup dari nilai yang ditampilkan lewat foto: bahwa kebudayaan yang utuh bukan sekadar gambar, melainkan praktik hidup, tawa, kerja, dan komunitas. The Luntas hadir sebagai jembatan antara visual dan laku: foto-foto agraris di pameran menunjukkan fragmen yang sudah terekam; ludruk menunjukkan bagaimana fragmen itu masih bernyawa.
Pengunjung terlihat terlibat aktif: sebagian berdiri di belakang kursi bambu, sebagian lagi duduk di tanah, berinteraksi dengan aktor lewat sorakan ringan dan tepuk tangan. Anak-anak pelajar dari tur galeri bagian edukasi terlihat tertawa menyimak guyonan khas ludruk; mahasiswa dan seniman mencatat gesture, kesunyian, dan raut wajah yang berubah dari tawa ke sedih dalam sekejap.
Penonton yang biasanya hanya masuk ke galeri yang putih dan steril, malam itu dibawa ke ruang yang “terbuka”, di mana bau sekam masih melekat, bambu bergoyang pelan diterpa angin, dan suara gamelan kecil bergantian dengan dialog ludruk. Kontras ini membuat pengalaman pameran bukan hanya konsumsi, tetapi partisipasi. The Luntas mengubah panggung menjadi arena dialog antara tradisi dan modernitas, antara akar dan akal.
Signifikansi ludruk dalam malam penutupan ini terasa ketika satu sketsa momen menyentuh: Cak Ipul menanyakan ke penonton, “Nek kampung sepi, lalu awak dewe lapo? Ngurung diri ngopo?” Jawaban tawa dan candaan tetap terdengar, tapi sisa keheningan menempel setelah itu. Pertanyaan itu tidak hanya untuk kelakar, ia menyingkap keresahan zaman: kota yang memikat, tradisi yang tergerus, manusia yang terpisah dari budaya. Sebuah fragmen kehilangan yang kini dipanggil kembali lewat tawa rakyat.
Dalam sudut pameran foto, tema “[re]koneksi manusia-alam-budaya” sudah diangkat bagaimana manusia menundukkan alam, mengurang budaya menjadi identitas komoditas, dan akhirnya merasa terasing. Teks kuratorial menyebutkan “modernitas sering memisahkan manusia dari kebijaksanaan itu … ilmu didewakan, tetapi kehilangan konteks.” Dengan ludruk di malam itu, tema menjadi hidup dan bergerak. Dialog ludruk mengundang kita untuk membayangkan apa jadinya ketika manusia kembali ke akar, bukan hanya lewat foto, tapi lewat suara dan tawa.
The Luntas, melalui gaya mereka yang sederhana, memilih medium yang inklusif bahasa sehari-hari, dialog langsung, improvisasi. Mereka tidak memerlukan set besar atau efek megah; cukup panggung bambu, raut wajah, dan interaksi. Ini mengingatkan bahwa kebudayaan sejatinya adalah kolektif bukan milik elit, bukan hanya untuk dikagumi, tetapi untuk dirasakan, dihidupi, dan dimiliki semua.
Dan mungkin di sinilah letak keutuhan yang dicari bukan dalam kekakuan museum, tetapi dalam ruang yang lentur, dekat, dan hidup. Pameran “Fragmen dari yang Utuh” menampilkan karya yang merekam fragmen. Ludruk menampilkan fragmen itu yang masih berjalan, masih disaksikan, masih ditertawakan, masih dikritisi. Dengan demikian, akal dan akar, seni dan masyarakat, tertaut kembali.
Saya mendengar seorang pengunjung muda bergumam saat jeda: “Ternyata foto-foto itu bukan hanya untuk dilihat tapi untuk diceritakan.” Momen itu jadi kunci. pameran + pertunjukan = narasi kultural yang menyeluruh. Dalam dunia yang semakin visual, ludruk mengingatkan bahwa kita juga butuh suara, tawa, dan jejak kaki yang meninggalkan bekas di tanah.

Pada akhir pertunjukan, Cak Robet dan Cak Ipul mengundang penonton berbagi salam tangan dan foto bersama. Mereka melepaskan atribut panggung, berdiri di antara rumput dan penonton seolah jadi teman, bukan aktor terpisah. Tangannya yang dulunya menggenggam mikrofon kini menyentuh bahu penonton, tertawa lepas. Sebuah simbol kecil: kebudayaan tidak eksklusif; ia bersanding dengan semua.
Malam itu berakhir dengan lagu kidungan ludruk gamelan perlahan padam, lampu meredup, dan penonton perlahan keluar ke jalan kota. Tapi aroma sekam padi, tawa yang tersisa, dan kesadaran bahwa kebudayaan hidup, itu yang berjalan bersama mereka. Fragmen-fragmen yang difoto di ruang terbuka itu kini mendapatkan perpanjangan dalam tubuh teater rakyat malam itu.
Penutup
Ketika tawa mereda dan kursi bambu mulai dikumpulkan, masih tersisa satu pertanyaan yang diucapkan di panggung dan tetap bergema di jalan “Nek kampunh sepi, lalu awak dewe ngapa?” Kebudayaan bukan hanya untuk dilihat tapi untuk ditanyakan, untuk dirawat, dan untuk diwariskan. Dengan panggung bambu sederhana dan dua aktor ludruk, malam itu menjadi ruang pemulihan. Kita bukan hanya melihat fragmen kita ikut menghidupkannya.







Be First to Comment