Press "Enter" to skip to content

Literasi Jalur Setapak untuk Memperbaiki Kualitas Hidup


Kolom Opini

ilustrasi By Pinterest

Di dunia yang bergerak begitu cepat, banyak dari kita terjebak dalam rutinitas tanpa benar-benar memahami arah yang kita tempuh. Kita bangun, bekerja, berinteraksi di media sosial, lalu tidur, mengulang siklus yang sama setiap hari. Tapi pernahkah kita bertanya: apakah ini benar-benar kehidupan yang kita inginkan?

Di sinilah literasi berperan—bukan hanya sebagai kemampuan membaca dan menulis, tetapi sebagai kunci untuk memahami dunia dan menemukan tempat kita di dalamnya. Paulo Freire pernah berkata, “Membaca dunia lebih penting daripada sekadar membaca kata.” Literasi yang sejati bukan hanya soal memahami teks, tetapi juga memahami bagaimana dunia bekerja: mengapa ada ketimpangan, bagaimana ekonomi mempengaruhi kehidupan kita, dan bagaimana kita bisa mencari jalan keluar dari kondisi yang menekan.

Perjalanan yang Tak Instan

Literasi bukanlah sesuatu yang bisa didapat dalam semalam. Ini bukan tentang menghadiri seminar motivasi atau membaca satu buku lalu merasa tercerahkan. Literasi adalah perjalanan panjang, jalur setapak yang sering kali sepi dan penuh rintangan.

Di luar sistem pendidikan formal yang sering kali kaku dan mengejar angka-angka, ada bentuk literasi yang lebih membumi: obrolan santai di warung kopi, cerita dari orang tua, pengalaman hidup yang membentuk cara kita melihat dunia. Literasi sejati tumbuh bukan hanya dari buku, tetapi dari interaksi dan refleksi atas realitas di sekitar kita.

Karl Marx pernah mengatakan, “Para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan berbagai cara, tetapi yang terpenting adalah mengubahnya.” Literasi bukan hanya membuat kita tahu lebih banyak, tetapi juga memberi kita keberanian untuk menantang sesuatu yang keliru dan berusaha mengubahnya.

Melawan Arus yang Membelenggu

Saat ini, dunia lebih banyak dikendalikan oleh kepentingan pasar daripada kepentingan manusia. Pengetahuan menjadi barang dagangan, pendidikan semakin mahal, dan media lebih sibuk mengejar sensasi daripada memberi ruang untuk pemikiran kritis. Antonio Gramsci menyebut fenomena ini sebagai hegemoni budaya—di mana masyarakat tanpa sadar menerima keadaan sebagai sesuatu yang wajar dan tidak bisa diubah.

Literasi jalur setapak adalah bentuk perlawanan terhadap hegemoni ini. Dengan membaca sejarah, menggali pemikiran kritis, dan berani bertanya, kita bisa menyadari bahwa banyak hal yang kita anggap “normal” sebenarnya adalah hasil dari struktur yang bisa diubah.

Lebih dari Sekadar Pengetahuan

Apa artinya semua ini dalam kehidupan sehari-hari? Literasi bukan hanya soal menambah wawasan, tetapi juga tentang bagaimana kita memahami realitas dan mencari jalan keluar dari masalah yang kita hadapi.

Orang yang memiliki pemahaman mendalam tentang dunia akan lebih sulit dimanipulasi, lebih kritis dalam mengambil keputusan, dan lebih berani dalam memperjuangkan hak-haknya. Rosa Luxemburg pernah berkata, “Kebebasan adalah selalu kebebasan bagi mereka yang berpikir berbeda.” Literasi jalur setapak adalah tentang menemukan kebebasan itu—kebebasan untuk berpikir sendiri, memahami dunia dengan lebih jernih, dan tidak sekadar menjadi penonton dalam kehidupan ini.

Kesimpulan: Meniti Jalan yang Jarang Ditempuh

Literasi bukan hanya tentang akademik atau gelar. Ini adalah tentang bagaimana kita memahami diri sendiri, dunia, dan bagaimana kita bisa membuat hidup lebih baik—bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain.

Jalur ini mungkin tidak selalu mudah. Bisa jadi kita dianggap aneh, idealis, atau terlalu banyak berpikir. Tapi seperti jalur setapak di tengah hutan, jalan ini menawarkan sesuatu yang tak bisa ditemukan di jalan raya: kebebasan untuk memilih arah sendiri, tanpa harus terjebak dalam arus yang sudah ditentukan orang lain.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *