Press "Enter" to skip to content

Kritik Terhadap Mitos Kebebasan: Kebebasan Tak Pernah Menyentuh Realita


Kolom Opini

Kebebasan telah menjadi salah satu mitos terbesar dalam peradaban manusia. Ia dikumandangkan dalam berbagai aspek kehidupan, dari filsafat hingga politik, dari hukum hingga ekonomi. Konsep ini didorong ke garis depan setiap revolusi, dijadikan slogan utama setiap perjuangan, dan diabadikan dalam deklarasi hak asasi manusia. Namun, pertanyaannya adalah: apakah kebebasan benar-benar nyata, ataukah ia hanya ilusi yang dikonstruksi untuk menenangkan mereka yang hidup dalam keterbatasan?

Mitos kebebasan telah mengakar begitu dalam hingga manusia percaya bahwa mereka benar-benar memiliki kendali atas kehidupan mereka. Kita diajarkan bahwa kita bebas memilih pekerjaan, bebas menentukan jalan hidup, bebas berbicara, dan bebas berpendapat. Tapi benarkah demikian? Jika kebebasan benar-benar ada, mengapa realitas justru menunjukkan bahwa hampir semua aspek kehidupan manusia dibentuk oleh kekuatan di luar dirinya? Kritik ini akan membongkar ilusi kebebasan, menunjukkan bagaimana konsep ini lebih banyak berfungsi sebagai alat kontrol dibandingkan sebagai kenyataan yang dapat diakses semua orang.

Kebebasan dalam Narasi Politik: Realitas atau Ilusi?

Demokrasi liberal sering kali menjual kebebasan sebagai produk utama. Hak untuk memilih pemimpin, hak untuk bersuara, dan hak untuk mengekspresikan diri dianggap sebagai bukti bahwa kebebasan itu nyata. Namun, semakin dalam kita menyelami realitas politik, semakin tampak bahwa kebebasan dalam demokrasi hanyalah permainan semantik.

Dalam politik modern, pilihan yang diberikan kepada rakyat hampir selalu terbatas pada opsi-opsi yang sudah dikondisikan oleh elite kekuasaan. Pemilu sering kali bukan soal memilih pemimpin terbaik, tetapi memilih yang paling sedikit membawa bencana. Selain itu, meskipun hak berbicara dijamin, kebebasan berbicara itu sendiri tidak selalu berarti kebebasan untuk didengar. Wacana publik dikendalikan oleh media yang dimiliki oleh segelintir orang, yang menentukan mana opini yang layak diperhitungkan dan mana yang akan tenggelam dalam kebisingan informasi.

Michel Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan dalam masyarakat modern tidak lagi bekerja secara represif dengan cara yang kasat mata, melainkan melalui mekanisme yang lebih halus dan terselubung. Manusia diajari untuk percaya bahwa mereka bebas, padahal mereka justru diprogram untuk berperilaku sesuai dengan norma yang telah ditetapkan oleh sistem yang mengontrol mereka.

Kapitalisme dan Ilusi Kebebasan Ekonomi

Jika kebebasan politik telah terbukti problematis, maka kebebasan ekonomi tidak kalah ilusifnya. Sistem kapitalisme sering kali membanggakan diri sebagai sistem yang memberikan kebebasan bagi individu untuk berkembang. Pasar bebas diklaim sebagai arena di mana siapa saja bisa sukses selama mereka bekerja keras. Namun, realitas berbicara lain.

Buruh tidak benar-benar memiliki kebebasan untuk memilih. Mereka bekerja bukan karena keinginan bebas, tetapi karena kebutuhan ekonomi yang memaksa mereka. Mereka tidak bisa menolak sistem upah karena tidak ada alternatif lain yang memungkinkan mereka bertahan hidup. Marx telah lama mengkritik bagaimana kapitalisme menjadikan buruh sebagai komoditas, yang dipaksa menjual tenaga kerja mereka untuk bertahan hidup. Kebebasan dalam konteks ini tidak lebih dari kebebasan untuk dieksploitasi.

Jean Baudrillard bahkan melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa dalam kapitalisme, kebebasan telah direduksi menjadi sekadar kebebasan untuk memilih di antara berbagai produk konsumsi. Manusia tidak lagi dianggap sebagai subjek yang bebas, tetapi sebagai konsumen yang terus-menerus diarahkan oleh logika pasar. Kebebasan dalam memilih antara ribuan merek smartphone tidaklah sama dengan kebebasan sejati dalam mengontrol kehidupan sendiri.

Kebebasan dan Struktur Sosial: Antara Agensi dan Determinisme

Pendekatan strukturalisme dan post-strukturalisme telah lama menantang ide bahwa manusia adalah makhluk yang sepenuhnya bebas. Pemikir seperti Pierre Bourdieu menunjukkan bagaimana individu tidak bisa bertindak di luar struktur sosial yang telah membentuk mereka sejak lahir.

Seseorang yang lahir dalam keluarga miskin tidak memiliki kebebasan yang sama dengan seseorang yang lahir dalam keluarga kaya. Meskipun secara teoretis keduanya memiliki hak yang sama, dalam praktiknya, akses terhadap pendidikan, modal ekonomi, dan jaringan sosial menciptakan ketimpangan yang membuat “kebebasan” menjadi konsep yang timpang.

Dalam konteks ini, kebebasan lebih menyerupai privilese yang diberikan kepada mereka yang sudah memiliki posisi yang menguntungkan dalam struktur sosial. Sementara itu, bagi mereka yang berada dalam posisi subordinat, kebebasan lebih sering menjadi mitos yang digunakan untuk meredam perlawanan terhadap sistem yang tidak adil.

Teknologi dan Pengawasan: Penjara Modern yang Tak Terlihat

Di era digital, kebebasan semakin terkikis oleh mekanisme pengawasan yang tak terlihat. Manusia modern hidup dalam realitas yang lebih mirip dengan panoptikon yang dikonsepkan oleh Jeremy Bentham dan dianalisis lebih lanjut oleh Foucault.

Setiap gerakan di internet diawasi, setiap keputusan dianalisis oleh algoritma, dan setiap preferensi dikondisikan oleh sistem yang lebih besar. Media sosial yang awalnya dipuji sebagai platform kebebasan berekspresi justru telah berubah menjadi alat kontrol yang paling efektif. Data pribadi dikumpulkan dan digunakan untuk membentuk pola pikir individu tanpa mereka sadari.

Kebebasan yang dijanjikan oleh teknologi lebih sering berfungsi sebagai alat kontrol yang lebih efektif dibandingkan sebagai instrumen pembebasan. Dengan semakin bergantungnya manusia pada sistem digital, kontrol atas individu menjadi lebih halus dan lebih dalam dari yang pernah dibayangkan sebelumnya.

Kebebasan Sejati: Mungkin atau Mustahil?

Jika kebebasan tidak pernah menyentuh realita, apakah itu berarti kebebasan sejati mustahil? Tidak serta-merta demikian. Kritik terhadap kebebasan bukanlah upaya untuk menolak gagasan kebebasan sepenuhnya, tetapi untuk menunjukkan bahwa kebebasan sejati tidak bisa dipahami sebagai sesuatu yang sudah ada begitu saja.

Frantz Fanon dalam The Wretched of the Earth menegaskan bahwa kebebasan sejati bukan sesuatu yang diberikan, melainkan sesuatu yang harus direbut. Kebebasan hanya bisa ada dalam konteks perjuangan melawan struktur yang menindas. Ia bukan sekadar hak individu, melainkan hasil dari kesadaran kolektif dan tindakan revolusioner.

Kebebasan sejati hanya mungkin jika manusia mampu menyadari belenggu yang mengikat mereka dan secara aktif berjuang untuk membongkar sistem yang menciptakan ilusi kebebasan. Selama kebebasan hanya dipahami dalam batas-batas yang ditentukan oleh sistem yang menindas, maka kebebasan tak akan pernah menyentuh realitas.

Kesimpulannya, kebebasan dalam bentuk yang selama ini kita pahami adalah mitos yang digunakan untuk mempertahankan status quo. Kebebasan yang dijanjikan oleh demokrasi, kapitalisme, dan teknologi lebih sering berfungsi sebagai ilusi yang menutupi ketidaksetaraan dan kontrol sistemik.

Jika kebebasan sejati ingin diwujudkan, maka langkah pertama adalah menyadari bahwa kebebasan dalam bentuknya saat ini adalah kebohongan yang telah lama diterima tanpa pertanyaan. Kebebasan bukanlah sesuatu yang bisa ditemukan dalam sistem yang ada, melainkan sesuatu yang harus diperjuangkan dengan membongkar mitos yang selama ini menyesatkan kesadaran manusia.

Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *