Press "Enter" to skip to content

“Tebang Pilih dalam Perlawanan: Kemunafikan Moral dan Keengganan Menggugat Hegemoni Borjuisme”

Artikel ini membongkar kemunafikan dalam gerakan sosial yang hanya melawan kekuasaan politik tetapi membiarkan simbol borjuisme dan hegemoni kapitalisme tumbuh subur. Sebuah kritik tajam atas perlawanan yang selektif dan kenyamanan palsu yang dijadikan pembenaran.

ilusyrasi by pinterest

Tebang Pilih dalam Perlawanan: Kritik atas Kemunafikan Moral dalam Gerakan Sosial

Pendahuluan: Gerakan Sosial dan Hantu yang Tak Pernah Disentuh

Dalam hiruk-pikuk perlawanan sosial terhadap ketimpangan, ketidakadilan, dan kebobrokan politik, sering kali kita temui paradoks menyolok yang tak banyak dibahas secara jujur dan mendalam. Di satu sisi, muncul gelombang protes, suara-suara kritis, hingga barisan massa yang menggugat sistem. Namun di sisi lain, simbol-simbol borjuisme yang menjadi kepanjangan tangan kapitalisme—seperti klub malam, diskotik, pusat kemewahan, dan gaya hidup hedonis lainnya—nyaris tak pernah disentuh oleh kritik atau aksi nyata. Tempat-tempat itu bukan sekadar ruang hiburan, tetapi bagian dari jaringan hegemoni yang memperkuat kuasa modal, menyuapi masyarakat dengan candu kesenangan semu, serta memelihara budaya konsumtif yang pasrah terhadap status quo.

Mengapa demikian? Apakah karena simbol-simbol ini dianggap netral? Atau karena kita menikmati apa yang sebetulnya menindas kita? Di sinilah letak masalah mendasarnya: gerakan sosial hari ini kerap terjebak dalam kemunafikan moral. Kita memilih hanya melawan yang langsung merugikan kita secara material dan kasat mata, namun membiarkan dan bahkan ikut merayakan simbol-simbol sistem yang seharusnya kita lawan karena kita masih menyukainya, menikmatinya, atau bergantung padanya.

Borjuisme dan Simbol Kultural: Bentuk Lembut dari Penindasan

Dalam analisa kultural Marxian maupun Neo-Gramscian, simbol-simbol seperti klub malam, diskotik, perayaan gaya hidup mewah, bukanlah entitas netral. Mereka adalah “superstruktur” yang menopang basis ekonomi-politik kapitalisme. Antonio Gramsci menyebut ini sebagai hegemoni—dominasi tidak hanya dengan kekerasan atau hukum, tetapi dengan persuasi, norma sosial, dan internalisasi nilai-nilai elite oleh masyarakat luas.

Dengan kata lain, saat seseorang memilih untuk memuja dunia hiburan borjuis, ia sebenarnya sedang membantu memperpanjang usia kapitalisme. Klub malam bukan sekadar tempat dansa. Ia adalah ruang di mana kelas pekerja dan menengah bawah sering kali menghabiskan sisa tenaganya untuk pelarian, membayar mahal untuk pengalaman sesaat yang telah dikemas dan dimodali oleh elite ekonomi. Dalam kasus ekstrem, tempat seperti ini kerap pula menjadi simpul transaksi gelap: dari narkotika hingga pencucian uang. Namun anehnya, simbol ini lolos dari radar kritik sosial.

Gerakan Sosial yang Lembek: Ketika Perlawanan Tak Menyentuh Akar

Jika tujuan gerakan sosial adalah mengubah sistem yang menindas, maka mengapa sistem gaya hidup borjuis dibiarkan tetap hidup bahkan dielu-elukan? Sebabnya ada dua: pertama, karena perlawanan kita belum menyentuh dimensi ideologis yang paling dalam. Kedua, karena perlawanan kita belum siap kehilangan kenyamanan yang diberikan oleh sistem yang kita kritik.

Banyak gerakan sosial hari ini bersikap parsial dan reaktif. Mereka bergerak ketika hak mereka diganggu secara langsung, tetapi enggan mempertanyakan relasi kuasa yang lebih besar yang menopang ketimpangan. Demonstrasi terhadap kebijakan pemerintah atau kezaliman korporasi memang penting, namun gerakan itu menjadi setengah hati bila tidak menyentuh aspek gaya hidup borjuis yang juga merupakan bagian dari alat dominasi kelas atas.

Perlawanan terhadap ketimpangan tak bisa hanya dilancarkan lewat poster dan orasi jika kita sendiri masih merayakan simbol-simbol kelas yang menindas. Menghadiri klub-klub eksklusif sembari menyuarakan anti-kapitalisme adalah kemunafikan. Membeli produk-produk mewah buatan korporasi multinasional sembari mengutuk liberalisme ekonomi adalah kontradiksi.

Kegagalan Membedakan Kenyamanan dan Kebebasan

Inilah letak persoalan moral yang sering kita abaikan: ketidakmampuan membedakan antara kenyamanan dan kebebasan. Kapitalisme pandai menyamar. Ia tidak hanya mengeksploitasi tubuh, tetapi juga perasaan. Dengan menyediakan kenyamanan melalui gaya hidup borjuis, sistem ini menciptakan candu sosial yang membuat rakyat merasa bebas, padahal sedang diperdaya. Kenyamanan yang diproduksi bukanlah tanda kebebasan, melainkan jebakan yang mengikat orang pada siklus kerja-konsumsi-pelepasan yang tak pernah selesai.

Gerakan sosial yang sejati adalah gerakan yang mampu melewati godaan kenyamanan palsu. Perubahan fundamental hanya bisa terjadi jika ada keberanian untuk mencabut akar hegemoni dari semua sisi: ekonomi, politik, dan kultural. Selama simbol borjuis masih kita anggap “bukan masalah”, maka selama itu pula kapitalisme akan terus bertahan, bukan hanya lewat kebijakan, tapi juga lewat cara hidup kita sehari-hari.

Tebang Pilih dan Pengecutan Kolektif

Tebang pilih dalam perlawanan sosial adalah bentuk pengecutan kolektif. Ia terjadi ketika kita menghindari konfrontasi dengan aspek sistem yang kita nikmati. Kita menyuarakan keadilan sosial, tetapi tetap memuja estetika borjuis. Kita mengkritik pemerintah, tetapi menolak menyentuh budaya kapitalis yang ada di sekitar dan bahkan dalam diri kita. Kita ingin perubahan, tetapi hanya sejauh perubahan itu tidak menyentuh kenyamanan kita sendiri.

Mengapa ini terjadi? Sebab dalam banyak kasus, kita masih hidup bergantung pada sistem itu. Kita takut kehilangan pekerjaan, kehilangan hiburan, kehilangan status sosial yang semu, kehilangan akses terhadap kenikmatan material. Ketergantungan ini membuat keberanian kita menjadi selektif, bahkan dangkal. Kita hanya marah ketika kepentingan kita terganggu, tetapi diam ketika yang terganggu adalah prinsip.

Menuju Perlawanan yang Menyeluruh: Etika Radikal dalam Tindakan

Sudah saatnya kita mendefinisikan ulang apa itu perlawanan. Perlawanan bukan hanya soal menghadiri demonstrasi atau menulis kritik di media sosial. Perlawanan adalah keberanian untuk mengubah cara hidup kita, mencabut nilai-nilai borjuis dari dalam diri, dan membangun gaya hidup alternatif yang tidak bergantung pada sistem yang kita kecam.

Langkah pertama adalah menyadari bahwa perubahan sosial harus menyeluruh, menyentuh akar, dan tak boleh kompromistis. Klub malam, gaya hidup hedonis, produk mewah, hingga budaya konsumtif adalah bagian dari gurita sistem yang seharusnya kita lawan. Tidak bisa kita memilih untuk hanya melawan kepala gurita (pemerintah, korporasi) tetapi membiarkan tangan-tangannya yang lain mencengkeram kehidupan kita.

Langkah kedua adalah membangun kesadaran kolektif bahwa kita tak akan pernah merdeka jika masih tunduk pada simbol dan gaya hidup penindas. Perubahan membutuhkan pengorbanan, keberanian untuk melepas kenyamanan palsu, dan kesediaan untuk hidup berbeda. Perlu ada keberanian etis yang radikal untuk memulai revolusi dari dalam diri, sebelum ia menjadi gelombang yang mengguncang struktur luar.

Penutup: Menantang Diri, Bukan Hanya Sistem

Pertarungan kita bukan hanya melawan sistem di luar sana, tetapi juga sistem yang sudah merasuk ke dalam jiwa. Gerakan sosial akan tetap steril dan impoten selama ia menolak menyentuh simbol-simbol yang menindas secara halus namun kuat. Perubahan sejati tidak akan datang dari keberanian yang selektif, tetapi dari keberanian menyeluruh—berani menolak bukan hanya kebijakan, tapi juga gaya hidup borjuis yang menindas secara kultural dan psikologis.

Jika kita tidak sanggup sampai pada titik ini, maka benarlah pertanyaan menyakitkan itu: apakah kita memang pengecut?


Be First to Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *