Esai

Krisis Eksistensial Modern: Komodifikasi Mimpi, Liang Kubur Masyarakat Modern
“We are drowning in information, while starving for wisdom.” – E.O. Wilson
Di tengah kemegahan kota-kota yang menjulang, algoritma yang memetakan keinginan manusia, dan gempita promosi gaya hidup yang dibungkus sebagai mimpi, umat manusia sedang mengarungi krisis terdalam yang tak kasat mata: krisis eksistensial modern. Sebuah paradoks zaman yang membuat manusia tampak hidup, namun sebenarnya tengah menyusuri jalan kematian eksistensialnya. Kita hidup dalam dunia yang telah menjadikan mimpi sebagai komoditas, dan mimpi itu bukan lagi cermin hasrat personal yang otentik, melainkan rancangan pasar yang diciptakan oleh para kapitalis global.
Masyarakat modern, yang dalam sejarahnya mengusung semangat kebebasan, rasionalitas, dan kemajuan, justru kini tenggelam dalam absurditas makna dan kehampaan tujuan. Mereka dipaksa bermimpi tentang hal-hal yang tidak mereka pilih sendiri, namun dijual kepada mereka dengan kemasan keberhasilan, kemapanan, dan pencapaian. Mimpi yang pada hakikatnya adalah manifestasi spiritual dan eksistensial, kini berubah menjadi katalog yang bisa dibeli, dikredit, dan dikejar seumur hidup. Inilah liang kubur yang digali perlahan namun pasti oleh sistem kapitalisme modern: komodifikasi mimpi.
Kapitalisme dan Penyulap Ilusi Keinginan
“Desire is manufactured by culture,” tulis Jean Baudrillard dalam The Consumer Society. Masyarakat tidak lagi mendambakan hal karena kebutuhan riil, tetapi karena simbol dan status yang dilekatkan pada objek tersebut. Kapitalisme telah memutarbalikkan peta psikologis manusia. Ia tidak hanya menawarkan produk, tapi menawarkan pengalaman hidup yang dipaksa agar terasa penting dan bermakna.
Lihatlah bagaimana mimpi rumah megah, mobil mewah, tubuh ideal, pekerjaan prestisius, dan gaya hidup “estetik” menjadi narasi dominan di setiap media. Semua dibalut dengan jargon “kerja keras akan membawamu ke sana”, seolah-olah sistem ini adalah meritokrasi murni. Padahal, seperti yang ditegaskan oleh Erich Fromm dalam To Have or To Be?, “Masyarakat modern tidak didorong untuk menjadi dirinya sendiri, tetapi untuk memiliki sebanyak-banyaknya agar merasa berharga.”
Kapitalisme tidak menciptakan kebahagiaan, ia menciptakan ketergantungan dan ketakutan. Ketakutan untuk menjadi biasa. Ketakutan untuk tak memiliki. Ketakutan untuk tidak tampak sukses. Maka manusia pun bergerak seperti mesin, mencicil mimpi yang bahkan tidak ia pahami berasal dari mana. Inilah bentuk paling menyedihkan dari alienasi eksistensial.
Eksistensi yang Terkaburkan
Manusia modern seakan kehilangan kompas eksistensialnya. Mereka lupa bertanya: Mengapa aku hidup? Apa makna dari semua ini? Pertanyaan-pertanyaan mendasar itu tertimbun oleh rutinitas yang terus-menerus menuntut produktivitas tanpa arah.
Viktor Frankl, dalam bukunya Man’s Search for Meaning, menjelaskan bahwa penderitaan manusia tidak datang dari penderitaan itu sendiri, tapi dari ketidakmampuannya menemukan makna di dalam penderitaan tersebut. “Ketika manusia kehilangan makna, ia kehilangan arah. Ia bisa jatuh dalam kehampaan eksistensial, yang membuka jalan bagi depresi, kecemasan, dan kebencian terhadap diri sendiri,” ungkap Frankl.
Maka tak heran jika di tengah segala kemajuan teknologi dan kemudahan akses informasi, krisis mental justru melonjak drastis. WHO melaporkan peningkatan gangguan kecemasan dan depresi sebesar 25% secara global sejak awal 2020. Ini bukan kebetulan. Ini adalah akibat dari disonansi antara kehidupan yang dijalani dan kehidupan yang diharapkan. Ketika mimpi dijadikan komoditas, maka kegagalan meraihnya menjadi sumber rasa gagal sebagai manusia.
Masyarakat yang Tak Lagi Berpikir
Salah satu bentuk kontrol paling sukses kapitalisme adalah dehumanisasi berpikir. Masyarakat modern dicekoki informasi instan, narasi tunggal, dan gaya hidup impulsif yang menjauhkan mereka dari kontemplasi dan refleksi mendalam.
Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menyebut sistem ini sebagai “banking model of education,” di mana manusia hanya dianggap sebagai wadah pasif yang diisi oleh sistem dengan informasi-informasi yang tidak mengubah kesadaran kritis mereka. Mereka tidak diajarkan untuk mempertanyakan, tetapi untuk mengikuti.
Inilah sebab mengapa realitas hari ini penuh dengan manusia yang bekerja keras namun tetap sengsara, yang tampak bahagia di media sosial namun menangis dalam diam. Mereka berjalan, namun tidak tahu ke mana. Mereka bermimpi, namun bukan mimpi mereka sendiri.
Liang Kubur Bernama Mimpi Konsumtif
Manusia modern sedang menggali kuburannya sendiri. Bukan dengan sekop, melainkan dengan mimpi-mimpi konsumtif yang tidak pernah selesai. Mereka mencicil rumah yang tidak sempat dinikmati, mengejar karier yang memenjarakan jiwa, membeli simbol status yang membuatnya terasing dari diri sendiri. “It is no measure of health to be well-adjusted to a profoundly sick society,” kata Jiddu Krishnamurti.
Masyarakat modern telah menjadi budak dari cita-cita kapitalis yang dipoles dengan jargon motivasional. Di sinilah tragedi besar peradaban modern: manusia kehilangan kebebasan berpikir dan menentukan arah hidupnya. Ia menjadi boneka pasar, yang bergerak mengikuti stimulasi eksternal yang tak pernah ia pertanyakan.
Jalan Keluar: Menemukan Kembali Eksistensi Diri
Tapi tak semua jalan tertutup. Jalan menuju pemulihan kesadaran eksistensial masih terbuka—meski sempit dan penuh tantangan. Ini bukan ajakan untuk hidup anti-materi atau kembali ke zaman batu, melainkan ajakan untuk menyadari, untuk mengambil alih kembali makna hidup dari tangan para manipulator mimpi.
Michel Foucault menyebut perlunya teknologi diri—praktik kesadaran diri yang membuat manusia menjadi subjek atas dirinya sendiri. Menemukan kembali makna hidup bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi hadir secara sadar di dalamnya, dan menentukan sendiri makna dari tiap langkah yang kita ambil.
Kita perlu membangun masyarakat yang kritis, yang tidak mudah tergoda oleh janji palsu kapitalisme, yang bisa melihat di balik kemewahan, dan yang berani bertanya: Untuk siapa semua ini? Untuk apa? Ini dimulai dari pendidikan yang membebaskan, diskusi yang jujur, dan keberanian untuk menyusun ulang peta hidup kita.
Penutup: Mengubur Mimpi Palsu, Membangkitkan Kesadaran
Di tengah kabut tebal mimpi-mimpi palsu yang dikomodifikasi, masih ada cahaya yang bisa ditemukan: kesadaran. Manusia tak bisa terus hidup dengan berpura-pura bahwa semua baik-baik saja. Kita harus bertanya, mempertanyakan, dan berani menyimpang dari arus jika arus itu membawa kita ke jurang kehampaan.
Karena seperti yang pernah diungkapkan oleh Carl Jung, “The privilege of a lifetime is to become who you truly are.” Dan untuk menjadi diri yang sejati, kita harus menggali bukan liang kubur dari mimpi palsu, tetapi menumbuhkan akar dari mimpi yang lahir dari kedalaman jiwa kita sendiri.
Be First to Comment