Opini
Ilustrasi satir bergaya vintage ini menyingkap wajah busuk korupsi yang makin jinak. Rompi oranye jadi fashion statement, bukan simbol malu. Simak narasi visualnya
“Korupsi Tanpa Malu: Ketika Rompi Oranye Tak Lagi Menakutkan”
Korupsi di negeri ini bukan lagi monopoli politisi tua dengan wajah lusuh yang berkhotbah soal moral sambil menyembunyikan rekening gendut. Hari ini, kita menyaksikan bagaimana virus kekuasaan dan kerakusan sudah menular secara sistemik dan membiak ke tubuh politisi muda. Nama Nur Afifah Balqis, perempuan 24 tahun yang terseret dalam operasi tangkap tangan KPK, menjadi simbol betapa politik tidak pernah menua sendirian—ia membusuk bersama generasi penerusnya.
Korupsi tidak mengenal batas usia. Ia menyusup melalui sistem yang bobrok, menjelma dalam praktik kekuasaan yang banal, dan tumbuh subur dalam ruang kosong etika. Jika generasi muda yang diharapkan menjadi pembaharu justru tumbuh dalam ruang politik yang lapuk dan bau busuk, maka yang kita warisi bukan masa depan, melainkan repetisi kebusukan dalam kemasan segar.
Politik Bukan Lagi Soal Gagasan, Tapi Soal Siapa Paling Licik
Keterlibatan Nur Afifah bukan sekadar anomali. Ia adalah produk dari sistem politik yang tidak mengharuskan integritas, hanya memerlukan loyalitas. Sebagai bendahara partai di usia muda, ia tidak datang dari meritokrasi, tetapi dari jaringan dan kedekatan. Hal ini bukan kasus tunggal. Di banyak daerah, anak-anak muda yang “naik kelas” di partai bukan karena ide dan kerja politik, tapi karena mereka “tahu diri” dan “tahu arah angin”.
Politik yang idealnya menjadi ruang pertarungan ide dan moral telah berubah menjadi arena dagang pengaruh dan jual beli proyek. Ketika kekuasaan lebih dihargai daripada gagasan, maka politisi muda pun tak punya pilihan selain menjadi tiruan usang dari patron mereka yang busuk. Alih-alih memutus rantai korupsi, mereka justru menjadi mata rantai baru dalam sistem yang membusuk sejak akar.
Muda, Korup, dan Dipelihara Sistem
Generasi muda dalam politik hari ini bukan hanya korban, mereka juga kontributor aktif dalam melanggengkan sistem yang rusak. Mengapa? Karena mereka dilahirkan dan dibesarkan dalam partai politik yang tidak pernah benar-benar mendidik, hanya memanfaatkan. Partai hanya menjadi pabrik pencetak kader oportunis yang pandai membaca selera elite, bukan mencetak pemimpin berkarakter.
Nur Afifah hanyalah salah satu wajah dari generasi politisi muda yang mengalami prematuritas etika dan kedewasaan politik. Mereka diberi jabatan, tapi tak dibekali penalaran kritis. Mereka dimasukkan ke dalam lingkar kekuasaan, tapi tak dibekali kemampuan membedakan antara pelayanan publik dan pelayanan tuan mereka. Maka, ketika uang suap mampir ke rekening mereka, itu dianggap sebagai bagian dari kerja politik. Bukan kejahatan.
Inilah bukti nyata bahwa korupsi bukan lagi penyimpangan, tapi sudah menjadi prosedur informal dari sistem politik itu sendiri. Prosedur yang bisa dijalankan siapa saja, asal tahu jalurnya.
Etika Politik: Kata yang Telah Kehilangan Maknanya
Kita terlalu sering menggunakan istilah “etika politik” dalam pidato dan seminar. Tapi dalam praktiknya, etika politik di republik ini adalah kata mati yang digantung di dinding-dinding kekuasaan—sekadar pajangan, bukan pedoman. Nur Afifah tidak menciptakan kejahatannya sendiri. Ia hanya menjalankan pola lama yang sudah dipraktikkan oleh banyak politisi senior.
Bedanya? Ia muda, perempuan, dan tertangkap lebih awal. Sisanya, hanya soal waktu dan keberuntungan.
Ini menunjukkan bahwa tidak ada regenerasi nilai di tubuh kekuasaan. Yang ada hanya regenerasi posisi. Kursi berganti, tapi mentalitas tetap. Dalam dunia yang dipenuhi simbol dan slogan, etika menjadi tak lebih dari alat presentasi.
Banalitas Kekuasaan dan Matinya Rasa Malu
Filsuf Hannah Arendt pernah menyebut istilah banality of evil—kejahatan yang tidak dilakukan karena niat jahat, tapi karena menjadi bagian dari rutinitas sistem. Di Indonesia, kita sedang menyaksikan banality of politics—politik yang kehilangan substansi, dan menjelma menjadi administrasi kekuasaan tanpa hati.
Hari ini, mencuri uang rakyat bukan lagi perbuatan tercela. Ia hanyalah tahapan yang harus dilewati demi bertahan dalam jaringan kekuasaan. Tidak ada rasa malu, karena lingkungan sekitar justru membiakkan pujian dan pembelaan.
Seorang koruptor muda bisa tetap dielu-elukan sebagai anak bangsa potensial, karena masyarakat pun sudah ikut dalam permainan ini. Wajah korupsi tak lagi menakutkan. Ia bersih, muda, berkacamata, dan berbicara santun di ruang publik.
Inilah politik dalam taraf paling banal. Ketika korupsi bukan hanya dilakukan dengan sadar, tapi juga dijalankan dengan bangga.
Ketika Masyarakat Tidak Lagi Tersinggung oleh Korupsi
Korupsi hari ini tidak menimbulkan kemarahan publik yang besar. Kita sudah terbiasa. Tiap minggu ada nama baru. Tiap bulan ada OTT. Tapi semua menguap dalam ritme informasi yang padat dan tak bermakna. Media sosial hanya menjadikan kasus korupsi sebagai bahan meme dan pergunjingan, bukan alat pembongkar kesadaran publik.
Nur Afifah viral, bukan karena kita geram, tapi karena ia “unik”. Koruptor muda. Cantik. Perempuan. Ini menghibur, bukan menyadarkan.
Jika masyarakat tidak lagi tersinggung oleh perilaku korupsi, maka kita telah kehilangan salah satu benteng terakhir peradaban: rasa jijik terhadap ketidakadilan.
Dari Kegagalan Sistemik Menuju Ketumpulan Kolektif
Apa yang membuat politisi muda ikut-ikutan korupsi? Karena sistem memungkinkan. Karena publik memaafkan. Karena partai menutup mata. Dan karena hukum hanya menindak sebagian kecil dari pelaku.
Maka lahirlah generasi politisi muda yang percaya bahwa korupsi adalah risiko pekerjaan, bukan pengkhianatan. Dan dengan sistem pengadilan yang memberi potongan hukuman, kadang justru lebih menguntungkan mengambil jalan korupsi daripada hidup lurus tapi terlindas sistem.
Kita tidak sedang berhadapan dengan kegagalan personal, melainkan kegagalan kolektif. Kita tidak sedang menyoroti satu nama, tapi memotret sebuah sistem yang gagal mendidik dan gagal menghukum.
Mengapa Regenerasi Politik Gagal Membawa Harapan
Jika ada harapan pada generasi muda, maka harapan itu hari ini sedang tercoreng. Karena banyak dari mereka tidak membawa cahaya baru, hanya membungkus ulang kegelapan lama. Dengan media sosial dan gaya komunikasi segar, mereka tampil sebagai politisi muda progresif. Tapi dalam struktur, mereka tetap tunduk pada logika lama: uang, kuasa, dan loyalitas.
Tanpa keberanian untuk mendobrak, anak muda hanya akan menjadi boneka baru dalam panggung politik lama. Dan boneka, betapapun muda dan segarnya, tetap tidak bisa bicara sendiri.
Penutup: Bukan Soal Nur Afifah, Tapi Soal Kita Semua
Kasus Nur Afifah Balqis bukan hanya cermin, tapi tamparan telak. Ini bukan tentang satu orang. Ini tentang sistem yang terus memproduksi manusia-manusia muda yang disiapkan untuk korup, atau setidaknya diam melihat korupsi.
Kita butuh lebih dari sekadar regenerasi usia. Kita butuh regenerasi nilai. Kita butuh anak-anak muda yang tidak hanya pandai bicara soal perubahan, tapi berani membayar mahal untuk menjaga integritas.
Dan untuk itu, kita juga butuh publik yang tidak mudah lupa. Tidak cepat memaafkan. Dan tidak menjadikan korupsi sebagai hiburan musiman.
Karena selama kita masih menertawakan korupsi, ia akan tetap menjadi cerita berulang yang tak pernah benar-benar selesai.
Be First to Comment